Skip to main content

Posts

Showing posts with the label sastra

Perkenalan

( Dimuat di sutera.id, 9 Januari 2021 ) Suatu hari seorang lelaki ditemukan tewas gantung diri. Orang-orang yang ada di sekitarnya, para tetangga yang tak saling peduli satu sama lain, terlihat berdiri di luar pintu, dan terjadilah bisik-bisik. Karena mereka tidak saling mengenal, beberapa bisikan berakhir dengan ucapan-ucapan klise tentang betapa bodohnya orang yang mengakhiri hidup dengan cara itu. Kedatangan petugas kepolisian membuat beberapa orang tersebut balik ke rumah masing-masing. Sebagian tinggal di situ untuk ditanya beberapa pertanyaan oleh polisi. Proses ini berlangsung lama. Tak jauh dari situ aku mengamati apa yang orang-orang kerjakan dan iseng menghitung waktu yang dihabiskan untuk mengurus seseorang yang mati bunuh diri untuk dibawa pergi entah ke mana. Seorang bocah yang juga duduk bersamaku di salah satu anak tangga menuju lantai keempat, mengamati tingkah lakuku. Aku tidak heran meski kami tak saling bicara satu sama lain sejak kepindahanku kemari beberapa tahun l

Mati Tanpa Nama

( Dimuat di ideide.id, 5 Januari 2021 ) Ingin kuakhiri semuanya hari ini. Kota sudah terlalu busuk. Udara tak lagi nyaman kuhirup. Anjing-anjing yang menemaniku sudah kulepas ke tangan para pencinta satwa. Rumahku sudah dimiliki sejumlah gelandangan terbusuk di Kalodora. Tak ada keluarga, tak ada teman atau sahabat. Bahkan beberapa wanita yang sempat menemaniku selama belasan tahun terakhir kini entah di mana. Aku tak yakin mereka masih mengingat sosok lelaki kaya raya kesepian yang memutuskan tak pernah memiliki anak sampai mati ini. Itulah yang membuat mereka kabur satu per satu; mereka berharap menimang anak dari percintaan atau pernikahan kami, sedang aku menolak kehidupan seperti itu. Hari ini, yang tersisa dariku selain baju yang kukenakan, adalah nyawa. Mungkin satu-satunya yang kupegang, yang bukan milikku, adalah nyawa. Aku yakin Tuhan di atas sana menunggu mengambil apa yang bukan jadi milikku. Melihat situasi taman pusat Kota Kalodora yang nyaris tak pernah ramai ini, tiba-

Lelaki Mercusuar

(Dimuat di magrib.id pada Senin, 7 September 2020)   Ibu dan adikku dibawa kapal barang bertahun-tahun lalu dan aku selalu menunggu di tepi pantai hingga mereka datang. Aku duduk di sana setiap hari dari pagi sampai sore dan kadang dari pagi hingga pagi jika aku terlalu murung. Rutinitas melelahkan macam itu terjadi selama entah berapa tahun lamanya. Aku tinggalkan pekerjaan dan pacarku. Aku tinggalkan kehidupanku hingga orang kira aku mungkin sudah gila. Aku tidak yakin apakah aku sudah gila atau belum, tetapi aku tidak dapat lepas dari pikiran soal ibu dan adikku yang pergi dibawa kapal ke tempat yang entah di mana. Aku bayangkan mereka kembali suatu hari nanti dan "suatu hari" itu sering kali cuma berupa "besok". Dan tentu saja "besok" akan selalu berulang sepanjang waktu.   “Besok pasti mereka pulang,” pikirku tiap malam.  

