Skip to main content

Posts

Showing posts from 2018

[Cerpen]: "Pohon Berbisik" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Suara Merdeka, Minggu, 23 Desember 2018)       Pohon jambu di depan saya, di halaman rumah sahabat yang mati disembelih dua tahun lalu, seperti sedang mengajak bicara. Tentu saja saya tidak paham bahasa pohon, namun mengira ia berusaha bicara. Tentang apa, saya tidak tahu. Daun-daun jambu itu bergesekan seperti orang berbisik. Kalau benar apa yang saya duga, ia jelas membisiki saya sesuatu bernuansa purba dan ganjil. Sesuatu tentang kematian.     Mila, pacar saya, tidak terlalu percaya kata-kata itu. Padahal saya ceritakan dengan penuh semangat bahwa saya merasa pohon jambu itu berbisik. Memang saya tidak bisa buktikan atau paling tidak menirukan ucapan pohon itu, tetapi saya yakin apa yang saya rasakan tidak salah.     "Kebanyakan melamun kamu," celetuk Mila pendek.     Saya tidak bisa membela diri. Lagi pula, laki-laki—menurut Mila—adalah sumber kebohongan dan perempuan selalu benar. Saya tidak tahu apa semua perempuan di muka bumi berpikir demikian ataukah

[Cerpen]: "Hari-hari Yu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Solopos, Minggu, 23 Desember 2018)     Yu memberiku sebungkus kue dan pergi setelah orang-orang pabrik pulang. Besok paginya dia kembali menemuiku, tetapi kali ini tidak membawa kue atau apa pun. Gadis itu bilang, "Tidak ada lagi kue."     Sebenarnya aku sangat lapar. Rasanya perutku tidak berisi apa pun, tetapi Yu tidak dapat kukalahkan. Kami tetap pergi sesuai dengan janji. Kami menerabas ilalang di area belakang pabrik, dan tetap di sana dari menjelang magrib hingga jam tujuh malam.     Yu sudah kukenal selama lima tahun. Dulu Yu adalah bulan yang indah dan pucat, yang tak mungkin kuajak bicara. Yu adalah segala sesuatu di luar angkasa, sedang diriku adalah sebutir kerikil di kandang sapi. Tapi, sebuah kejadian membalik segalanya.     Aku tidak perlu cerita kejadian apa itu. Lagi pula, semua sudah tidak lagi penting. Yang terpenting adalah: Yu dan aku dapat bertemu. Tidak ada yang tahu pertemuan ini, tentu saja, kecuali beberapa orang dari pabrik yang s

[Cerpen]: "Megalomania" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Mojokerto, Minggu, 9 Desember 2018)       Lelaki berbaju polisi menghentikanku. Aku baru keluar dari WC umum. Ia bilang, "Mari ikut saya!"     Kukatakan bahwa aku tadi ketiduran di terminal dan sekarang harus pulang. Sudah jam dua belas malam dan langit kini gerimis. Ia tidak peduli dan mengeluarkan sepucuk revolver.     "Pokoknya Anda harus ikut!"     Demi terhindar dari kesulitan, aku patuh. Kuikuti polisi itu, yang berkepala botak, dan di puncak kepalanya ada tahi lalat begitu besar. Aku melangkah dan melirik bagian itu, karena aku lebih tinggi darinya. Polisi itu sadar kelakuanku dan bilang, "Jika masih mau hidup, sebaiknya jangan berpikir mencoblos tahi lalat saya!"     Kalimat itu begitu jelas, tapi kurasa kepalaku sedang pusing. Aku baru bangun dari tidur dan belum sepenuhnya sadar selain mengingat bahwa aku harus pulang sekarang juga, jadi kupikir barangkali ada yang salah di otakku. Kutanyakan apa yang barusan si polisi katak

[Cerpen]: "Usaha Terakhir Sebelum Mati" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Minggu Pagi edisi Jumat, 30 November 2018)     Aku tidak pernah bisa bergaul dengan orang-orang di sekitarku. Sejak dulu kurasa inilah kutukan yang harus kupikul. Tidak tahu kenapa setiap siswa seakan-akan tercipta untuk membenciku di sekolah. Dan setelah lulus lalu mendapat kerja, orang-orang yang berada di sekelilingku bersikap seolah aku tidak ada.     Memang pekerjaanku tidak membanggakan dan itu tidak kusebutkan di sini. Aku bekerja di gedung ternama, tetapi hanya sebagai bagian tidak penting dari sebuah sistem. Status sosial yang biasa saja, ditambah kesulitan bersosialisasi, membuat hidupku terasa sepi.     Kalau dihitung, orang yang pernah menjadi temanku tidak lebih dari tiga. Itu pun salah satunya adalah seekor anjing sewaktu aku masih kelas empat SD, dan sayangnya si anjing sudah mati tertabrak truk beberapa hari setelah kutolong dia dengan sebungkus roti. Anjing itu kelaparan dan kuberi makan, dan kemudian ia mendatangiku selama dua hari berturut-turut de

[Cerpen]: "Penghuni Tetap Apartemen Tua" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Padang Ekspres edisi Minggu, 25 November 2018)       Aku sudah pindah ke apartemen tua ini sejak seminggu yang lalu, tapi sampai saat ini belum seorang pun kutemui, kecuali si penjaga gedung yang tidak pernah membalas sapaanku selain dengan cara kurang ramah. Si penjaga gedung itulah satu-satunya yang tinggal di sini selain diriku dan aku pun sadar betapa di bangunan tiga tingkat ini yang bisa kuajak bicara hanya diriku sendiri.     Aku memang sengaja pindah ke lokasi yang jauh dari keramaian. Ini membantu pekerjaanku sebagai pengarang. Aku punya uang, tapi memilih apartemen yang, konon kata teman-teman, busuk. Aku tidak percaya rumor. Ternyata apartemen ini, sekalipun tua, dirawat oleh si pemilik dan penjaga dengan sangat baik.     Kubilang pada teman-temanku, "Tempat ini jauh lebih baik ketimbang tempat yang kalian tawarkan."     Penjaga itu bekerja lebih dari dua puluh tahun, demikianlah kata si pemilik gedung ini ketika kami bertemu empat hari sebe

