Skip to main content

[Cerpen]: "Rumah Hutan" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Cendananews pada Sabtu, 3 Maret 2018)
 
    Sejak hutan yang kutinggali digunduli, aku beserta keluargaku pindah ke kota-kota besar. Kami tidak pernah bertahan selama lebih dari lima hari di suatu kota dan itu yang membuatku kemudian mengira betapa hidupku akan berakhir sial. Di hutan, di sebuah komunitas pencinta alam dan pembenci kehidupan modern serta alat-alat elektronik, aku dibesarkan dengan keyakinan bahwa manusia harus menyatu sepenuhnya dengan alam dan kami dilarang memakai alat-alat temuan zaman modern untuk pekerjaan-pekerjaan yang sebenarnya bisa dilakukan oleh tangan kami sendiri.
    Tentu saja, dengan kehidupan yang seperti ini, aku tidak mengerti banyak hal yang harus dimengerti oleh siapa pun yang tinggal di kota. Aku adalah anak sulung dari lima bersaudara dan ayahku telah meninggal. Akulah pemimpin di kelompok kami, sebab komunitas di hutan itu telah terpecah belah dan masing-masing kepala keluarga sepakat untuk tak lagi hidup beriringan seperti dulu.
    Sebenarnya ada beberapa kelompok yang sepakat untuk mencari kehidupan sendiri di hutan-hutan lain, tetapi beberapa keluarga dalam satu perjalanan yang sulit ini tidak mungkin tidak menyebabkan kekacauan satu sama lain. Dan karena aku tidak ingin itu terjadi di keluargaku, maka akhirnya keluargaku pun terpisah dari komunitas seperti yang juga terjadi pada beberapa keluarga lain.
    Kota pertama yang kami kunjungi tidak terlalu ramah; kami harus tidur kedinginan di tengah kota dengan rumah-rumah yang tertutup rapat dan tidak menyediakan sedikit pun kepedulian untuk sekadar menjawab pertanyaan. Bahkan, banyak juga yang boleh jadi menganggap kami gila, sebab belum sampai kami hampiri mereka, orang-orang itu sudah lebih dulu kabur.
    Pada malam pertama itu, mendekati waktu subuh, kami digelandang ke bangunan di depan sebuah monumen, oleh orang-orang berseragam, yang kemudian kutahu betapa mereka adalah polisi. Kami, yang sejak awal hidup di hutan, dan tidak pernah benaran tahu soal kehidupan modern, tetap dapat membaca, karena ayah dan ibu kami, generasi pertama yang mengukuhkan kehidupan paling murni di alam liar ini, tidak ingin kami dibodohi jika kelak bertemu orang-orang yang tinggal di kota-kota dengan berbagai alat modern dan sistem kehidupan yang rumit. Nah, dari situ aku tahu kalau kami dikurung di sebuah kantor polisi.
    Kami ditanyai banyak hal dan hanya ibuku yang dapat menjawab banyak hal, yang tentu saja tidak terlalu kami pahami. Ibu memang sempat melakoni kehidupan modern bersama ayah, tetapi itu terjadi jauh sebelum aku lahir. Katanya, kehidupan di kota-kota besar dengan sistem yang luar biasa kejam itu tidak cocok untuk anak-anak mereka, dan sejak itulah ayah ibuku beserta orang-orang lain yang senasib dengan mereka (yang tak senang dengan segala sistem dan alat-alat modern dan tetek bengeknya) membangun sebuah komunitas yang bertahan begitu lama hingga akhirnya hutan kami digunduli dan kami harus bermigrasi. Meski begitu, Ibu dan Ayah (ketika beliau masih hidup) tidak pernah membicarakan apa pun soal kehidupan masa lalu mereka. Jadi, ketika kutahu Ibu berbicara dengan polisi dengan cara yang jauh dari cara-cara yang kupelajari di hutan selama ini, aku seakan melihat sosok lain ibuku.