Masa Tua Pengembara

  (Dimuat di Minggu Pagi edisi 28 Agustus 2020) Aku tidak mengenal perempuan itu, tetapi kurasa pernah melihatnya di suatu kota di masa lalu. Kunjunganku ke berbagai kota tidak bisa dibilang sebagai upaya melarikan diri. Maksudku, itu pekerjaanku. Sejak dahulu entah berapa banyak kota kudatangi, dan ketika tubuhku menua dan tak mampu mengerjakan segala kesenangan lagi, aku pensiun dan membangun rumah di kota yang juga kampung halamanku. Bertahun-tahun perjalanan tak begitu saja membuatku mengenal gadis yang dapat membuatku jatuh cinta. Akhirnya aku hidup sendiri dan tidak pernah menikah. Kukira ini takdirku; sendiri sampai tua dan mati. Saat rumah masa tua itu selesai kubangun, aku kesepian.   "Tak pernah kubayangkan hidupku bisa sesepi ini. Berkelana membuat diriku lupa pada banyak hal," kataku pada seorang rekan, yang hadir dalam acara pesta berdirinya rumah baruku. Setelah tamu-tamu pulang, rasa sepi itu semakin menggila.   Hari demi hari kulalui dengan lebih banyak menyen

Memutus Kuasa Raja Pemburu

(Dimuat di kompas.id pada Kamis, 7 Mei 2020)   Apa yang Anda pikirkan jika seekor kijang yang sedang Anda buru tiba-tiba kabur dan berbalik memburu Anda? Kijang itu mendadak lebih cepat, lebih ganas, lebih cerdik dan licik ketimbang Anda, hingga pada momen itu Anda sadar nyawa Anda mungkin bakal segera dicabut, dan hal terakhir yang dapat Anda pikirkan adalah tunangan Anda yang kini menunggu cemas nun jauh di sana. Seekor kijang tampak lemah di hadapan peluru. Dia dapat mati karena kebodohan. Teknologi mampu menyingkirkan seekor kijang hanya dalam waktu beberapa detik saja. Bukan itu yang saat ini terjadi. Andalah yang terancam. Seekor kijang yang Anda buru berbalik mengejar. Tak ada jalan selain menuju utara, yang secara pasti mengantar Anda ke sebuah jurang.   Apa dongeng seperti ini bisa terjadi?   Lihat Ali Mudakir dan pasukannya. Tidak ada yang tersisa seorang pun. Semua mati dikepung ribuan semut keji dari hutan terangker di muka bumi. Anda tahu tidak ada yang lebih he

Bidadari Pemberontak

(Dimuat di Te-Plok pada Sabtu, 9 Mei 2020)   Bersama Mariana, aku melewati banyak cobaan, yang satu di antaranya nyaris saja menghabisi nyawaku. Tapi, aku tidak kenal kapok. Aku tetap berada di sisi gadis itu dan meladeni kegilaannya dengan aksi-aksi yang dapat membuat ibuku jantungan. Ibu tidak tahu aku ke luar kota demi Mariana. Ibu hanya tahu aku dapat panggilan kerja, dan demikianlah aku pergi. Kubawa koper serta tas berisi baju dan barangku, lalu menjalani hidupku yang bebas bersama Mariana.   Aku mengenal Mariana tidak sengaja saat berada di antrean bioskop. Saat itu dia sendirian dan aku juga. Kami mengobrol karena sama-sama mengira tak ada yang dapat kami lakukan, sedang duduk diam itu membosankan.   Aku tidak tahu apa yang membawaku ke pertemuan itu, lalu tiba-tiba begitu ringan saja mengajak bicara perempuan asing yang tadinya tidak pernah sama sekali kutahu. Ia pun juga demikian. Dalam suatu obrolan, Mariana pernah mengakui, ia tidak mengerti bagaimana bisa menang

Para Pendaki

(Dimuat di Suara Merdeka, Minggu, 3 Mei 2020)   Pendakian ini mungkin tidak akan tercatat di buku atau ingatan siapa pun. Aku tahu pasti itu setelah menghirup aroma wangi yang aneh begitu Mudakir menembak seekor macan kumbang hingga tewas. Padahal tidak seharusnya kami membunuh atau mencuri apa pun.   Tentu saja Mudakir bisa beralasan: “Kalau tidak kutembak mati, kita sendiri yang akan mati.”   Aku tak benar-benar mendengar ucapannya, tapi jika saja dia masih berada di sini saat ini, dalam situasi yang benar-benar normal, aku yakin itulah yang berulang kali ia katakan. Mudakir mati tak lama setelah binatang itu terkapar. Itulah yang kami yakini; ia mati, meski tak ada jasadnya. Mungkin tiga menit setelah penembakan dan tepat saat aroma wangi yang kumaksud muncul. Lalu kami terjebak hujan angin selama kurang lebih dua jam.   Hujan angin yang tak biasa. Hujan angin di musim yang tak seharusnya. Sungguh melengkapi firasatku sebelumnya, betapa kami tak mungkin bisa meneruskan pe

