Skip to main content

Posts

Showing posts from January, 2017

[Cerpen]: "Cara Romantis Mengenang Ajal Seorang Kekasih" karya Ken Hanggara

Ilustrasi cerpen Cara Romantis Mengenang Ajal Seorang Kekasih (Dimuat di Haluan edisi Minggu, 22 Januari 2017)    Belum sampai tikungan, lelaki tua itu berhenti. Saya tidak pernah melihatnya, tapi motor bututnya menerbangkan saya ke ingatan belasan tahun silam soal Bapak. Di sini, di tikungan ini, dahulu Bapak juga sering berhenti dan menyetandarkan motornya di sisi jembatan. Tanpa menoleh kanan-kiri, ia melongok bawah dan berteriak, "Maria, Maria."     Saya kira, mungkin lelaki tua itu Bapak saya. Apa mungkin seseorang yang sudah meninggal tahu-tahu menyambangi kita? Di dunia ini, hal paling konyol saja bisa terjadi, apalagi hantu. Hantu bukan hal konyol, walau saya berharap bapak saya tidak menjadi hantu.     Saya menyeberang dan meninggalkan Leli, pacar saya, di butik sehingga ia protes. Saya ke sana dulu, begitu kata saya. Tak tahu apa yang Leli omelkan. Saya sampai di jembatan, menjelang tiang lampu tempat motor butut itu disandarkan.     "Sore, Pak!

Resolusi 2016 Tercapai dan Kini Saatnya 2017

Tahun 2016 yang saya lalui penuh dengan cerita pendek. Seakan-akan saya hidup dikelilingi makhluk aneh bernama cerita pendek, dengan wajah yang dapat berubah-ubah sesuai kebutuhan, dan dengan watak yang kadang menyerupai orang-orang yang pernah saya kenal atau ingin saya jumpai atau bahkan saya ingin musnahkan. Dan saya merasa tidak mungkin lepas dari jeratan makhluk aneh ini. Sebagaimana tekad saya di awal 2016, yakni membuat hitungan iseng tentang jumlah cerpen yang saya buat per bulan, juga berapa banyak buku yang saya baca, dan mendata seluruh karya yang terbit di media, maka beginilah hasil akhirnya. Slogan "sehari minimal satu cerpen" memang tak selalu dapat terpenuhi, tapi melihat hasil selama 12 bulan, dapat dibilang resolusi yang saya tulis di akhir tahun 2015 lalu terpenuhi. Tentu saja ini tidak mudah. Melihat jumlah tiap bulan yang bervariasi, sudah dapat ditebak bagaimana saya yang telanjur cinta menulis juga punya masalah-masalah. Sekali waktu masalah hidup

[Cerpen]: "Doa yang Mengerikan" karya Ken Hanggara

  (Dimuat di Sumut Pos edisi Minggu, 8 Januari 2017)     Aku belum tidur dan perutku sangat lapar. Malam itu aku berdoa agar Ayah tidur selamanya. Jika Ayah tidur dan tidak pernah bangun, aku bisa makan es krim sepuasnya di kulkas. Aku juga bisa mengambil uang di dompetnya dan pergi ke mini market depan untuk membeli beberapa bungkus roti.     Kalau Ayah terbangun, mungkin aku dipukuli karena telah mengambil uang tanpa izin. Tetapi karena dia mati selamanya, aku dengan santai meninggalkan rumah tanpa takut ada yang mengejar dan menghantamku dari belakang seperti biasa. Begitu sampai di mini market, aku percaya bahwa Tuhan ada lagi.     Dulu, Tuhan ketiduran di awan, sehingga tidak bisa melihatku yang disiksa Ayah. Atau, jangan-jangan Tuhan melayani anak-anak lain yang rumahnya jauh dari rumahku? Aku tidak mampu membuktikan keberadaaan Tuhan, sehingga suatu ketika kuputuskan: Tuhan mungkin tidak ada. Aku lalu berhenti berdoa. Tetapi aku tahu hanya doalah yang bisa membuatku lu

[Cerpen]: "Cara Buruk Menulis Kisah Cinta" karya Ken Hanggara

  (Dimuat di Harian Analisa edisi 8 Januari 2017)     Tidak ada alasan yang lebih baik selain aku sudah bosan. Kukatakan itu berulang- ulang kepada Nancy, sehingga ia pun muak dan memintaku pergi secepat yang aku bisa. Maka, aku pergi.     Di sini garis pantai dituangi ramuan cinta. Ketika engkau berada di dekatnya, ada warna merah muda melayang-layang di sekitarmu. Ketika aku akan pergi menjauh dari kekasihku Nancy, warna itu tidak berubah dan tetap mengitari udara dan segala macam benda yang ada di sekeliling. Tetapi barangkali, di suatu hari yang beda, Tuhan pernah mengganti warna darah.     Aku tidak pernah betul-betul mencintai Nancy seperti yang orang lain pikirkan. Di bagian terdalam hatiku, yang hanya aku dan Tuhan saja yang tahu, bahkan Nancy tidak pernah ada. Dia hanya ada dalam aroma parfum dan persetubuhan yang terjadi selama beberapa tahun terakhir. Dia hanya ada dalam foto-foto yang kusimpan dalam dompet hanya agar orangtuaku berpikir, "Kamu bukan lelaki ti

[Cerpen]: "Sebungkus Cokelat dan Kisah-Kisah di Baliknya" karya Ken Hanggara

  (Dimuat di Flores Sastra edisi 8 Januari 2017)     Kim memberiku sebungkus cokelat untuk menghabiskan malam terakhir tahun ini. Ia tidak bicara apa-apa selain membahas cokelat itu, tetapi aku tidak sesemangat dulu dalam menghadapi cokelat dan aku tidak akan memakan cokelat ini. Aku hanya terus mendengarkannya dengan riang berkisah soal cokelat-cokelat yang membuatnya hidup. Dulu dia hidup dari cokelat; orangtuanya mati ditembak orang, dan Kim bertahan hidup dengan berjualan cokelat dari satu stasiun ke stasiun lainnya.     "Sampai sekarang aku tidak mungkin melupakan jasa cokelat. Tidak ada cokelat di dunia, sama dengan tidak ada diriku. Barangkali waktu itu aku sudah mati atau dijual ke rumah bordil kalau tidak pergi sejauh mungkin dengan berjualan cokelat," kenang Kim penuh semangat.

[Cerpen]: "Tata Cara Menghadiri Pernikahan Mantan Pacar" karya Ken Hanggara

  (Dimuat di Nusantaranews edisi 8  Januari 2017)     Sesungguhnya Jim boleh makan apa pun di pesta pernikahan Maria, mantan pacar yang meninggalkannya sepihak, tetapi kejadian dua hari silam seakan awal dari lahirnya suatu wabah berbahaya bagi keselamatan bayi-bayi.     Cerita ini barangkali sulit dipercaya, tapi aku mendengarnya langsung dari Jim. Ia betul-betul pergi ke pesta itu dengan mengenakan tuxedo terbaik dan menyiapkan mobil sport terbagus yang ia miliki, yang bahkan jarang diturunkan ke jalan kalau bukan demi urusan penting.     "Hari pernikahan Maria selalu penting," jelasnya padaku.     Aku tak banyak merespons kata-katanya ketika Jim bercerita panjang lebar tentang malam itu; ketika ia mulai merasakan adanya debaran ganjil di perutnya. Debaran aneh ini menyebar seiring waktu ke sekujur tubuh sehingga lima menit setelah mobil sport tadi meninggalkan garasi, Jim merasa hidupnya bakal berakhir.

[Cerpen]: "Undangan bagi Para Semut" karya Ken Hanggara

  (Dimuat di Radar Bromo edisi Minggu, 8 Januari 2017)     Begitu banyak semut menyerbu tempat tidurku. Kukira aku sedang bermimpi. Jika tidak bermimpi, barangkali semut-semut itu sebatas khayalan, tetapi rasa sakit setelah dua semut menggigit tengkuk dan ketiak, membuatku tahu ini bukan mimpi.     Aku bangkit dan memeriksa barisan semut tampak menghitam di tepi tempat tidur. Dengan kesal, kugencet barisan tersebut dari ujung hingga ujung. Beberapa semut kabur dari kelompoknya, sehingga dengan amat terpaksa, aku harus benar-benar bangun dan percaya bahwa berhenti tidur setengah jam saat badan ini lelah, tidak bakal membuatku mati. Aku memang tidak mati, tapi lelahku makin tak keruan. Esoknya, aku nyaris kena amuk bos gara-gara menguap berkali-kali, dan karena takut dipecat, semut-semut itu patut kubasmi.