    Tentu saja kami tidak menjalani semuanya dengan baik; para polisi itu membawa keluargaku ke suatu tempat yang penuh dengan orang-orang berbaju lusuh, dan banyak dari mereka yang diam-diam terlihat membicarakan kami. Karena tidak tahan, kuminta pada salah satu petugas agar kami dibebaskan saja dan agar kami dibiarkan menemukan tempat tinggal kami sendiri.
    "Sudah berapa tahun Anda dan keluarga Anda tinggal di hutan? Kalian tidak punya rumah dan kami tidak membiarkan orang-orang seperti Anda mengotori tempat-tempat umum di kota kami yang bersih ini!" kata petugas tersebut.
    Aku tidak bisa menjawab pertanyaannya dan akhirnya Ibu pun punya solusi supaya kami bisa cepat-cepat pergi dari tempat itu. Ibu ingat sebuah kota di mana dulu dia lahir dan dibesarkan. Di kota itulah dulu Ibu bertemu Ayah.
    "Tetapi sudah puluhan tahun Ibu tidak ke sana," keluhnya, setelah beberapa lama ia terdiam.
    Lalu Ibu pun menghampiri beberapa petugas dan memohon sesuatu kepada mereka. Aku tidak mendengar pembicaraan mereka, tetapi akhirnya orang-orang itu membiarkan kami pergi. Bahkan mereka mengantar kami ke sebuah stasiun dengan memberi bekal uang satu dompet. Kami juga diberikan surat keterangan yang menjelaskan betapa kami bukan orang-orang jahat dan kebetulan saja kami kehilangan kartu identitas. Aku tidak tahu apa yang Ibu lakukan untuk mendapat semua kemudahan ini. Aku juga tidak berani bertanya, karena Ibu tampak sangat marah begitu meninggalkan kantor polisi.
    Belakangan aku tahu, setelah kami naik kereta dan pindah ke kota kedua dan ketiga dan keempat, betapa di kantor polisi tempo hari Ibu memberikan tubuhnya untuk orang- orang bejat itu. Aku tidak lagi bertanya karena aku sendiri tahu soal itu dari igauan Ibu di saat dia tertidur dan mungkin mengalami mimpi buruk. Dapat kubayangkan, memang benar kehidupan modern ini begitu kejam dan tidak cocok untuk kami. Di kota-kota lain kami tidak sampai mengalami hal seperti di kota pertama, sebab Ibu punya cara supaya kami semua mendapat semacam kartu pengenal palsu. Kami membuatnya dengan cara membayar orang-orang tertentu, yang entah dari mana Ibu kenal, dengan uang dari para polisi tempo hari.
    Sekian bulan berlalu, keluargaku akhirnya tiba di kota di mana dulu ibuku lahir dan dibesarkan. Katanya, di tepi kota ini terdapat sebuah hutan yang begitu besar dan tidak akan pernah bisa digunduli oleh siapa pun, sebab hutan itu kabarnya adalah hutan paling keramat.
    "Barangsiapa berani menebang satu saja pohonnya, akan ketiban sial seumur hidup. Jadi, sebaiknya kita tinggal di sana saja," demikianlah kata Ibu.
    Akhirnya, kami tiba juga di hutan di tepi kota itu, tapi sebelumnya, selama berjalan melewati bagian-bagian kota, Ibu terlihat sangat sedih. Ibu juga enggan melewati jalan tertentu dan memilih menggiring kami berbelok dan berjalan memutari suatu wilayah demi menghindari sesuatu. Aku yakin Ibu sedang menghindari masa lalunya dan tidak tahu kenapa, diam-diam aku juga merasa sedih.
    Aku juga sangat penasaran apa sebenarnya yang membuat Ibu menghindari sesuatu itu? Sesuatu macam apakah itu? Apakah orang tua Ibu masih hidup? Apa dia memiliki saudara-saudara kandung? Teman-teman semasa kecil dan semasa bersekolahnya? Aku tidak tahu jawaban dari semua pertanyaan itu, tetapi tidak berani bertanya apa-apa pada Ibu.
