Skip to main content

Posts

Showing posts from April, 2020

Pengakuan

(Dimuat di Bacapetra.co pada 17 April 2020)   Terakhir kulihat senyum perempuan itu bukan saat kami baru saja melepas rindu di atas kasur semalam sebelumnya. Bukan ketika aku meninggalkannya duduk di bangku depan mobil. Senyum terakhir itu, yang kutangkap setelah tahu seseorang rela menjadi malaikat maut bagiku, akan mengendap di kepalaku sampai beratus atau bahkan beribu tahun lamanya, andai aku diberi jatah hidup sebanyak itu.   “Tuhan tidak memberi bajingan sepertimu keistimewaan!”   Ya, memang.   Bukankah terlalu banyak jiwa yang kulempar ke jurang pekat, yang tak terjamah, tak terendus bahkan oleh anjing pelacak paling jenius sekalipun? Tak ada satu hal pun yang kubanggakan untuk itu, sebab tindakan itu hanya “perlu” untuk diadakan, dan aku bukan sedang mengejar prestasi. “Coba kau ingat-ingat ada berapa nyawa yang sudah kau habisi?”   Sejujurnya, aku tak ingat. Tetapi, andai seseorang ingin membangun sebuah rumah dengan bahan-bahan dan desain unik, tubuh para kor

Setelah Kematian Menyakitkan

(Dimuat di basabasi.co pada Jumat, 27 Maret 2020)   Mati sebagai seonggok mayat tanpa identitas masih lebih baik ketimbang mati dan tubuhmu hilang dalam tubuh orang lain. Setidaknya itulah yang Ali Sumarno yakini. Ia tidak mungkin pulang begitu saja dan mengetuk pintu hanya untuk membuat kaget istri dan anak-anaknya dengan menampakkan diri dalam wujud hantu. Lagi pula tidak tahu apakah mereka bakal mendengarnya? Orang-orang itu mungkin pingsan atau bakal lari begitu melihat wujudnya yang mengerikan atau malah ia sama sekali tak terlihat di mata mereka? Bahkan, lelaki itu sendiri tidak yakin bisa pulang tanpa tersesat dengan hanya mengandalkan sosoknya sebagai hantu. Apa ia bisa terbang? Apa hantu bisa lari secepat angin dan menembus tembok, gedung-gedung, kereta api, bahkan pesawat terbang?   Ali Sumarno memikirkan cara bagaimana supaya seseorang tahu ia belum lama ini mati dibunuh rekannya sendiri, lalu jasadnya dihilangkan dengan sesadis-sadis cara. Ia merasa cukup sudah kalah

Mengobati Masa Lalu

(Dimuat di Radar Bromo, edisi Minggu, 22 Maret 2020)   Ibu pergi sejak lama. Terakhir aku melihatnya ketika dia bertengkar dengan ayahku di dapur. Aku baru enam tahun saat itu. Terlalu sering mereka adu mulut, tapi malam itu ibuku berbisik pada Ayah saat bertengkar. Sebuah cara bertengkar yang aneh. Butuh bertahun-tahun sampai aku paham makna pertengkaran berbisik itu. Orang-orang di sekitar kami tidak suka pada Ayah, yang hobi mabuk dan tak punya pekerjaan. Mereka juga tidak senang pada Ibu yang bekerja. Namun pekerjaan Ibu cuma bisa dilakukan di pinggiran kota ketika malam hari dan dia harus pulang setelah subuh. Ibu seperti bukan Ibu atau mirip orang kerasukan setan andai aku melihatnya pulang. Jika dulu Ibu bertengkar dengan suara keras, para tetangga gembira melihat kami.   Aku tahu kebencian tersebut dari pamanku. Paman memberitahuku bagaimana para tetangga bahagia begitu saja oleh pertengkaran ayah ibuku. Pamanku orang yang baik. Kalau tidak ada dia, aku tidak bisa hidu