Pengakuan

(Dimuat di Bacapetra.co pada 17 April 2020)   Terakhir kulihat senyum perempuan itu bukan saat kami baru saja melepas rindu di atas kasur semalam sebelumnya. Bukan ketika aku meninggalkannya duduk di bangku depan mobil. Senyum terakhir itu, yang kutangkap setelah tahu seseorang rela menjadi malaikat maut bagiku, akan mengendap di kepalaku sampai beratus atau bahkan beribu tahun lamanya, andai aku diberi jatah hidup sebanyak itu.   “Tuhan tidak memberi bajingan sepertimu keistimewaan!”   Ya, memang.   Bukankah terlalu banyak jiwa yang kulempar ke jurang pekat, yang tak terjamah, tak terendus bahkan oleh anjing pelacak paling jenius sekalipun? Tak ada satu hal pun yang kubanggakan untuk itu, sebab tindakan itu hanya “perlu” untuk diadakan, dan aku bukan sedang mengejar prestasi. “Coba kau ingat-ingat ada berapa nyawa yang sudah kau habisi?”   Sejujurnya, aku tak ingat. Tetapi, andai seseorang ingin membangun sebuah rumah dengan bahan-bahan dan desain unik, tubuh para kor

Setelah Kematian Menyakitkan

(Dimuat di basabasi.co pada Jumat, 27 Maret 2020)   Mati sebagai seonggok mayat tanpa identitas masih lebih baik ketimbang mati dan tubuhmu hilang dalam tubuh orang lain. Setidaknya itulah yang Ali Sumarno yakini. Ia tidak mungkin pulang begitu saja dan mengetuk pintu hanya untuk membuat kaget istri dan anak-anaknya dengan menampakkan diri dalam wujud hantu. Lagi pula tidak tahu apakah mereka bakal mendengarnya? Orang-orang itu mungkin pingsan atau bakal lari begitu melihat wujudnya yang mengerikan atau malah ia sama sekali tak terlihat di mata mereka? Bahkan, lelaki itu sendiri tidak yakin bisa pulang tanpa tersesat dengan hanya mengandalkan sosoknya sebagai hantu. Apa ia bisa terbang? Apa hantu bisa lari secepat angin dan menembus tembok, gedung-gedung, kereta api, bahkan pesawat terbang?   Ali Sumarno memikirkan cara bagaimana supaya seseorang tahu ia belum lama ini mati dibunuh rekannya sendiri, lalu jasadnya dihilangkan dengan sesadis-sadis cara. Ia merasa cukup sudah kalah

Mengobati Masa Lalu

(Dimuat di Radar Bromo, edisi Minggu, 22 Maret 2020)   Ibu pergi sejak lama. Terakhir aku melihatnya ketika dia bertengkar dengan ayahku di dapur. Aku baru enam tahun saat itu. Terlalu sering mereka adu mulut, tapi malam itu ibuku berbisik pada Ayah saat bertengkar. Sebuah cara bertengkar yang aneh. Butuh bertahun-tahun sampai aku paham makna pertengkaran berbisik itu. Orang-orang di sekitar kami tidak suka pada Ayah, yang hobi mabuk dan tak punya pekerjaan. Mereka juga tidak senang pada Ibu yang bekerja. Namun pekerjaan Ibu cuma bisa dilakukan di pinggiran kota ketika malam hari dan dia harus pulang setelah subuh. Ibu seperti bukan Ibu atau mirip orang kerasukan setan andai aku melihatnya pulang. Jika dulu Ibu bertengkar dengan suara keras, para tetangga gembira melihat kami.   Aku tahu kebencian tersebut dari pamanku. Paman memberitahuku bagaimana para tetangga bahagia begitu saja oleh pertengkaran ayah ibuku. Pamanku orang yang baik. Kalau tidak ada dia, aku tidak bisa hidu

Kota Serigala

(Dimuat di Minggu Pagi, edisi Jumat, 13 Maret 2020)   Manusia-manusia serigala berkumpul di pusat kota hari itu. Mangsa terakhir sudah ditumbangkan. Darah membanjir di sudut-sudut gelap yang biasanya selalu penuh oleh tumpukan sampah dan air selokan. Bau amis merajai untuk beberapa jam, tapi tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Angin akan menghalau bau itu, dan lagi pula setiap penghuni kota tak lagi risau oleh bau darah dan mayat. Mereka terbiasa sejak bertahun-tahun lalu. Kini, kota dikuasai orang-orang bertaring yang menjelma serigala, bukan hanya ketika bulan purnama.   Pemerintahan kota kembali diatur usai matahari bersinar terik esoknya. Di gedung dewan, beberapa manusia serigala berpengaruh, yang terkuat dan tercerdas, mengambil keputusan-keputusan tentang siapa saja yang akan memerintah kota, juga apa saja yang mereka lakukan untuk menjaga agar pembantaian malam itu tak terdengar pihak luar.   Ketika malam berdarah itu berlangsung, seluruh akses menuju kota dibuntu. Par

Sang Peracik

(Dimuat di Padang Ekspres pada Minggu, 2 Februari 2020)   Bertahun-tahun setelah kepergian Ali Mugeni, desa itu tidak lagi heboh oleh berita- berita hilangnya para gadis. Dahulu gadis-gadis kerap hilang secara misterius tanpa ada yang tahu sebabnya. Orang-orang menuduh Ali Mugeni, pendatang yang membuka toko obat kulit di pertigaan, sebagai pelaku. Tuduhan ini dianggap mempunyai dasar. Mereka mengaitkannya dengan jarangnya Ali Mugeni berinteraksi dengan warga. Pada awalnya mereka hanya menganggap penjual obat itu orang kaya yang tidak bisa bergaul, namun rumah mewahnya yang kerap tertutup membuat beberapa orang mulai berpikiran buruk, apalagi setelah satu per satu gadis perawan mendadak hilang.   Adalah Mudakir, lelaki paling vokal di desa tersebut, yang biasa unjuk suara dalam tiap peristiwa penting atau sepele di desa, sehingga jika saja suatu hari nanti seseorang menulis buku sejarah khusus desa itu, namanya bakal tercetak lebih sering dari semua tokoh yang jauh lebih penting

Binatang di Kepala Kami

(Dimuat di ideide.id pada 29 Januari 2020)   Kelaparan membuatnya berkelakuan seperti binatang. Ia tidak malu mencari makan di selokan. Saya kasihan dan saya bawa pulang dia. Saya mandikan dan saya beri baju. Dia diam seribu bahasa saat ditanya soal nama. Saya panggil saja Kinanti.   Kinanti menemani malam-malam yang sepi. Bersama Kinanti, saya kembali paham apa kehangatan. Bersama Kinanti, saya merasa surga ada sejengkal di depan. Dia tidak tahu cara menyembah Tuhan, tetapi tidak bisa diajari mengenal-Nya. Jadi, saya ajari dia tentang surga. Dia suka dengan apa yang saya sebut surga, karena surga di rumah saya ada setiap malam.   Surga saya bukan surga Tuhan. Kinanti tidak paham, tapi tidak ada yang dia dapat pahami lebih dari segala yang fisiknya butuhkan sebagai makhluk hidup. Di sini dia bisa makan apa pun dan tidak perlu bayar atau kerja. Dia cukup ada saja di dekat saya setiap malam.   Teman-teman mencela apa yang saya kerjakan. Masa bodoh. Kinanti toh rela. Dia baha