    Ketika kami benar-benar masuk ke hutan itu, rasanya aku hampir seperti berada di rumahku sendiri. Hanya butuh beberapa jam untuk penyesuaian, karena kami toh sudah bertahun-tahun tinggal di hutan rimba. Binatang-binatang buas dapat kami tangani saat itu, tetapi di hutan sini nyaris tidak ada binatang buas. Kami berburu dan hanya dapat ikan-ikan, tetapi itu lebih dari cukup. Setiap hari aku dan adik-adik menjelajahi kawasan baru untuk mencari tahu apakah ada sumber makanan baru agar kami tidak bosan, tetapi bukannya terlihat senang seperti dulu, ketika kami masih berada di hutan lama, Ibu tak berbuat apa pun selain melamun.
    Ibu bahkan tidak terlihat berminat menyantap ikan bakar yang kusajikan. Kupikir mungkin ibuku sakit, jadi kuusahakan beberapa obat alami untuk dia minum, namun tak ada perubahan apa pun. Suatu hari adik bungsuku bilang bahwa Ibu mungkin kepikiran soal kejadian beberapa hari sebelumnya. Aku tidak tahu apa itu, tetapi adikku bilang Ibu sempat bertemu dengan seseorang secara tidak sengaja ketika kami berjalan menuju ke hutan ini.
    Aku mengingat-ingat waktu itu. Kami sedang berhenti di sebuah pom bensin, dan di sana aku dan dua orang adikku buang hajat. Ya, kami memang harus buang hajat di tempat yang wajar, meski kami sangat membenci itu. Tujuannya supaya tidak dicurigai dan ditangkap oleh polisi. Tentu saja aku tidak tahu apa yang Ibu kerjakan saat itu, dan tentu saja hanya salah satu adikku yang kebetulan melihatnya saja yang tahu. Katanya, orang asing itu seperti mengenali Ibu dan dia berusaha menyapa Ibu, tetapi Ibu lari dan bersembunyi di belakang mesin kasir. Adikku terlalu kecil jadi tidak tahu apa maksud dari semua itu. Aku pikir, mungkin Ibu bertemu orang yang dia kenal di masa lalunya, dan dia merasa harus segera menyingkir.
    Seandainya orang asing itu adalah perusak, kurasa seharusnya ibuku tenang-tenang saja. Tapi, mungkin saja dia tidak sekadar perusak. Atau boleh jadi orang asing itu justru bukan perusak dan justru adalah orang yang begitu berpengaruh di kehidupan ibuku, dan itulah yang membuatnya tidak berselera makan dan akhirnya sakit.
    Sebelum kubicarakan ini ke Ibu, esok paginya, ketika aku dan adik-adik bersiap ke sungai untuk mencari ikan, sebuah rombongan dengan tas ransel di punggung masing- masing datang. Aku tidak kenal orang-orang modern berpakaian bersih itu. Aku tidak kenal satu pun di antara mereka, tetapi orang-orang itu tersenyum. Ibu langsung pingsan sebelum orang-orang itu sempat menjelaskan siapa mereka. Akhirnya, kami pun tahu jika enam orang tersebut adalah saudara kandung Ibu dan mereka telah lama menanti kedatangannya.
    "Dulu kami menentang keputusannya, tetapi lama-lama kami mengerti. Kami tidak bisa mengatur kehidupan seperti apa yang dia inginkan. Tapi, sekarang kami bersyukur. Setidaknya kami bisa bertemu dengannya lagi dan melihat anak-anaknya," kata seorang di antara mereka.
    Aku tidak tahu apa yang harusnya kulakukan. Salah satu adikku mencoba mengusir mereka, tetapi kucegah. Kami pun hanya duduk diam sembari menunggu ibuku siuman. Pada saat itu, kami akan tahu keputusan terbaik macam apakah yang dapat kami ambil demi kebaikan ibuku dan saudara-saudaranya. [ ]

    Gempol, 15 Februari 2018

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya berjudul Museum Anomali (Unsa Press, 2016) dan Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017).

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri