Skip to main content

Posts

Showing posts from February, 2020

Sang Peracik

(Dimuat di Padang Ekspres pada Minggu, 2 Februari 2020)   Bertahun-tahun setelah kepergian Ali Mugeni, desa itu tidak lagi heboh oleh berita- berita hilangnya para gadis. Dahulu gadis-gadis kerap hilang secara misterius tanpa ada yang tahu sebabnya. Orang-orang menuduh Ali Mugeni, pendatang yang membuka toko obat kulit di pertigaan, sebagai pelaku. Tuduhan ini dianggap mempunyai dasar. Mereka mengaitkannya dengan jarangnya Ali Mugeni berinteraksi dengan warga. Pada awalnya mereka hanya menganggap penjual obat itu orang kaya yang tidak bisa bergaul, namun rumah mewahnya yang kerap tertutup membuat beberapa orang mulai berpikiran buruk, apalagi setelah satu per satu gadis perawan mendadak hilang.   Adalah Mudakir, lelaki paling vokal di desa tersebut, yang biasa unjuk suara dalam tiap peristiwa penting atau sepele di desa, sehingga jika saja suatu hari nanti seseorang menulis buku sejarah khusus desa itu, namanya bakal tercetak lebih sering dari semua tokoh yang jauh lebih penting

Binatang di Kepala Kami

(Dimuat di ideide.id pada 29 Januari 2020)   Kelaparan membuatnya berkelakuan seperti binatang. Ia tidak malu mencari makan di selokan. Saya kasihan dan saya bawa pulang dia. Saya mandikan dan saya beri baju. Dia diam seribu bahasa saat ditanya soal nama. Saya panggil saja Kinanti.   Kinanti menemani malam-malam yang sepi. Bersama Kinanti, saya kembali paham apa kehangatan. Bersama Kinanti, saya merasa surga ada sejengkal di depan. Dia tidak tahu cara menyembah Tuhan, tetapi tidak bisa diajari mengenal-Nya. Jadi, saya ajari dia tentang surga. Dia suka dengan apa yang saya sebut surga, karena surga di rumah saya ada setiap malam.   Surga saya bukan surga Tuhan. Kinanti tidak paham, tapi tidak ada yang dia dapat pahami lebih dari segala yang fisiknya butuhkan sebagai makhluk hidup. Di sini dia bisa makan apa pun dan tidak perlu bayar atau kerja. Dia cukup ada saja di dekat saya setiap malam.   Teman-teman mencela apa yang saya kerjakan. Masa bodoh. Kinanti toh rela. Dia baha

Hans Jon Andersen Memakan Buku-Buku Tua

(Dimuat di detik.com pada 26 Januari 2020) Pengarang frustrasi, sebut saja Jon (bukan nama yang sebenarnya), berbaring malas di kamar kost. Perutnya kembung karena memakan habis enam buah buku tua karangan penulis kenamaan yang tidak bisa disebutkan di sini. "Buku siapa yang kau lahap?" tanya temannya, yang bukan pegiat literasi, sebab di lingkungan tersebut hanya Jon yang mendeklarasikan diri sebagai pengarang. Pengarang gagal atau pengarang tidak gagal, masih buram. Tidak penting dibahas apakah ia gagal atau tidak. Apa pun itu, Jon yang mengaku pengarang merasa lebih baik ketimbang siapa pun di sini. Dengan enteng ia menjawab, "Rahasia! Kalau kusebut dan ada orang yang dengar, lalu dikabarkan ke semua orang, bisa celaka aku." "Oh?" "Kau terima junjunganmu kutelan?!" Jon tidak ingin diganggu, jadi ia usir temannya, setelah mengucap seribu kata maaf. Bukan seribu. Anda percaya seseorang mengucap seribu kata maaf di