Skip to main content

Mengobati Masa Lalu

(Dimuat di Radar Bromo, edisi Minggu, 22 Maret 2020)
 
Ibu pergi sejak lama. Terakhir aku melihatnya ketika dia bertengkar dengan ayahku di dapur. Aku baru enam tahun saat itu. Terlalu sering mereka adu mulut, tapi malam itu ibuku berbisik pada Ayah saat bertengkar. Sebuah cara bertengkar yang aneh. Butuh bertahun-tahun sampai aku paham makna pertengkaran berbisik itu.

Orang-orang di sekitar kami tidak suka pada Ayah, yang hobi mabuk dan tak punya pekerjaan. Mereka juga tidak senang pada Ibu yang bekerja. Namun pekerjaan Ibu cuma bisa dilakukan di pinggiran kota ketika malam hari dan dia harus pulang setelah subuh. Ibu seperti bukan Ibu atau mirip orang kerasukan setan andai aku melihatnya pulang. Jika dulu Ibu bertengkar dengan suara keras, para tetangga gembira melihat kami.
 
Aku tahu kebencian tersebut dari pamanku. Paman memberitahuku bagaimana para tetangga bahagia begitu saja oleh pertengkaran ayah ibuku. Pamanku orang yang baik. Kalau tidak ada dia, aku tidak bisa hidup lebih lama. Ayah bukan jenis ayah yang ada di buku cerita anak-anak.
 
Paman bilang, "Para tetangga tidak tahu harus apa. Membenci ibu dan ayahmu saja yang bisa mereka lakukan. Karena aku, kamu tidak ikut jadi sasaran kebencian."
 
"Maksudnya?"
 

"Tidak ada yang serius membencimu. Orang tahu aku tidak seperti ayahmu," jelas Paman.
 
Ayah senang pergi membawa-bawa senjata. Meski cuma beli rokok ke gang depan, Ayah selalu membawa senjata dan tingkahnya membuat orang takut. Aku tak tahu masa muda Ayah. Kata Paman, dia sering terlibat masalah. Banyak duel yang dimenangkan. Beberapa kali Ayah kalah, tapi karena dikeroyok. Dulu dia terkenal hebat.
 
Ayah bertemu Ibu di panggung dangdut dan itu terjadi bukan tanpa alasan. Ayah mencari penyanyi yang pernah ia lihat, lalu terjadilah percintaan itu. Mereka menikah setelah beberapa lama pacaran, tetapi sejak hari-hari pertama, mereka kerap bertengkar. Aku dengar ini nyaris tanpa sedih, meski saat ini benar-benar yakin ibuku meninggal di luar sana tanpa tahu kabarnya.
 
Aku tidak merasa ayah dan ibuku adalah sosok tercintaku. Aku bahkan tidak ingat ada keyakinan dua sosok ini kelak jadi bagian terbesar dari hidupku. Itu bukan karena pengaruh cerita-cerita Paman. Ayah tinggal denganku bertahun-tahun setelah Ibu pergi dan karena itulah aku mengerti cerita yang kudengar bukan dusta.
 
Ayah dan Ibu bukan orang baik-baik. Para tetangga membenci mereka, dan tertawa andai musibah menimpa keduanya. Di dadaku ada sakit saat tahu kenyataan ini, tetapi bukan karena peduli ayah dan ibuku yang juga manusia biasa, melainkan karena aku masih kecil saat itu.
 
Syukurlah mereka tidak benar-benar membenciku. Setelah Ibu pergi, empat atau lima tetangga datang padaku. Waktu itu Ayah benar-benar tak peduli padaku dan hanya mengurus diri sendiri. Ayah tak peduli anaknya butuh makan. Sesekali memberiku uang yang tidak terlalu berarti. Paman-lah yang benar-benar membesarkanku. Paman kerja dan mengurus warung untuk menghidupiku. Yang bertugas menjagaku para tetanggaku, meski tentu mereka tak bisa sepenuhnya mengawasiku.
 
Setelah aku SMA, tabiat Ayah makin memuakkan. Aku tidak tahan dan pindah ke rumah Paman dan membantu mengurus warung miliknya. Paman tidak menikah entah karena apa. Takdir menggiringku ke posisi demikian: aku menganggap pamanku seperti ayahku sendiri.
 
