Dalam dunia literasi, seorang penulis atau pengarang aslinya
tidak butuh pujian, karena pujian itu enak seperti sate kambing, atau
setidaknya seperti ditraktir makan tiga kali (walau lauknya tempe penyet). Sate
kambing jelas rasanya enak, bagi yang suka. Bagi yang tidak suka, silakan ganti
kata-kata di atas dengan sate ayam, sate bebek, sate sapi, atau sate apa saja,
terserah. Intinya semua jenis sate, atau masakan apa pun yang dimasak dengan
baik dan berharga mahal, pasti rasanya enak to? Sedangkan, ditraktir tempe
penyet tiga kali itu kebiasaan orang Indonesia. Percaya nggak percaya, itulah
kita, karena kita suka yang gratis-gratis, walau agak kampungan.
Sudah, tak usah dibikin ribut gimana-gimana, wong saya tentu
tidak berhasrat mengatakan tempe itu kampungan atau sate kambing itu bangsawan.
Yang saya bilang adalah: pujian itu enak banget, dan kalau diberikan secara
cuma-cuma, kita bisa ketagihan. Tapi jangan salahkan kalau nanti yang sampean
dapat ujung-ujungnya cuma bikin lari ke WC, lantas BAB. Makan apa saja, entah
enak entah gratis, ujung-ujungnya jadi (maaf) tahi.