Skip to main content

Posts

Showing posts from June, 2019

Andai Anakku Ingin Jadi Presiden

    Melihat baku hantam di sosial media terkait pilpres 2019 yang seakan tiada henti bahkan setelah pencoblosan usai, membuat saya terpikir sebuah solusi untuk masa depan yang cerah bagi anak cucu kita kelak. Saya tidak bicara soal janji-janji capres. Saya juga tidak bicara isu sensitif semacam kebangkitan komunis atau khilafah. Terlalu berat.     Saya cuma memikirkan diri kita kalau kelak punya anak, lalu bayi-bayi yang kita hasilkan itu tumbuh menjadi orang-orang yang membuat masa depan netizen di negeri ini terjebak (lagi) dalam baku hantam yang sungguh tak perlu hanya demi urusan pilpres; tidakkah itu mengerikan?     Sebagai manusia, kita ingin memproduksi keturunan-keturunan berkualitas dan berguna bagi keluarga, nusa, bangsa, agama. Kita ingin anak-anak kita tumbuh menjadi orang yang lebih baik ketimbang kita. Maka dari itulah, pikiran saya yang melompat jauh ke beberapa tahun ke depan berbunyi begini: pada tahun itu, saya menikah dengan orang yang saya sukai, lalu jika

[Cerpen]: "Antimati" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Bromo, Minggu, 23 Juni 2019)     Mugeni kurang puas melihat adu panco di warung Yu Nah. Seharusnya adu jotos, biar ada yang mampus, katanya sinis. Entah dalam rangka apa, menurutnya, dua finalis kurang jantan—penghalusan dari kata 'banci'. Padahal Togog dan Bakir, dua sasarannya, tidak lembek. Mereka termasuk orang-orang yang diperhitungkan kekuatannya.     Sebagian tahu Mugeni mabuk, namun tidak sedikit menganggapnya guyon . Togog atau Bakir, sama sekali tak tersinggung. Siapa tidak kenal Mugeni? Lelaki usia setengah abad, pengangguran total, tanpa anak cucu (karena konon menurut pengakuannya, demi merawat ilmu kebal, ia tidak boleh kawin). Tak peduli petarung panco level berapa pun, kalau sudah ketemu dia, cuma bisa mesam-mesem .     Sejak muda, Mugeni mampu menaklukkan apa pun, mulai dari pesilat paling hebat, binatang liar, hingga benda-benda tak masuk akal. Tank dan berbagai kendaraan perang paling mutakhir sekalipun—andai didatangkan kemari, Mu

[Cerpen]: "Hari yang Baik untuk Terkena Hipnotis" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Minggu Pagi, Jumat, 21 Juni 2019)     Aku pergi menjenguk sahabatku yang sakit dan tinggal di luar kota. Meski sangat membenci bus, pada akhirnya aku harus naik kendaraan itu juga. Mobilku diperbaiki di bengkel dan aku tidak punya satu pun motor. Dengan membawa bingkisan dan beberapa buah-buahan, aku berdiri di halte sembari berdoa.     Doa dalam tiap kesempatan selalu kubuat lebih panjang dari doa siapa pun. Aku senang berdoa panjang-panjang, karena konon akan lebih mudah tiba di hadapan Tuhan, dan lebih gampang dikabulkan. Aku tak bisa membuktikan itu, tapi aku mengimaninya. Hanya saja, kali ini, ketika akan pergi ke luar kota, doaku tak sepanjang biasanya.     Doaku hanya, "Semoga bus yang kutumpangi baik-baik saja."     Ini berkaitan dengan masa lalu. Kalau tidak, mustahil kubenci bus hingga bertahun lamanya. Sejak kejadian itu aku enggan naik bus meskipun dipaksa dan diancam dengan banyak cara. Suatu saat, bertahun silam, orangtuaku frustrasi meli

[Cerpen]: "Kota tanpa Manusia" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Padang Ekspres, Minggu, 16 Juni 2019)     Belum lama ini sepertinya orang-orang mengejar saya. Ada yang membawa batu, double stick , tongkat baseball , pedang, dan bahkan ada beberapa juga yang membawa senjata api. Orang-orang itu tampak geram. Saya tidak tahu di mana saya terbangun. Siang itu saya cuma tahu seseorang baru saja mengantarkan minuman dingin ke meja yang saya tempati. Saya duduk di pojok sana, di dekat mesin pemutar musik yang sudah bobrok, hingga saat seorang bocah coba memilih musik di sana, seseorang di seberang ruangan, yang entah siapa, berteriak pada si bocah agar sebaiknya pergi dari situ.     "Barang rombeng itu tidak membuatmu terhibur!" katanya.     Saya pikir pemutar musik itu rusak. Orang yang berteriak itu barangkali pemilik tempat ini atau sekadar orang yang memahami tempat ini, karena terlalu sering kemari. Mungkin. Tempat macam apa ini? Jika ini sebuah kedai, kenapa begitu sepi? Bagaimana saya bisa ada di sebuah kedai dengan

[Cerpen]: "Mati dan Tak Kembali" karya Ken Hanggara

(Dimuat di nyimpang.com pada 15 Juni 2019)     Orang-orang baru saja berangkat bekerja dan aku masih tidur di kasur temanku di apartemen kumuh. Aku kabur dari polisi gara-gara terlibat perampokan dan semalam mereka menembak betisku. Temanku, pemilik apartemen ini, amat baik. Dia memberiku tumpangan, sementara luka di betisku dia rawat dengan telaten.      "Sebaiknya kamu cari pekerjaan," katanya datar sesaat setelah berhasil mencatut peluru dari betisku. Benda itu berkelontangan di suatu panci, yang dia ambil dari dapur, dan aku hanya bisa bergumam.     Pekerjaan apa? Sudah bertahun-tahun mencoba, dan ujung-ujungnya tidak pernah baik. Aku harus selalu kabur dari todongan senjata orang atau lari dari polisi. Aku harus bersembunyi sampai masa amanku tiba dan masa aman ini tidak pernah lama.     "Aku bosan."     Hanya itu yang bisa kukatakan. Selama sisa malam, teman lamaku tak lagi tanya soal nasib burukku, dan membuka topik tentang masa lalu gemilang k

[Cerpen]: "Berakhirnya Kuasa Tuan Tanah" karya Ken Hanggara

(Dimuat di ideide.id pada 11 Juni 2019)     Tuan Markoni memberiku segenggam tanah untuk kubawa pulang. Orang-orang di teras rumah mewah itu menatapku gembira. Aku tak bisa berkata apa-apa. Bukan karena tak mampu melawan, melainkan terlalu banyak lelaki bertubuh kekar berdiri mengawal tuan tanah keparat itu. Akhirnya, aku mundur. Pulang, meski jelas semua tahu entah ke mana aku bisa pulang. Satu-satunya yang terlintas di benakku adalah rumah Sapono.     Rumah itu terletak di tepi desa, dekat sebuah hutan dan jurang yang semenjak dulu dikabarkan sebagai titik terkutuk; iblis dan sekutunya kerap bercengkerama di jurang itu. Tidak sedikit orang mencari harta dan kuasa di bagian tergelapnya. Entah sejak zaman apa jurang dan hutan itu dianggap keramat dan entah berapa banyak orang yang sudah membuktikan. Orang-orang desa sendiri tak tahu. Mereka hanya berkata, "Sapono yang tahu tentang itu."     Aku sendiri mengenal Sapono sejak masih kecil. Setahuku, dari dulu hingga

[Cerpen]: "Akhir Hidup Kritikus Bunuh Diri" karya Ken Hanggara

(Dimuat di kompas.id pada 8 Juni 2019)     1/     Kalau saya berdiri di sana, orang kira saya bunuh diri. Mereka panik lalu berteriak mencegah saya. Hal setolol itu tidak seharusnya terjadi dan hanya ada di kepala saya. Saya hampir selalu mengira orang yang di posisi ini pasti mau bunuh diri.     Dari dulu saya lihat banyak orang bunuh diri. Kira-kira enam puluh lima. Kematian demi kematian yang saya lihat tidak seseram yang orang bilang tentang Izrail; tidak ada sosok hitam atau kelebat bayangan sebelum orang yang bunuh diri meninggal. Rata-rata tubuh mereka berproses menuju diam sama sekali. Sebatas itu. Saya juga tidak melihat nyawa orang-orang itu terbang, selain darah atau lidah yang menjulur atau sesekali buih berkumpul di bibir.     Meski begitu, saya tidak tahu apa enaknya bunuh diri?     Kata teman, "Kamu bisa lari dari takdir."     Sungguh bodoh. Lari dari takdir bisa dilakukan dengan cara yang lebih aman. Saya pernah, yakni dengan menjadi orang la