Saat ini kesadaranku tentang Ayah dan Ibu tergenapi. Paman sudah menceritakan semua. Yang tersisa: sikap yang aku ambil untuk membalas arti keberadaanku di dunia ini. Suatu sore Paman bertutur, "Seburuk apa pun mereka, mereka tetaplah perantara keberadaanmu di sini."
 
Hari-hari itu sering kuhabiskan di sekolah dan perpustakaan, dan sisanya duduk di warung bebek Paman tanpa melakukan apa-apa. Paman sering memberiku nasihat sejak Ayah sakit beberapa bulan lalu dan inilah yang membuat rasa sakit itu muncul. Dahulu Ayah tidak peduli pada darah dagingnya sendiri, dan kini aku terjebak ke fase kesakitan yang harus dia alami.
 
"Mungkin Ibumu sudah meninggal," kata Paman, demi merespons apa yang sejak lama kuyakini dan berulang kali kukatakan.
 
Bukankah dia, ibuku yang cantik dan pernah bertengkar sambil berbisik itu, tidak mengirimkan kabar? Menganggapnya tiada adalah cara yang tepat agar aku tidak terlalu lama sakit.
 
"Anggap saja begitu."
 
"Tapi, ayahmu ada. Orang-orang membencinya dan kamu tahu itu."
 
"Bahwa tidak ada seorang pun yang punya alasan untuk tidak membencinya, selain saya? Itu yang Paman maksud?"
 
Orang-orang tahu kondisi Ayah saat ini jauh dari masa-masa jayanya. Ayah sakit setelah suatu malam pulang dengan membawa botol minuman dan pingsan di depan rumah. Aku tinggal secara permanen di rumah Paman. Tak tahu orang membiarkannya tidur di luar rumah semalaman. Saat datang ke sana esoknya untuk mengantar makanan titipan Paman, Ayah tidak lagi bisa bicara.
 
Kami tidak punya cukup uang untuk memberinya perawatan terbaik, sehingga dia hanya dirawat di kamarnya dengan bantuan salah satu tetangga untuk mengurus segala keperluan. Paman yang membayar tetangga itu. Si tetangga tidak sepenuhnya mengatasi semua hal, dan karena itu Paman memintaku melupakan keburukan Ayah di masa lalu.
 
"Dia membutuhkanmu."
 
Berkat kegigihan Paman membujuk, kisah masa lalu tentang Ayah dan Ibu yang buruk di mata semua warga, mendadak kubuang dari lubuk terjauh hatiku.
 
Aku tidak lagi melihat sesosok jagoan pada wajah kurus dan tidak berdaya yang terbaring di tempat tidur saat ini. Aku tidak lagi mengamati sosok yang mengabaikanku, padahal aku darah dagingnya. Sosok yang hanya memberiku sedikit uang sebulan sekali. Aku cuma melihat manusia tidak berdaya. 

Demikianlah. Kurawat Ayah dan pelan-pelan kuobati sakit hatiku.
 
Andai perjalanan kami terjadi dengan cinta, semua akan lain. Aku tak tumbuh jadi pendiam yang tak percaya pada cinta jenis apa pun. Aku juga tak akan jadi sosok aneh yang sulit menjalin hubungan pertemanan. Kusingkirkan semua itu. Kurawat dia sebaik mungkin, lalu mengenang Ibu yang pergi di malam pertengkaran itu.
 
"Apa Ibu benar-benar sudah tiada?"
 
Kini aku merasa bersalah, karena membenci dua sosok yang menjadikanku ada di dunia ini.  Mestinya, aku tidak perlu membenci siapa pun. Aku tidak perlu membenci Ayah dan Ibu, sebab ucapan Paman amat tepat: aku tak mungkin ada di dunia ini tanpa mereka. Bagaimanapun, keduanya berhak mendapat baktiku sebagai anak. Tidak peduli seperti apa dulu mereka memperlakukanku. [ ]

Gempol, 2018-2020

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Bukunya Museum Anomali (2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (2017), Negeri yang Dilanda Huru-Hara (2018), dan Dosa di Hutan Terlarang (2018).

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri