Skip to main content

Posts

Showing posts from July, 2019

[Cerpen]: "Tentang Belly" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Suara Merdeka, Minggu, 28 Juli 2019) Kami memanggilnya Belly. Dia senang membunyikan bel di setiap pintu di lantai ini dan konon itulah yang membuat orang menyebutnya Belly. Tidak pernah ada yang tahu nama aslinya. Bagi Belly itu tak penting. Ia tak waras, tetapi pintar bernyanyi dan murah senyum. Suatu malam, Belly bernyanyi di depan kamarku. Waktu itu jam satu dini hari dan aku belum tidur, padahal jam 7 harus ke bandara untuk urusan penting. Belly bernyanyi seakan lingkungan sekelilingnya dipadati penonton. Seakan ia benar-benar berdiri di atas panggung. Beberapa tetangga memarahinya. "Dulu kami mengikatnya di gudang, dekat pipa-pipa busuk itu, tetapi kami kasihan dan membiarkannya nyanyi sepanjang malam di lorong. Besoknya kami kelelahan dan tak ada yang peduli apa Belly tidur ditemani hantu atau tidak di gudang itu," kata John, salah seorang tetangga. Aku tahu banyak tentang Belly dari John, sebab ia pengangguran, tetapi mengaku sebagai pengamat

[Cerpen]: "Menengok Makam Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Bangka Pos, Minggu, 21 Juli 2019)     Biru pasir itu begitu berpengaruh di pikiranku. Aku ingin pulang dan tidur berjam-jam lamanya, tetapi rasa kantuk ini harus kulawan. Aku tidak akan pulang sebelum Ayah kutemukan. Ayahku sudah lama menderita kepikunan. Dari waktu ke waktu tiap tindakannya makin memperkuat dugaanku kalau Ayah tak akan pernah mengenali cucunya sendiri.     Anakku lahir tepat ketika Ayah mulai senang bepergian keluar rumah lewat tengah malam. Beliau memang tinggal bersama keluarga kecilku, karena saudara tertuaku tidak terlalu peduli padanya. Saudara kedua bahkan tidak pernah saling bertegur sapa sejak Ayah masih sehat dan kuat bertahun-tahun silam. Hanya akulah anak yang paling patuh padanya, sehingga Ayah pun lebih dekat denganku.     Di hari-hari tuanya, Ayah tak memiliki apa-apa. Rumahnya disita oleh pihak bank karena persoalan utang-piutang. Tanpa pikir panjang, aku dan istri memboyongnya ke rumah sederhana kami di kampung nelayan. Kami sudah

[Cerpen]: "Kapten Tua" karya Ken Hanggara

Gambar dari pixabay.com (Dimuat di Cendana News dengan judul Kapten Kapal pada Sabtu, 20 Juli 2019)     Seorang kapten kapal ditemukan mati tergeletak di kolong bus. Tak ada yang tahu di mana terakhir lelaki tua itu terlihat; mereka hanya lama tak mendengar suara khasnya saat bernyanyi lagu-lagu dari Prancis atau Inggris. Bahasa itu sangatlah asing di kuping seluruh warga desa, kecuali segelintir saja, yang sayangnya tak pernah ada waktu untuk menjelaskan maksud setiap lagu tersebut. Jadi, orang hanya akan tahu andai suatu pagi yang dingin tiba-tiba seseorang bersenandung dengan bahasa aneh, bahwa di sanalah dia berada, sang kapten tua yang nyaris tak memiliki teman dekat.     Kapten tua punya kapal yang juga tua, yang lama tidak beroperasi. Tiada yang tahu kapan terakhir kali kapal tersebut disandarkan ke dermaga, tetapi para nelayan pastilah bisa mengerti kalau kapal yang dimaksud hanya akan menjadi rumah, meski sehari-hari itu berada di antara perahu-perahu kecil yang se

Boleh Tergoda, tapi Tak Perlu Meniru

Dalam berbagai kesempatan, saat awal aku nulis tahun 2012 dulu, beberapa orang yang lebih dulu terjun di bidang ini mengajarkan trik nulis yang mudah dan praktis andai selalu kesulitan memulai karya, yakni dengan memodifikasi karya orang. Menurut penjelasan "beberapa orang" itu (yang tak perlu kusebut siapa saja, dan pula ada sebagian yang kulupa namanya), modifikasi ini bisa dilakukan dengan mengambil karya utuh orang lain (penulis terkenal atau tidak) yang sudah terbit dan disukai (biasanya cerpen atau esai) di internet, lalu diedit/ganti banyak kata oleh si modifikator; bisa kata kerja, kata keterangan waktu, nama tokoh, nama kota, dan sebagainya. Itu dilakukan terus menerus sampai karya "editan" tersebut tampak sebagai sebuah karya baru. Saat itu lumayan banyak yang berterima kasih atas trik yang kelihatannya menyenangkan itu. Tapi, buatku pribadi, cara itu justru tidak kusuka. Aku tak pernah sekalipun tertarik mencobanya. Alasanku sederhana. Dengan

Menulis Cerpen di Media, Apa Kudu Kenal "Orang Dalam"?

"Kak, cerpennya bisa sering tayang di media itu tipsnya apa saja, ya?" tanya seorang gadis yang tak kukenal di inbox. "Rajin baca dan kirim. Gabung grup "Sastra Minggu" di Facebook biar tak ketinggalan info." Jawaban singkat namun padat itu agaknya kurang memuaskannya, hingga kemudian keluarlah pertanyaan berikutnya: "Maksudku, tips selain itu, Kak? Kok bisa gitu cerpennya diterima di hampir semua media di Indonesia? Apa ada jalur khusus atau kenal orang dalam dulu biar cerpen atau puisi kita bisa sering terbit di media?" Membaca itu, aku tertawa keras tanpa sadar, sampai orang-orang di sekitarku menoleh. Kurasa kalau dapat pertanyaan begini, jawabannya pasti bakal bersambung. Benar juga. Setelah kujawab kalau aku gak punya koneksi atau "orang dalam" saat pertama menembuskan cerpenku di koran hingga kemudian nyaris tiap minggu cerpenku muncul di berbagai media, si gadis tak dikenal ini kembali bertanya dengan nada curiga, bahw

Bahagiamu adalah Bahagiamu, Belum Tentu Milik Orang Lain

Gambar dari pixabay.com     Sebagian orang lebih suka menyendiri dan menunda pernikahan. Bahkan beberapa orang merasa menikah bukan sesuatu yang perlu terjadi. Tak semua orang menganggap waktu untuk menikah adalah yang utama, tapi bukan berarti orang-orang ini sama sekali tidak butuh atau tidak tahu cinta.     Cinta itu sepotong bagian dari bangunan hidup seorang individu. Bayangkan ada manusia bernama A hidup sebagai bingkai puzzle dengan potongan cinta yang begitu kecil dengan bentuk segitiga, lalu seorang lain (sebut saja B) juga hidup sebagai bingkai puzzle yang juga mempunyai potongan cinta di dalamnya.     Apakah bentuk potongan cinta dalam bingkai B sama persis dengan milik A? Tidak. Boleh jadi bentuk cinta di bingkai B berupa lingkaran dan ukurannya cukup besar hingga menduduki nyaris separuh dari seluruh jatah tempat dalam bingkai puzzle -nya.     B boleh jadi merasa bangga dengan percintaan (atau pernikahan) yang dapat segera terjadi padanya, yang kemudian dijal

[Cerpen]: "Sebentuk Tubuh, Sebuah Mulut, Sepasang Mata dan Telinga" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Mojokerto edisi Minggu, 14 Juli 2019)      1/ Sebentuk Tubuh     Maka, saya terpotong-potong. Saya tawanan perang di dongeng masa kini. Kepala di bawah, kaki di atas, tumpang tindih, bersatu-padu bersama yang lain, dan banjir amis pekat membuat saya layu.     Di sini bau keringat sangat mahal, karena dalam hitungan jam sudah akan pergi ke tempat jauh. Hilang dan tidak kembali bau keringat itu, kata saya. Lalu saya benar-benar diam tanpa daya, diseret ke sana kemari, ditendang, dibungkus, dimasukkan ke bagasi, dilepas bebas.     Tidak sekali-kali saya pergi andai Maria melepas saya ke suatu tanah lapang. Kalau di sungai, saya bisa berkelana ke tempat-tempat yang sangat jauh. Kalau di darat, sedikit demi sedikit bagian saya luruh, minggat tanpa pamit, dan tak usah kembali sebagaimana saya. Sarang semut alangkah banyak. Tuhan menaruhnya di semua tempat.     Akan lebih baik bila saya dilepas ke sungai. Di mana-mana banyak sungai dan saya menyapa banyak tukan

[Cerpen]: "Jalur Rahasia" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Solopos edisi Minggu, 14 Juli 2019)     Sepulang bekerja, kudapati dapurku berantakan. Aku tak tinggal bersama siapa pun dan sudah dua bulan terakhir tak ada yang ganjil di rumah yang kubeli ini. Awalnya aku menduga ada maling yang membobol. Tapi, tidak lama kemudian, aku tahu tebakan itu salah.     Aku pikir tikus atau binatang lain tidak membuat kerusakan macam ini; beberapa benda seperti microwave dan kaleng cat yang baru sepertiga kupakai, yang tergeletak di lantai dapur, tidak mungkin digerakkan beberapa tikus.     Aku tidak membayangkan hal lain selain bahwa seseorang telah mempunyai kunci cadangan rumah ini. Aku membeli rumah ini dalam kondisi bagus dari seseorang yang tidak kukenal. Kabarnya, rumah ini dijual karena pemiliknya bangkrut dan rumah ini harta satu-satunya yang tersisa. Kabarnya lagi, si pemilik rumah ingin kembali ke negeri asalnya di Eropa dan bersumpah tidak akan kembali kemari.

Cerita Pendek dan Perjalanan Panjang yang Nikmat

Tumpukan edisi media cetak yang menayangkan cerpen-cerpenku. Ketika kemarin Dang Aji Sidik tiba-tiba bertanya berapa sudah cerpenku yang tayang di berbagai media, pikiranku langsung melesat ke masa beberapa tahun lalu, ke akhir tahun 2013. Itulah kali pertama aku ingin menembuskan cerpenku ke media. Karena minimnya info tentang itu, juga belum "luasnya" jaringan pertemananku di dunia maya dengan lebih banyak cerpenis, aku hanya bisa coba kirim cerpen ke dua media raksasa saja, yang alamat e-mailnya kutahu dari googling, yakni Kompas dan Jawa Pos. Tentu cerpenku jauh dari bagus saat itu, hingga kiriman-kirimanku sebanyak 2-4 cerpen dalam sebulan (kadang hanya 1 sebulan) tak pernah lolos. Tahun 2014, aku pun lebih fokus ke perlombaan skala nasional yang beberapa di antaranya berhasil kumenangi, dengan banyak gelar "juara 2" atau "10 besar", sampai seorang teman yang kini tak lagi menulis bilang, "Kamu ini spesialis runner-up ." Kami pu

[Cerpen]: "Cerita Ibu dan Hujan" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Harian Rakyat Sultra edisi Senin, 1 Juli 2019)     Ibuku mati dimakan hujan. Sebelas tahun silam kukisahkan di depan kelas bahwa ibuku mati dimakan hujan. Aku tidak tahu pasti apa beliau memang kehilangan nyawa ketika insiden itu terjadi, tetapi Ibu tidak pernah pulang. Ada tetangga yang tidak pulang selamanya, dan ketika kutanya pada semua orang, kudapat jawaban kalau tetanggaku itu sudah mati.     Mungkin, ibuku juga sudah mati dimakan hujan. Banyak yang tidak percaya cerita ini, tapi Leli percaya. Dia duduk di belakangku dan mengintip diam-diam apa saja yang kulakukan selagi jam pelajaran berlangsung. Aku menggambar dengan pensil warna atau crayon. Ada gedung di suatu kota. Ada monster makan mobil dan manusia. Lalu, jembatan roboh dan lain-lain.     Kataku pada Leli, "Kulihat itu semua di film lama."     Ibuku suka menonton film, tapi itu dulu, sebelum beliau dimakan hujan. Aku sedih melihat Ibu diseret dengan begitu ganasnya oleh ribuan tetes air y