[Cerpen]: "Gadis Etalase" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Analisa Medan edisi Minggu, 18 November 2018)     Di seberang jalan tempat bengkel saya berdiri, ada kios pulsa yang baru dibuka dua minggu lalu. Penjaganya gadis bermata bening, dengan rambut sebahu. Meli namanya. Dia datang dari luar kota dan bekerja di sini karena problem keluarga yang tidak saya ketahui.     Meli cantik. Seandainya saya bujang, sudah saya dekati dan saya nikahi dia. Hanya saja, sebagai gadis, ia terlalu sedikit bicara. Yang keluar dari bibirnya tidak pernah lebih dari transaksi pulsa. Lain-lain, jangan harap keluar.     Seandainya Anda suka bicara dan memancing obrolan, barangkali Anda kecewa saat menghadapnya. Cuma sedikit pemuda yang tertarik pada Meli, yang lama-lama jadi tidak ada sama sekali. Bahkan ada gosip yang menyatakan gadis itu sudah gila. Itulah yang membuat para pemuda mundur satu-satu.     Saya tidak percaya. Kalau Meli gila, mana mungkin dipercaya pemilik kios untuk menjaga kios pulsa? Dan kalau benar gosip itu, yang membuatnya

[Cerpen]: "Persoalan Teman Lama" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Bromo edisi Minggu, 14 Oktober 2018)       Jarang-jarang Mudakir mampir ke rumahku seperti sore itu. Ia duduk di kursi teras dan menyapaku begitu mesin motor kumatikan. Aku turun dari motor dan langsung saja menyambut jabat tangannya.     Kami tetap duduk di kursi teras, karena Mudakir meminta demikian. Sejak tiba ke rumahku sejam yang lalu, istriku memintanya duduk di ruang tamu, tetapi tamu kami ini bersikeras duduk di teras rumah.     Karena tadi menolak suguhan teh atau kopi sebelum aku tiba di rumah, istri pun ke dapur untuk membuatkan minum. Setelah minuman disuguhkan, aku bertanya apa yang membuat Mudakir berubah?     Teman lamaku itu menunduk malu, karena selama ini kami jarang bertemu meski rumah kami tidak terlalu jauh. Aku sering mampir ke tempat Mudakir, sekadar ingin ngobrol atau mengajaknya mancing ketika libur, tetapi dia sering kali tidak sempat atau tidak ada di rumah.

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

[Cerpen]: "Mudakir dan Sejarahnya yang Tak Akurat" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Mojokerto edisi 7 Oktober 2018)       Mudakir memacu motornya bagai kesetanan. Orang-orang di jalan bergelimpangan setelah dengan brutal dia tendangi satu per satu. Ya, orang-orang itu adalah pengendara motor lain di jalan raya. Tentu saja di antara mereka ada yang pingsan, ada yang bangun lalu memaki-maki, dan bahkan ada yang tidak sempat menyadari kalau mereka sedang menggelinding di aspal, sebab terlebih dulu tubuh mereka disambut kendaraan lain dari belakang.     Aku tadinya tidak tahu penyebabnya. Aku hanya sedang makan rawon di suatu warung, lalu orang-orang berteriak dan kudengar umpatan salah satu korban Mudakir. Aku keluar bersama orang-orang lain yang kemudian memadati trotoar dengan saling pandang dan bertanya, "Apa yang membuat lelaki bujang lapuk itu begitu?"

[Cerpen]: "Memburu Sekutu Iblis" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Koran Tempo edisi 6-7 Oktober 2018)       Seorang lelaki melompati tubuh kereta api saat kendaraan itu melintas dengan amat cepat, tapi tak ada sepercik darah. Tak ada sepotong kepala atau bola mata manusia atau usus atau liver atau lambung atau jantung atau organ vital apa pun yang tergeletak di sepanjang rel, sehingga malam itu situasi di pinggiran kota tetaplah sunyi sebagaimana biasa.     Saya mendengar kabar seseorang telah kabur dari penjara sekitar tiga hari lalu, dan sampai detik ini, polisi belum mendapatkan petunjuk apa pun yang dapat mengantar mereka untuk sekali lagi meringkus bajingan laknat itu.     Dahulu, bertahun-tahun silam, laki-laki pemerkosa yang di suatu malam tertangkap mata seorang pemulung sedang melompat ke tubuh kereta yang melintas namun justru tak mati, membuat hidup seorang perempuan rusak.     Perempuan itu telah lama membangun hidupnya mulai dari nol; tanpa orangtua dan bahkan tanpa orang-orang yang sedia melindunginya. Tubuh gadis itu be

[Cerpen]: "Jembatan dan Lelaki Tua Kesepian" karya Ken Hanggara

Sumber: pixabay.com (Dimuat di Flores Sastra, Kamis, 27 September 2018)       Jembatan di seberang panti jompo itu tidak pernah benar-benar dilewati orang. Aku bisa memastikan karena hampir sepanjang waktu aku duduk di situ dan tidak beranjak. Lalu lalang orang kebanyakan terjadi dekat taman yang berada persis di ujung salah satu jembatan.     Aku tidak tahu apa yang ada di ujung lain jembatan, tetapi kupikir boleh jadi itu jalan menuju kota lain di balik bukit. Buat apa orang sudi membangun sebuah jembatan yang cukup besar hanya untuk mengantarkan pengunjung taman kota kecil ini ke sebuah hutan? Sampai sejauh itu, tidak ada kemungkinan lain yang bisa kubayangkan.     Aku pikir, dahulu, jembatan itu tidak sesepi sekarang. Tiada henti dilewati mereka yang pergi ke kota lain tadi dengan rute yang lebih istimewa karena menawarkan lokasi yang bebas polusi udara dan risiko tertabrak mobil. Orang-orang bisa menyeberang ke kota tetangga dengan rute yang tidak ada bedanya dari tempat re

[Cerpen]: "Bibit Dosa" karya Ken Hanggara

(Dimuat di takanta pada 1 Juli 2018)       Pagi itu Bapak meninggal di kasur. Ketika pelayat berdatangan, aku pergi. Dan ketika aku pergi, orang-orang tidak menahanku. Mulanya aku merasa ada yang tidak beres. Sebulan terakhir Bapak pulang pagi, dan kalau ditanya dari mana, dia tidak menjawab. Lain kesempatan, kubanting piring di depannya. Bapak merespon dengan marah.     Aku sadar, kalau melawan, aku tidak menang. Tubuhku kecil, dan walau Bapak bilang kemungkinan tubuh ini dulu bisa menjadi tulang belulang, aku tertawa. Bahkan detik ini pun tubuhku tinggal tulang sama kentut.     Aku anak durhaka, begitulah Bapak menyebutku. Menurutnya, jika seorang anak tidak patuh pada orangtua, bisa dosa, walau bapaknya bejat.     Di masa lampau, ketika aku masih berseragam dan tak tahu di mana Ibu berada, teman-teman bilang ibuku pendosa. Sedang Bapak, kata mereka, jauh lebih buruk dari pendosa.     "Bapakmu iblis," tuduh mereka.

[Cerpen]: "Pengakuan Seorang Pendosa" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Solopos edisi Minggu, 23 September 2018)       Bertahun-tahun yang lalu aku sering melihat maling dihajar masa; sebagian mereka selamat karena polisi datang tepat waktu, tapi beberapa meninggal di tangan warga yang terbakar emosi. Aku tidak ingin menceritakan soal itu, tapi mungkin saja kematianku di suatu tempat jauh lebih buruk dari itu.     Aku membayangkan beberapa orang menghajarku tanpa ampun. Di tanah terbuka, mereka menyerangku dari berbagai arah. Mereka tidak peduli seberapa besar sakit yang kuderita akibat serangan-serangan ini, sehingga kubayangkan kepala para penghajarku sama sekali kosong.     Orangtuaku pernah berpesan, "Kelak, jika kau benar-benar membiarkan kepalamu kosong, segala hal buruk dan menjijikkan terasa wajar dan batas-batasmu—batas-batas kemanusiaanmu—menjadi tidak ada."     Waktu itu aku tidak paham kalimat tersebut, tetapi hari demi hari, hidup di dunia keras mendidikku memahami secara utuh maksud nasihat mereka. Maka, demikianlah

[Cerpen]: "Matinya Penyembah Puisi" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Rakyat Sultra edisi Rabu, 19 September 2018)        Ali Sudarwin pernah mengatakan dalam sebuah diskusi di gedung kesenian di kota kami, bahwa dia akan mati pada umur dua puluh delapan. Pada waktu itu tidak banyak yang menganggapnya serius atau malah tidak ada sama sekali yang menduga bahwa di usianya yang keduapuluh delapan, persis empat tahun setelah ucapan itu dia katakan di diskusi tersebut, dia mati gantung diri.     Saat mendengar kabar itu, aku sakit dan berbaring sendirian di rumah yang kusewa, sebuah rumah yang dapat sewaktu-waktu roboh saking busuknya. Di sini kurawat diriku sendiri dengan banyak istirahat dan minum air putih, karena tidak ada uang untuk pergi ke dokter.     Sejak dulu aku percaya Ali Sudarwin tidak bercanda dengan ucapannya itu. Setelah memastikan yang terjadi bukan mimpi, aku membiarkan penelepon berceloteh sendiri di seberang sana selagi kupandangi langit-langit kamar dan membayangkan teman lamaku itu.

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Cerpen]: "Kencan Terakhir" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Minggu Pagi edisi, 31 Agustus 2018)    Pada hari terakhir itu kami sepakat untuk kencan sehari penuh. Dimulai dari subuh hingga malam hari, kami memikirkan tempat mana saja yang dituju. Aku tahu ini aneh, tetapi Maria tak mempersoalkan apa pun.     Barangkali saja kami bakal bosan dan berharap hari itu berakhir lebih cepat. Atau bisa saja malah ketagihan, sehingga esoknya kami harap kami tidak pernah putus seperti ini.     Namun, Maria menetapkan hari ini benar-benar hari yang terakhir. Kami tidak bisa lagi bersama, karena perjodohan yang dirancang keluarganya dirasa lebih baik daripada terus bersamaku. Aku memang terlalu banyak janji pada Maria, tapi tidak juga kupenuhi janji tentang aku yang akan menikahinya suatu hari nanti itu. Maria lama-lama bosan, dan akhirnya cintanya kepadaku luntur. Aku dianggap tidak berkomitmen, dan ia sangat kecewa.     Maka, di kencan terakhir kami, kubawa segala benda pemberiannya, dan kubilang pada Maria supaya dia menyimpannya atau m

[Cerpen]: "Di Kota Aneh Tempat Sebagian Ingatanmu Hilang" karya Ken Hanggara

  (Dimuat di Radar Mojokerto edisi Minggu, 19 Agustus 2018)     Aku tidak tahu di mana aku sekarang, tetapi kepalaku pusing dan mendadak terbit pikiran bahwa aku harus segera mencari makan. Di sekitarku tidak ada orang dan kukira ini sudah lewat tengah malam. Aku tahu-tahu terbangun di teras sebuah toko boneka, di waktu sesepi ini.     Apa yang terjadi?     Perutku memang lapar, jadi gagasan mencari makan tidak sepenuhnya muncul oleh rasa pusing. Aku melangkah sambil mengingat sesuatu. Mungkin ada yang berbuat jahat padaku, tetapi aku tidak tahu apa alasan seseorang berbuat begitu?     Aku betul-betul tidak ingat, dan usaha mengembalikan ingatan malah membuatku makin pusing. Aku mengumpat dan terus berjalan dengan tenaga yang aku rasa sebentar lagi bakalan habis. Di suatu pertigaan, aku berhenti dan memandang ke seberang. Ada bangunan besar, sebuah hotel terbengkalai yang kukira sudah puluhan tahun kosong.     "Hotel ini puluhan tahun tidak difungsikan," kataku begitu

[Cerpen]: "Dibantu Hujan" karya Ken Hanggara

  (Dimuat di Analisa Medan edisi Minggu, 19 Agustus 2018)     Setelah mencoba beberapa kali hingga lantai kamarnya penuh bergumpal-gumpal sampah kertas, seorang pengarang yang tidak disebutkan namanya keluar kamar. Di luar langit begitu pekat dan tentu hujan kemungkinan besar akan turun.     "Seandainya dalam setiap tetes air ini muncul kata-kata," batin si pengarang tanpa nama itu.     Dia tidak sedang bercanda dengan diri sendiri, atau dia tidak suka bercanda dengan hidupnya yang merana. Sebagai pengarang, ia tidak terlalu dikenal dan alangkah banyak karya yang dibuat dengan susah payah, ditolak mentah-mentah oleh penerbit. Maka, di satu saat ketika otaknya memikirkan hal ini, yakni bahwa dalam setiap tetes air hujan akan muncul kata-kata, ia tidak sedang membuat lelucon.     Entah berapa tahun sudah pengarang yang tidak disebutkan namanya ini tidak lagi bergairah terhadap lelucon, sebab baginya, hidup menderita dengan uang pas-pasan dan banyak utang, sudah lebih dar

[Cerpen]: "Tujuh Anjing Penjaga" karya Ken Hanggara

  (Dimuat di Suara Merdeka edisi Minggu, 19 Agustus 2018)     Anjing-anjing Bu Meli hilang pagi itu. Sepertinya mereka pergi karena bosan tidak diberi makan enak. Sebenarnya bukan cuma karena makanan yang diberi selalu basi dan tidak enak saja, melainkan juga tidak pernah membuat kenyang.     Anjing-anjing malang itu hanya diberi wewenang menggonggong di waktu tertentu dan menggeram di waktu tertentu pula, yakni saat malam hari ketika orang sudah pada tidur, dan bukan pada saat jam makan.     "Itu tugas mereka!" ketus Bu Meli saat seorang tetangga menyayangkan hilangnya anjing-anjing itu.     Tetangga ini bilang, kalau saja Bu Meli agak perhatian kepada anjing-anjingnya, misal memberi beberapa menu tambahan agar lebih setia, mungkin tidak akan ada cerita kehilangan.     Para penjaga gerbang rumah dari ancaman maling dan rampok itu barangkali jenuh dan kesal, tetapi tidak tega mencabik-cabik ratu yang seksi sebagai ganti makanan basi. Mereka lebih memilih pergi. Sayangn

[Cerpen]: "Mayat Masa Lalu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas edisi Minggu, 5 Agustus 2018)       Seonggok mayat dirubung lalat di halamanku, persis di bawah pohon nangka. Jauh sebelum itu terjadi, berpuluh tahun lalu, pohon itu tempatku main petak umpet. Setelah agak dewasa, aku jadikan pohon itu sebagai tempat nongkrong bersama teman-temanku sesama pengangguran. Sesudah menikah, pohon itu tidak lagi kuperhatikan.     Aku tinggal di rumah peninggalan orangtuaku sejak bayi. Jadi hafal tiap sudutnya. Ketika seonggok mayat ditemukan di bawah pohon nangka tersebut, aku pikir seseorang sengaja membuat masalah.     Mayat itu tukang kebunku. Kardi namanya, yang mengaku bernama Sapono saat awal kami kenal kira-kira tujuh tahun silam. Lalu, kuketahui dia pernah menipu seseorang di suatu dusun di kaki gunung, dengan KTP palsu bernama Markoni, dan menyaru jadi guru SD. Dia mencabuli dua perempuan dan kabur membawa beberapa ekor sapi, dan mengganti nama menjadi Kardi.

[Cerpen]: "Maria dan Toko Baju" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tempo edisi akhir pekan, 4-5 Agustus 2018)     Saya perhatikan perempuan itu tidak pernah absen kemari setiap sore, selepas para buruh kelar memeras tenaga di pabrik, atau persis saat bus penuh sesak oleh siapa pun yang baru pulang kerja. Bersama seorang teman atau sering sendirian, ia membunyikan lonceng pintu depan—tanda pelanggan datang—dan memilih beberapa helai baju untuk dibawa pulang.     Namanya Maria, buruh pemintal benang di suatu pabrik di distrik ini. Saya tidak mengenalnya, hanya tahu dari pegawai yang lama-lama akrab dengannya. Di toko saya, ia sering beli gaun atau baju atau cuma selendang entah untuk apa. Memang benar, tidak setiap sore ia belanja, tapi banyak yang sudah ia beli dari sini. Saya tidak tahu apa yang sebenarnya ia butuhkan dengan datang ke sini? Maksud saya, untuk apa semua sandang itu? Maria sendiri, saya perhatikan, tidak begitu sering gonta-ganti pakaian. Bajunya, ya itu-itu saja.

[Cerpen]: "Calon Serigala" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Bromo edisi Minggu, 5 Agustus 2018)       Mudakir menyuruhku berbaring di meja dapur. Ia lipat bagian bawah kausku untuk melihat permukaan perutku. Basah dan gatal. Tetapi Mudakir bilang, tidak ada masalah. Bangkai anjing yang kusimpan dalam perut malam ini kelak akan keluar dalam wujud serigala.     "Boleh jadi dia langsung lapar. Tetapi, bisa juga tidak seketika lapar dan mencari induknya. Jika itu yang terjadi, buat dia mengira kamu induknya," kata Mudakir.     "Kalau lapar?"     "Beri makan!"     Mudakir menjelaskan beberapa peraturan. Pertama, ia tidak mau orang lain tahu dalam perutku bersemayam anjing mati, yang kelak jika keluar menjadi seekor serigala. Termasuk anak istriku. Biar dunia tak tahu. Rahasia segala-galanya. Kedua, ia tidak mau aku protes kalau serigala itu nanti memangsa seluruh keluargaku.     "Pengorbanan nomor satu. Lain-lain di belakang," tutupnya.     Mudakir pamit. Ia meminta uang sepuluh ribu yang

[Cerpen]: "Pembalasan Maria" karya Ken Hanggara

  (Dimuat di Suara NTB edisi Sabtu, 4 Agustus 2018)     Maria membunuh kelinciku. Aku bisa melihat itu. Kau paham, di kepalamu muncul ilustrasi, semacam film bisu; kau melihat kejadian-kejadian buruk, tetapi kau tak ada di sana. Kau tak dapat berbuat apa-apa dan tak mungkin takdir kau putarbalik. Seperti ini yang terjadi di kepalaku: Maria mendorong gerobak dan melihat ada kelinci di depan. Ia mendorong dan mendorong, dan ....     Aku tidak berani bilang kelinci, kendati lucu, ternyata bisa tampak menjijikkan.     Aku tidak menganggap kelinci binatang menjijikkan. Cuma darah yang kubenci dan membuatku mual. Aku tidak senang darah, termasuk darah yang keluar dari jariku waktu bermain dengan silet cukur papaku. Aku mengeluarkan darah yang asin dan memualkan. Itu menjijikkan. Kelinci juga bisa berdarah. Kalau bukan karena kegilaan Maria, kelinciku tidak berdarah.     Aku harusnya tahu, ketika Eli—demikian aku memberi nama kelinci berbulu putih itu—datang, bahwa Maria memandangku pe

[Cerpen]: "Tabung Tawa" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tanjungpinang Pos edisi Minggu, 29 Juli 2018)       Seandainya di bumi ini setiap manusia dijatah memiliki tawa dengan volume yang sangat terbatas. Misalnya, tawa satu orang manusia disimpan di dalam tabung tertentu, sehingga tidak ada yang sembarangan melempar tawanya, demi berjaga-jaga agar suatu ketika seseorang tidak kehabisan tawa untuk hal-hal yang tidak penting.     Aku sudah membayangkan hal ini, sekalipun Tuhan tidak memberi tahu para nabi dan rasul bahwa setiap manusia memiliki jatah tawanya masing-masing. Jadi, menurut keyakinanku (dan semoga ini benar), tawa setiap jiwa disimpan dalam satu tabung yang tersembunyi di dalam tubuhnya.     "Kamu sudah gila. Sebaiknya kamu bawa dirimu ke ahli saraf, atau mungkin sudah saatnya kamu resign. Pekerjaanmu yang gila benar-benar membuatmu gila!" kata seorang temanku.

[Cerpen]: "Kota Mati dan Pembunuhnya" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tribun Jabar edisi Minggu, 22 Juli 2018)       Seorang pemuda berjalan sempoyongan menuju suatu kota mati. Tidak ada apa pun yang dia bawa kecuali tas plastik berisi beberapa lembar baju dan satu buah buku. Di kejauhan, ada titik kecil bergerak-gerak dan tertangkap oleh bola mata keruh si pemuda yang agaknya belum makan sejak dua hari lalu. Melihat itu, semangatnya berkobar dan keputusan pun diambil: pergi ke sana dan mencari pertolongan.     Tentu saja menuju titik kecil yang dipisahkan jarak beberapa ratus meter tidaklah semudah yang dulu pemuda itu lakukan ketika situasi masih normal. Perang merenggut banyak hal, termasuk situasi sesederhana berjalan kaki menuju rumah makan cepat saji. Dulu rumah makan tempat biasa dia pergi mencari nafkah masih lebih jauh dari jarak yang kini harus ditempuhnya demi bantuan.     Berjuang sedemikian rupa, dengan sisa tenaga yang ada, si pemuda tampak kecewa ketika tiba di tempat tujuannya, yang ternyata hanyalah sebukit sampah. Titik

[Cerpen]: "Wajan Tua" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1586/XXX (16-22 Juli 2018)       Bu Meli punya wajan tua. Wajan tersebut awet, bahkan meski dipakai setiap hari. Entah berapa ribu atau mungkin berapa puluh ribu ikan telah meregang nyawa di wajan tersebut selama puluhan tahun.     Ya, wajan tersebut adalah wajan warisan, turun temurun sejak zaman Jepang belum menjajah Indonesia. Hitung berapa total hari dalam setahun dan kalikan sembilan puluh empat; jumlah tahun yang diperkirakan Bu Meli sejak wajan tersebut dipakai neneknya. Dalam satu hari keluarga Bu Meli menggoreng rata- rata dua ekor ikan.     "Wah, nggak kehitung kalau sama saya," celetuk Timo, keponakan Bu Meli yang doyan makan berbagai jenis masakan berbahan ikan laut maupun tawar. Hanya karena iseng saja, Agustinus yang juga keponakan Bu Meli, mencoba mencari tahu rekor yang dicapai oleh sebuah wajan.     Tentu saja, wajan Bu Meli bermutu dan tahan banting. Meski kau ketahui jumlah ikan yang mati di sana sekalipun, tidak akan meng

[Cerpen]: "Bocah Udang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Bromo edisi Minggu, 24 Juni 2018)       Aku tinggal di kota ini sebatang kara sejak belasan tahun lalu. Waktu itu aku tidak tahu harus pergi ke mana lagi usai kebakaran membakar habis rumah orang tuaku serta seluruh anggota keluargaku. Aku masih terlalu labil. Barangkali jika tidak bertemu Tuan Markoni, aku sudah jadi gila. Aku yang berjalan sempoyongan setelah kabur dari polisi yang membantuku, ditemukan olehnya berbaring melingkar di dasar selokan. Aku ingat apa yang selalu Tuan Markoni katakan jika kami bertemu dalam berbagai acara sosial di berbagai kota besar: "Ini dia bocah udang yang membantuku hidup!"     Tentu yang dia maksud adalah bahwa sampai sejauh itu dirinya belum mempunyai seorang pun anak kandung. Istrinya yang pertama telah meninggal jauh sebelum kami dipertemukan, sedangkan istri kedua yang mendampingi hingga hari tuanya menderita kemandulan. Itulah kenapa Tuan Markoni menganggapku anak sendiri yang menurutnya membuatnya tetap waras se

[Cerpen]: "Bioskop" karya Ken Hanggara

(Dimuat di janang.id pada 22 Juni 2018)       "Dulu menonton bioskop tidak semembosankan hari ini. Sekarang anak-anak muda datang berbondong ke bioskop dengan lampu-lampu. Membawa berbagai makanan, lalu menggandeng pasangan mereka. Tapi, tidak ada yang seistimewa di zaman kakek dulu," tutur kakekku sore itu.     Tidak biasanya Kakek Rusdi menyinggung-nyinggung soal bioskop. Beliau senang sekali bercerita tentang masa-masa peperangan, juga sesekali tentang kuliner di zaman sebelum kemerdekaan dulu, yang kini sebagian sudah susah ditemui.     Kakek memang sering bercerita banyak hal kepadaku, tetapi tidak pernah tentang bioskop.     Melihatku belakangan sering memutar film-film terbaru di laptopku, tiba-tiba saja Kakek Rusdi menyebut kata 'bioskop'. Zaman dahulu, mungkinkah ada bioskop? Kalau memang ada, bagaimana bisa bioskop masa kini tidak seistimewa bioskop masa itu?

[Cerpen]: "Rumah Komik" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Malang Post edisi Minggu, 10 Juni 2018)       1/     Rumah itu rumah komik. Ratusan atau ribuan judul komik ada di situ. Aku tidak menghitung. Kalkulator, seperti kata Bu Mei, guruku, tidak boleh selalu kubawa. Ingat petuahnya: "Boleh pakai buat koreksi tugas. Selain itu, simpan di meja belajar!"     Bu Mei tidak bilang kalkulator boleh dipakai menghitung mainan, apalagi buku komik. Aku tidak protes. Aku tidak suka pelajaran berhitung. Aku juga tidak suka guru itu. Aku lebih suka menggambar dan melatih bagaimana bikin gambar yang bagus dari buku-buku komik.     Lalu aku, dengan sepasang kaki mungilku, pergi ke rumah itu. Letaknya lima gang dari rumahku. Tidak besar, tapi di sana ada banyak sekali komik. Surga duniaku. Surga anak-anak. Dan nyatanya, cuma aku yang tahu. Bukan aku saja. Maksudku, hanya aku, anak seumuranku, yang tahu ada surga komik di suatu tempat. Aku tahu dari Mas Pras, anak SMP, tetanggaku yang suka njerat burung, bahwa di suatu gang dekat ta

[Cerpen]: "Sepulang dari Penjara" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Solopos, Minggu, 3 Juni 2018)    Beberapa dekade setelah dipenjara, Mudakir keluar dalam keadaan tidak memiliki apa-apa. Untuk pertama kalinya dia merasa tersesat di dunia yang tak lain adalah tempat kelahirannya. Dunia itu seakan direbut oleh zaman dan diubah jadi dunia robot dengan segala macam hal di luar nalar.     Mudakir hanya dapat berdiri kaku setelah taksi menurunkannya di depan lapangan, yang dulu dia tahu sebagai bioskop milik sahabat dekatnya. Tentu saja sahabatnya telah mati; ia dengar kabar ini dua puluh satu tahun yang lalu, sebelum kunjungan terakhir dia dapatkan dari istrinya yang kemudian meminta dicerai. Setelah itu, Mudakir tak pernah mendengar kabar apa pun tentang dunia luar.     Secara teknis, Mudakir sebatang kara sejak dua puluh satu tahun yang lalu, yakni sejak sebelas tahun dia ditahan gara-gara membunuh si pembuat onar di lingkungan tempat dia tinggal. Entah bagaimana hakim menjatuhinya hukuman empat puluh tahun penjara, tetapi baik Muda

[Cerpen]: "Permainan Api" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Minggu Pagi edisi Jumat, 25 Mei 2018)       Tak ada jalan lain selain menghabisi lelaki itu, jika aku mau selamat. Aku ingin ke rumah dan menemui istriku dan berjanji tidak akan selingkuh lagi. Sekarang semua itu seperti mimpiku semasa kecil: jadi seorang pilot. Aku tidak pernah tahu dan tidak terlalu yakin apakah kelak aku bisa menjadi pilot. Pikiranku, yang ketika itu masih sangat lugu, berkata, "Aku bisa terbang seperti burung dalam khayalanku, tapi belum pernah melihat pilot bekerja."     Di sebuah lemari antik, tubuhku kuselipkan di antara gantungan baju-baju rombeng yang baunya tidak enak. Aku tidak tahu lemari ini milik siapa, serta tidak tahu baju-baju yang mengurungku pernah dipakai siapa saja. Tetapi lelaki itu, sang suami yang sejak awal kuremehkan keberaniannya, berdiri di luar lemari dengan sebilah kapak yang siap menjebol otakku.

[Cerpen]: "Balas Dendam Paling Aneh" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Mojokerto edisi Minggu, 6 Mei 2018)       Kepala saya pusing, tetapi Maria menyuruh saya berbaring. Kamu jangan bangun, sebab barusan tukang sihir mengoperasi otakmu yang belakangan dikuasai hantu-hantu. Lalu Maria menata selimut di dada saya dan tersenyum manis.     Saya heran kenapa Maria bicara seaneh ini? Dia perempuan paling skeptik yang saya kenal, namun kali itu sosok lain seakan masuk ke badannya dan mengontrol Maria sepenuhnya. Maria tidak berhenti tersenyum sampai saya mencoba bangkit dari tempat tidur. Dia hampiri saya dan dengan jengkel berkata, "Kamu mau otakmu bocor?!"     Maria meraih cermin di sisi tempat tidur dan menyerahkannya kepada saya. Lebih baik kamu bercermin, katanya, lalu meminta saya berjanji untuk tidak kaget, karena dia masih mencintai saya dan berharap dapat menikah bersama saya dan kami punya anak banyak dan hidup bahagia selamanya.     "Maria, kamu tidak seaneh ini? Sejak kapan kamu cinta saya?"

[Cerpen]: "Ajal Kolektor Buku" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Padang Ekspress edisi Minggu, 22 April 2018)       Pada suatu hari seorang hartawan yang merasa dirinya akan mati membuka pintu rumahnya untuk semua orang yang menginginkan buku-buku koleksinya. Perpustakaan pribadi yang dibangun secara khusus di satu bagian taman di belakang rumah tersebut sangat luas. Ada beribu buku di sana; dari yang paling berkualitas hingga yang kaum kritikus sebut sebagai barang rombeng, semua ada.     Aku dan Marcel turut ke sana setelah kunjungan terakhir kami ke suatu pantai tak menghasilkan apa pun, karena kami dirampok. Seluruh isi tas beserta dompet dirampas oleh perampok laknat. Terbengong di kantor polisi membuat kami merasa bagai orang goblok, sehingga membaca pengumuman tentang adanya pembagian buku oleh seorang hartawan, kami pun tergerak datang.     Seorang polisi berkata, setelah mendengar kami ingin pergi ke sana, "Ya, pergilah. Nanti buku-buku itu bisa dijual untuk mengganti beberapa hal yang perlu diganti."

[Cerpen]: "Perjaka Tua" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Simalaba Online edisi 21 April 2018)       Sekaya apa pun Han, tidak sekali-kali seorang perempuan ia peristri. Di kepalanya telanjur terpajang tulisan: bukan untuk dibeli. Betapa tidak berpikir sekonyol itu, kalau bukan saking banyaknya telepon masuk semenjak sang bapak, dengan penuh emosi, menempel selebaran bergambar pas foto beserta nomor ponsel Han tadi pagi. Seakan- akan ia dijual. Seakan-akan ia benda mati.     "Saya bukan barang dan saya manusia," katanya penuh ketenangan.     Bapak yang keras kepala tambah muak mendengar. Sedari tadi ponsel di atas meja bergetar dan bergetar, tetapi Han tak sekali pun tergerak. Setidaknya menjawab sepatah dua patah kata. Alasannya, saya tidak kenal. Dan bapaklah yang selalu mengangkat dan mendorong Han agar mau bersuara, sekadar menyahut meski sedikit. Usaha yang sia-sia, karena Han tetaplah Han.     "Mau sampai kapan?" Kali ini Ibu menimpali. Raut kusutnya, makin kusut melihat kegemingan putra semata wayang

