Skip to main content

Posts

Showing posts from January, 2015

Catatan Perjalanan: Berbanjir-Banjir Dahulu, Berbahagia Kemudian

Jauh-jauh hari, aku sudah membuat janji dengan teman sesama penulis, Fariha, agar kami berangkat bersama ke acara Kampus Fiksi Roadshow Surabaya yang diadakan oleh Penerbit Divapress. Nama kami terdaftar sebagai dua dari 200-an peserta acara keren ini. Tapi belakangan rencana ini agak berubah gara-gara kejadian di luar dugaan: terpilihnya aku sebagai salah satu dari Top 2 Unsa Ambassador 2015. Apa itu Unsa? Bagaimana mulanya? Unsa (Untuk Sahabat) adalah komunitas yang mewadahi para penulis untuk belajar dan berkarya dalam suasana persahabatan. Aku mengenal Unsa di Facebook sejak sekitar akhir 2012 lalu. Dari bulan ke bulan, lomba menulis yang diadakan Unsa makin seru. Hampir tiap lomba aku coba ikuti, mulai dari cerpen hingga mininovel.

[Cerpen]: Wak Kaji dan Suraunya

Cerpen inilah yang mengantarku menuju Top 2 Unsa Ambassador 2015. Sebuah cerpen sastra religi yang ditulis dadakan, dengan ide yang juga datang secara dadakan. Semoga kalian suka, ya! :D                                                                                  ***     Barangkali jauh sebelum saya tinggal di sini, duduk, dan mengamati orang-orang, mendengar azan lima kali, anak-anak ngaji tiap sore, ceramah-ceramah Jumat siang, kakek itu sudah ada. Maksud saya begini, tentu saja beliau sudah ada. Tampak dari janggut putihnya, kemungkinan besar umurnya jauh lebih tua dari bangunan ini.

[Cerpen]: Duma & Bartus

Cerpen ini sebetulnya dibuat saat seleksi ketiga Unsa Ambassador 2015, yakni menulis sebuah fabel. Tetapi karena menurutku kurang greget, jadilah yang kukirim untuk seleksi tersebut adalah cerpen "Jagal" (bisa dibaca di postingan sebelumnya). Entah, mungkin kalau cerpen ini yang waktu itu kukirim, aku tidak lolos ke tahap berikutnya. :D Nah, daripada cerpen "terbuang" ini tetap tersimpan, baiknya diposting juga biar adil, biar teman-teman membacanya. Selamat menikmati! :D   *** Malam itu firman Tuhan berputar. Langit pekat, hujan menggila, dan petir beberapa jengkal dari kepala. Kota itu tersisa ujung-ujung gedung bangunan tingginya. Tak lama lagi sirna. Seekor kambing bernama Bartus menghela napas. Ekor panjangnya ia lingkarkan pantat dan perut. Cuaca dingin. Bersama Duma, anjing bertanduk yang jadi sahabatnya, Bartus meringkuk di geladak kapal. Di sekitarnya, kaki manusia-manusia beruntung pengikut kebenaran tampak memucat.