Hans Jon Andersen Memakan Buku-Buku Tua

(Dimuat di detik.com pada 26 Januari 2020) Pengarang frustrasi, sebut saja Jon (bukan nama yang sebenarnya), berbaring malas di kamar kost. Perutnya kembung karena memakan habis enam buah buku tua karangan penulis kenamaan yang tidak bisa disebutkan di sini. "Buku siapa yang kau lahap?" tanya temannya, yang bukan pegiat literasi, sebab di lingkungan tersebut hanya Jon yang mendeklarasikan diri sebagai pengarang. Pengarang gagal atau pengarang tidak gagal, masih buram. Tidak penting dibahas apakah ia gagal atau tidak. Apa pun itu, Jon yang mengaku pengarang merasa lebih baik ketimbang siapa pun di sini. Dengan enteng ia menjawab, "Rahasia! Kalau kusebut dan ada orang yang dengar, lalu dikabarkan ke semua orang, bisa celaka aku." "Oh?" "Kau terima junjunganmu kutelan?!" Jon tidak ingin diganggu, jadi ia usir temannya, setelah mengucap seribu kata maaf. Bukan seribu. Anda percaya seseorang mengucap seribu kata maaf di

Janji Temu Tino

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 6-12 Januari 2020 (No. 1663/XXXII))   Banyak yang Maria persiapkan untuk menghadapi pertemuan dengan mantan pacar di masa lalunya. Dia benar-benar harus tampil sempurna. Dengan sengaja dia ke suatu butik dan memesan busana. Dia juga pergi ke salon, sebuah tempat yang entah berapa lama tidak ia sambangi. Seluruh persiapan ini terasa mentah saat Maria sekali lagi menatap cermin dan. Dia yang sekarang tidak sama dengan dirinya yang dulu. Untuk apa Tino secara tiba-tiba meneleponnya dan meminta bertemu?   Maria tidak tahu itu. Dia bahkan tidak mendengar kabar Tino selama sepuluh tahun terakhir ini. Dia tidak lagi ingin melihatnya saat mendapati lelaki itu selingkuh dengan sahabat dekatnya sendiri. Dulu mereka terlalu muda. Barangkali Tino kini sadar tidak ada perempuan lain yang ditakdirkan untuknya selain Maria.   Benarkah demikian?  

Sepeninggal Penulis Cerita yang Menjadi Gila

(Dimuat di kompas.id pada 2 Januari 2020)   Barang-barang bekas di gudang yang pernah ditiduri Sapono sudah aku singkirkan. Aroma gudang ini sungguh terasa menyesakkan, bukan hanya karena seseorang pernah tinggal di sini dengan segala kekhasannya, tapi juga peristiwa hadirnya sosok itu. Kini, tak ada lagi jejak lelaki sinting itu di sini. Sebenarnya dia tak pernah membuat masalah dengan atau tanpa keberadaanku di sini. Sapono selalu menyenangkan bagi anak-anak dan tentu bagi istriku, yang tak lain kakak kandungnya.   Istriku tidak tega membiarkan Sapono hidup sendiri sejak orang tua mereka tiada. Setelah proses pemakaman orang tuanya, ia mengajakku bicara di kamar.   "Sapono harus di sini, karena kalau dia hidup sendirian, bisa-bisa dia buat masalah besar," kata istriku dengan hati-hati.   Mulanya aku tidak setuju. Ada seorang lelaki bujang, umur tiga puluhan, tak terlalu waras, tiba-tiba ditampung di rumah kami, yang dihuni dua anak kami. Bagiku, merawat dan men

Berburu Obat Kematian

(Dimuat di Pojok PIM pada 28 Desember 2019)   Padang ilalang menyeretku ke malam yang dingin. Aku hanya bisa menemukan air hangat dalam termos. Tak ada apa-apa lagi dalam ransel yang entah milik siapa itu, yang tergeletak di dekat tempatku berbaring. Bahkan selimut pun tak kutemukan. Bagaimana aku bertahan dalam udara dingin? Aku bukan orang yang berpengalaman melawan alam. Bakatku hanya bersemayam di sini, di relung-relung tersembunyi dalam tempurung kepalaku. Maka, aku berharap menjumpai sesuatu yang ajaib untuk menolongku, meski seumur-umur aku tak percaya kisah-kisah yang tertuturkan di kitab agama yang dilekatkan padaku saat dilahirkan.   Aku memang tak pernah benar-benar serius dalam menjalani agama itu. Aku tidak percaya segala sesuatu terjadi oleh kekuatan tak terlihat di luar sana; aku hanya percaya segala sesuatu terwujud atas usaha manusia sendiri. Kini, aku telah berusaha. Aku pergi ke tempat yang jauh, mengejar rahasia tergelap tentang pengobatan yang belum pernah

Benih Setan

(Dimuat di nyimpang.com pada 21 Desember 2019)   Hari-hariku mungkin akan terus berjalan dengan cara membosankan: bangun tidur, pergi bekerja, bergelut dengan tabel dan data-data, lalu pulang dengan tubuh lelah dan tanpa hasrat berbuat apa-apa selain duduk di depan televisi hingga tertidur.   Aku tidak memimpikan hidupku bakal begini. Tidak ada impian jenis ini di kepala anak mana pun. Aku berani bertaruh, kecuali mungkin bagi Jun, anakku satu-satunya, yang kini mendekam di penjara setelah membunuh teman-teman sekolahnya.   Aku tidak paham isi kepala Jun. Seandainya saja bisa, mungkin sudah dari dahulu kubelah kepalanya untuk dapat meneliti apa saja yang ada di dalamnya. Tentu saja aku membayangkan tindakan ini tak membunuh Jun. Tetapi, karena membelah kepala orang kemungkinan membuatnya mati terbunuh, itu tidak akan kulakukan.  

Detik-detik Keberuntungan

(Dimuat di Kurung Buka pada 15 Desember 2019)   Sepulang kerja aku melihat kejadian itu: sepasang kekasih melompat dari puncak gedung 15 lantai. Keduanya mati seketika dan terjadi tepat di depanku. Jarakku dengan trotoar di mana kepala sang pria terbentur hanya lima atau enam meter. Akibatnya darah menciprati pakaianku. Aku memang tidak sampai ketakutan setengah mati dan lari ke apartemenku, lantas mengunci diri. Aku shock dan kehilangan kesadaran selama sepersekian detik, dengan mengira yang kulihat hanya imajinasi. Aku tetap berdiri dan memperhatikan darah segar melebar dan membentuk genangan di sekitar dua tubuh yang tak lagi utuh. Di sekitarku, orang-orang datang membawa kamera. Di kanan-kiri, depan-belakangku, nyala blitz liar tak terkendali. Aku seakan salah satu bagian penting dari peristiwa yang tak kutahu latar belakangnya ini; tiap orang mengambil gambarku tanpa izin bersama kedua jasad yang tergeletak tak jauh dariku.  

Mencari Lusi

(Dimuat di Radar Mojokerto edisi Minggu, 15 Desember 2019)   Malam itu aku berkeliling ke setiap sudut kota demi mencari Lusi. Perempuan itu mendadak hilang tanpa petunjuk, kecuali adanya pengakuan dia mulai bosan kepadaku. Aku tidak tahu di mana letak kesalahan hubungan kami, karena sejauh yang kutahu, dia tidak pernah protes. Dalam pernikahan yang kami jalani selama empat tahun ini, tidak pernah kudengar keluhan, karena aku selalu menuruti apa yang Lusi inginkan. Aku yang menginginkan kehadiran anak sejak awal, dengan senang hati menerima keinginannya untuk menunda itu, dan itu kulakukan demi Lusi.   Aku tidak pernah mencintai wanita sedalam ketika mencintai Lusi. Bertahun-tahun aku tidak bertemu wanita seajaib dia, yang datang dan berbicara kepadaku dengan cara yang simpel dan menawan.   Lusi tidak tertarik pada harta warisanku, dan itu semakin terbukti dengan keinginan yang hanya berupa penundaan kelahiran anak pertama kami, serta permintaan yang jauh dari kesan mate