[Cerpen]: "Bukan Ayahmu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Analisa Medan edisi Minggu, 22 April 2018)       Aku ke sekolah dengan semangat pagi itu. Uang yang kusimpan di tasku kubekap erat. Uang itu kubawa pagi ini dan kuserahkan pada Doni. Aku tahu ibu Doni sakit. Ia butuh uang untuk membawa ibunya ke ruang operasi. Kemarin aku janji meminjamkan uang untuknya, agar ia tidak usah ke rumah rentenir.     Doni sudah pasti berdiri di terasnya dan menungguku dengan cemas. Ibunya pasti bingung dan bertanya-tanya dalam hati. Ibu Doni sangat penyabar. Aku mengenal beliau sedekat keponakan dengan bibi kandungnya, padahal kami bukan keluarga. Ia begitu baik, dan dahulu sebelum sakit sering membuatkanku nasi goreng.     Nasi goreng ibunya Doni khas dan enak. Tapi, itu dulu. Sejak dokter bilang beliau mengidap penyakit, pekerjaan-pekerjaan rumah semua diwarisi oleh Doni, yang hanya tinggal berdua dengan ibunya. Tidak ada lagi nasi goreng. Tidak ada ajakan Doni agar aku mampir, sekadar main Play Station atau bicara tentang komik dan film a

[Cerpen]: "Legenda Sumar Mesem" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Bromo edisi 8 April 2018)       Mantan pesepakbola itu ditemukan mati gantung diri setelah bertahun-tahun hidup sebatang kara. Tidak ada yang menemaninya di masa tuanya. Kalau pernah mendengar sebuah hikayat, tidak akan heran saat semua bahkan jadi jauh lebih buruk dari itu; tidak ada yang bersimpati padanya, kecuali segelintir tetangga, sehingga hari pemakamannya pun amat sepi. Orang-orang datang hanya karena itu kewajiban yang memuakkan, yang memang harus dilakukan sebagai tetangga, dan sesudah itu, pergi begitu saja. Tidak ada bunga-bunga tanda duka dan segala macam. Doa-doa pun terasa singkat. Begitu kontras dengan betapa tenarnya almarhum semasa hidup.     Ali Sumarlin, demikian nama pesepakbola itu, atau yang pada masa mudanya lebih dikenal dengan sebutan Sumar Mesem (ya, Sumar Mesem, bukan Semar Mesem ), mulai dikenal gara-gara tendangan pisangnya ke gawang timnas Thailand di tahun yang telah lama lewat. Pada saat itu, saya masih terlalu dini disebut se

[Cerpen]: "Rumah Hutan" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Cendananews pada Sabtu, 3 Maret 2018)       Sejak hutan yang kutinggali digunduli, aku beserta keluargaku pindah ke kota-kota besar. Kami tidak pernah bertahan selama lebih dari lima hari di suatu kota dan itu yang membuatku kemudian mengira betapa hidupku akan berakhir sial. Di hutan, di sebuah komunitas pencinta alam dan pembenci kehidupan modern serta alat-alat elektronik, aku dibesarkan dengan keyakinan bahwa manusia harus menyatu sepenuhnya dengan alam dan kami dilarang memakai alat-alat temuan zaman modern untuk pekerjaan-pekerjaan yang sebenarnya bisa dilakukan oleh tangan kami sendiri.     Tentu saja, dengan kehidupan yang seperti ini, aku tidak mengerti banyak hal yang harus dimengerti oleh siapa pun yang tinggal di kota. Aku adalah anak sulung dari lima bersaudara dan ayahku telah meninggal. Akulah pemimpin di kelompok kami, sebab komunitas di hutan itu telah terpecah belah dan masing-masing kepala keluarga sepakat untuk tak lagi hidup beriringan seperti dulu.

[Cerpen]: "Rahasia di Lantai 4" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Mojokerto, Minggu, 18 Februari 2018)       Aku pindah ke hotel ini dua hari lalu setelah diusir istriku yang curiga bahwa aku telah selingkuh. Sebenarnya aku tidak selingkuh, tetapi aku terpaksa pergi dari rumah dan menyelesaikan masalah kami dengan baik-baik tanpa ribut. Jadi, kupikir, menginap di luar rumah adalah solusi terbaik. Istriku tidak akan bisa berhenti mengomel saat dia sedang kalap.     Hanya saja, sejak check-in sampai detik ini aku belum bisa tidur. Ada yang aneh di salah satu kamar pada lantai teratas, yang berada persis di atas kamarku. Tiap malam di jam tertentu kudengar keributan di sana. Seakan-akan diadakan semacam pesta dan para penghuni kamar itu bebas berlompatan ke sana kemari. Seakan-akan mereka tidak tahu bahwa siapa pun yang menginap di hotel ini juga butuh istirahat.     Pada awalnya, tentu aku tidak terganggu dan berpikir, bahwa kebetulan saja diriku check-in ke hotel ini di saat yang bersamaan dengan diadakannya pesta mereka. Tetapi,

[Cerpen]: "Memilih Cara Mati" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Mojokerto, Minggu, 11 Februari 2018)       Melompat ke jalan adalah satu-satunya pilihan yang dapat kuambil saat itu. Jadi, tanpa sedikit pun bicara, kulemparkan tubuhku ke jalanan dan menyambut truk panjang yang entah berbobot berapa ton. Tubuhku hancur setengah, berguling-guling, dan pada saat itu juga nyawaku melayang di angkasa. Kupandangi mendung yang menurunkan air hujan. Kupandangi darahku yang mengalir menuju selokan. Orang-orang bergerumbul di situ, dan truk yang melibasku, yang sudah berhenti belasan meter jauhnya setelah aku tewas, meninggalkan warna kemerah-merahan di aspal yang barusan dijejak bannya. Di atas sini, aku tidak bisa mendengar suara-suara mereka. Aku hanya bisa berkata kepada diriku sendiri, bahwa: "Aku sudah mati."     Setelah ini, apa lagi?     Aku sudah mati. Karena bosan hidup, kuputuskan sebaiknya aku mati saja. Sebuah truk adalah cara yang paling cepat sekaligus sensasional, kalau Anda ingin mati dan jadi perhatian warga.

[Cerpen]: "Penjaga Marni" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Solopos edisi Minggu, 11 Februari 2018)       Aku belum pulang, meski dua jam duduk. Tiga gelas kopi plus sepiring singkong dan pisang goreng tandas, tapi satu-satunya yang membuatku datang belum tercapai.     Marni, dengan wajah polos dan tubuh sintal, ke sana kemari membersihkan gelas dan piring-piring kotor. Sesekali ia jawab pertanyaan pengunjung warung. Kuamati dari pucuk rambut sampai kaki. Dada indah, pinggul ideal, betis mulus, kulit sehalus gading. Semua menarik perhatian dan membuat darah lelaki berdesir.     Satu per satu orang datang dan pergi. Satu per satu Marni menjawab total harga, dengan suara halus yang bila diimajinasikan bisa menjadi cabul. Para pengangguran di balai-balai dua hari lalu, begadang dan cekikikan semalam demi membahas keuntungan apa yang bisa mereka ambil andai Marni mau diajak pergi.     Aku tahu mereka bercanda dan tidak benar-benar mengajak Marni keluar, misalnya ke losmen murah untuk diajak pesta—satu wanita, tujuh lelaki. Minumanny

[Cerpen]: "Tamu Misterius Pembawa Pesan" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Padang Ekspres edisi Minggu, 4 Februari 2018)       Suatu malam kudengar ketukan di pintu rumahku. Aku keluar dan memeriksa siapa yang bertamu di jam yang kurang sopan ini, tetapi tidak ada siapa pun di sana. Aku lalu kembali ke kamar dan sekali lagi mendengar ketukan dari pintu depan. Kukira mungkin anak-anak dusun sedang bercanda, dan memang beberapa tetangga yang belum lama ini kukenal, karena aku warga baru di kompleks ini, mengeluh bahwa anak-anak dusun itu senang memanjat pagar perumahan dan membuat masalah-masalah.     Salah satu tetangga mencoba mengingatkanku, "Anak-anak itu putus sekolah dan kebanyakan mereka dilahirkan sebagai kriminal. Anda harus mulai jaga diri."     Tentu aku tidak tahu bagaimana menanggapi saran semacam itu, tapi tetangga yang berkata begitu tampaknya bisa dipercaya. Orangnya bukan sejenis penyebar gosip yang bermulut tanpa rem; tetanggaku ini terlihat pendiam dan sering menoleh ke kiri dan kanan ketika ngobrol denganku di hari

[Cerpen]: "Dunia Silver" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Takanta edisi Minggu, 4 Februari 2018)       Sarimin merasa dirinya berada di cermin. Anehnya, dia melihat tubuhnya sendiri berbaring di tempat tidur yang letaknya persis di depan cermin. Bagaimana dia ada di dalam cermin kamarnya, serta bagaimana bisa melihat tubuhnya sendiri padahal merasa tidak tidur, ia tidak tahu.     Sarimin mengira ini pasti mimpi.     "Aku harus keluar. Kalau tidak, nanti telat," pikirnya mengingat-ingat janji temu dengan Suketi, pacar barunya.     Namun, ketika hendak keluar dengan melompat, kepalanya terbentur. Dikiranya di mimpi, seseorang tidak terluka meski melompat menembus cermin. Ia terpental sampai punggungnya membentur dinding.     Sarimin bangkit dan melihat sekeliling.     Di luar bingkai cermin ini, semua benda berwarna silver, dari mulai lemari tempat cermin itu berada, meja belajar, kursi, jendela, foto-foto, jam, sampai tempat tidur yang kini ia tumpangi. Semua serba silver.     Sarimin pusing tujuh keliling. Dia sadar

[Cerpen]: "Sartini" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Bromo edisi Minggu, 4 Februari 2018)       Jatuh cinta pada janda penjual dawet membuat hidup Mugeni agak berantakan. Di depan teras kontrakanku, pada suatu subuh, bocah pengangguran ini tersungkur dengan mulut berdarah-darah.     Kutanya ada apa, lalu dia bilang: "Jatuh cinta membuat hidup ini ribet!"     Tentu saja aku paham yang Mugeni maksud adalah Sartini, si penjual dawet yang berjualan sejak jam enam pagi itu, dan remaja sembilan belas tahun sepertinya jelas tak bakal mendapat jalan mulus untuk mencumbu seorang janda, tanpa mendapat omongan sana-sini yang tak sedap. Namun, bagaimana bocah ini bisa babak belur begitu, aku tak benar-benar tahu.     Aku baru tahu setelah di hari yang sama, tepat jam delapan pagi, ibu-ibu yang hobi ngerumpi sedang berkumpul di balai dusun untuk mengimunisasi anak-anak mereka.     Di antara ibu-ibu bermulut lancip itu, kudengar Bu Markonah berkata, "Wah, wah, Mugeni itu memang suka cari masalah. Sudah tahu pacar o

[Cerpen]: "Penjual Mata" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kedaulatan Rakyat edisi Minggu, 28 Januari 2018)       Sudah berhari-hari aku berkeliling untuk menjual bola mataku, tapi tidak ada yang sudi membeli. Katanya, bola mataku terlalu suci untuk orang-orang seperti mereka yang selama ini kerap mempergunakan anugerah penglihatan untuk mengeruk banyak dosa.     Aku tidak tahu kenapa orang-orang ini begitu sadar dan tidak malu mengakui dosa yang mereka perbuat. Meski sebenarnya mereka butuh mata cadangan, sebab aku hanya menjual mataku untuk orang-orang yang kehilangan satu atau dua bola mata gara-gara karma atau (menurut dugaanku) kecelakaan, mereka tetap merasa bola mataku terlalu suci.     Sebenarnya, penjual bola mata di negeri ini bukan hanya aku. Hampir setiap hari ada saja orang yang bola matanya tiba-tiba copot begitu saja, dan jika insiden semacam itu terjadi, siapa pun yang bersangkutan kemungkinan berpikir soal karma. Aku tidak tahu apa mereka benar-benar yakin bahwa karma memang bekerja, tapi dari pengakuan orang t

[Cerpen]: "Reuni" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA No. 1561/XXX - 22-28 Januari 2018)       Pianis yang duduk di pojok aula itu piawai mengiringi bintang di acara malam ini, seorang pria berbadan jangkung dengan wajah teduh. Cukup dengan piano, tanpa gitar, apalagi drum, tembang One Last Cry sudah membuat bulu kuduk Dina berdiri. Ia duduk tegap dan sesekali mengusap keringat di dahinya. Kalau bukan karena sifat alamiah bola mata, barangkali dia lebih suka tidak ada kedipan untuk sisa malam ini. Ia tidak lupa, dulu lelaki itu adalah bintang.     Dan akan selalu menjadi bintang sampai malam ini.     Dina juga tidak lupa kejadian yang menyakitkan itu. Dia lirik seseorang di kiri jauh, kira-kira sebelas kursi jaraknya. Seorang wanita tampak menikmati suguhan lagu dari si jangkung. Wanita yang dulu pernah menjadi bagian dari hidup Dina. Pernah? Ya, dan tidak bisa lebih dari pernah, meski kini wajah itu terlihat jauh berbeda. Apanya? Cantik? Diam-diam rasa iri menyelinap di hati. Bagaimanapun, memutar kenangan bi