Skip to main content

Posts

Showing posts from October, 2017

[Cerpen]: "Surga Kiriman Tuhan" karya Ken Hanggara

(Dimuat di basabasi.co pada Jumat, 27 Oktober 2017)       Aku terbangun dan menemukan tubuhku berada di tepi jurang. Jurang ini bukanlah jurang biasa, karena dalamnya sungguh tak terkira, sehingga yang bisa kulihat hanyalah kegelapan di bawah sana. Kubayangkan seseorang akan hancur serupa bubur kalau saja jatuh dari atas sini. Dan kurasa sebaiknya aku harus pergi sesegera mungkin agar tidak tersandung.     Aku tidak tahu dari mana pikiran macam ini datang: kesialan selalu datang tanpa disangka-sangka. Siapa tahu, entah karena angin badai atau mendadak tanah di bagian tepi jurang ini ambrol, pada akhirnya aku jatuh dan hancur lebur di bawah sana?     Aku mundur beberapa langkah, lalu berjalan setelah membalikkan badan dan tahu betapa sejauh mata memandang hanya ada pasir. Aku tidak ingat apa pun yang terjadi sebelum ini. Barangkali seseorang menculikku atau apa, tetapi itu mustahil. Aku tidak terlibat kejadian-kejadian yang bisa menjadi alasan bagi siapa pun untuk mencelakaiku. Aku

[Cerpen]: "Pemasungan Mudakir" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Sulbar, Sabtu, 21 Oktober 2017)       Dalam suatu kebakaran empat tahun silam Mudakir selamat, tetapi otaknya tidak seberes dahulu. Dia menjadi gila setelah melihat pacarnya sendiri terbakar hidup-hidup, sementara dirinya cedera dan tidak berdaya menolong siapa pun.     Pada saat kejadian itu, aku tidak di kota ini. Aku masih memiliki pekerjaan di kota lain sebagai asisten editor di majalah ternama, namun setelah ditimbang ulang mengenai keadaan ibuku yang kesepian, sebab seluruh saudaraku telah menikah, aku pun kembali ke kota ini dengan pekerjaan baruku di sebuah kantor periklanan.     Perkenalanku dengan Mudakir sebenarnya bukan terjadi baru-baru ini. Tentu saja, dia teman lamaku. Aku lahir dan tumbuh di kota ini, sehingga ketika kembali ke rumah yang berisi ibuku seorang, lalu kudengar kabar teman lamaku itu menjadi gila, aku pun sedih.     Ibu bercerita dengan begitu jelas bagaimana Mudakir menjalani hari-hari awalnya setelah kebakaran. Anak itu murung dan se

[Cerpen]: "Pohon Uang" karya Ken Hanggara

Gambar dari pixabay.com (Dimuat di litera.id pada Sabtu, 21 Oktober 2017)     Sejak keluar dari penjara, sulit bagiku mencari pekerjaan. Aku berkeliling ke setiap bagian kota kecil ini, tetapi tidak satu pun orang sudi mempekerjakanku. Akhirnya, aku hanya berakhir di depan televisi busukku, satu-satunya harta berharga yang tak disentuh oleh siapa pun selama aku dipenjara (karena benda itu sudah tua dan tidak mungkin laku dijual), dan menonton acara-acara tidak bermutu, lalu tidur sambil menahan lapar dari waktu ke waktu.     Uang tabunganku selama bekerja menggotong tumpukan kertas atau membungkus produk-produk mebel di penjara tidak akan bertahan lebih dari dua tahun. Pada akhirnya semua uangku akan habis, dan jika itu terjadi, bagaimana caraku melanjutkan hidup?     "Andai saja di dunia ini ada pohon uang, tentu tidak akan ada penjara. Orang-orang bisa menanam pohon uang mereka sendiri sehingga tidak perlu ada kekacauan di muka bumi," pikirku suatu ketika.

[Cerpen]: "Gadis Cenayang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Bromo, Minggu, 22 Oktober 2017)       Kenakalan Lili belum sampai di vas bunga Oma yang pecah. Ia tidak juga berhenti setelah pembantu kami terpincang-pincang dengan kaki berlumur darah; berkat pecahan beling vas yang sengaja Lili pasang di bawah tempat tidur Bi Minah.     Anak itu anak setan, itu yang Mama bilang. Mulanya kukira aku salah dengar, tapi Mama mengulang lagi dan lagi, "Memang anak setan, ya." Selalu begitu. Dan anehnya, Lili tidak pernah merasa terganggu dengan ucapan ini, atau ia justru terlihat bahagia dan semakin menjadi-jadi.     Aku tujuh belas tahun, Lili empat tahun di atasku. Semua teman-teman Lili, tentu saja sibuk mengejar apa yang mereka cita-citakan, tapi tidak kakakku. Ia sibuk bermain bunga di teras rumah kami sejak putus sekolah beberapa tahun silam. Atau setengah hari ia habiskan waktu di halaman belakang untuk memberi makan ikan-ikan.     Lili seakan hidup di dunianya sendiri dan kami tidak bisa mencegahnya, atau tidak bisa

[Cerpen]: "Masih Bernyawa" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Banyuwangi, Minggu, 15 Oktober 2017)       Tubuhku sudah sangat rusak dan aku tahu itu. Aku dapat merasakan sesuatu yang jahat menggerogoti tubuhku menit demi menit, dan mungkin besok lusa aku sudah mati. Kubayangkan organ tubuhku habis dimakan benda jahat yang entah berbentuk apa, yang berada di rongga badanku, kemudian aku seperti mumi. Aku tahu, jika aku mati tidak ada yang peduli. Aku membusuk dengan cepat dan mengering seperti daun rontok. Tak ada yang menangis.     Aku masih hidup. Heran juga. Kenapa tidak ada yang membunuhku saja? Kenapa aku hidup jika harus semenderita ini? Di sini tidak ada tempat hangat. Semua rumah dan gedung menutup diri dari gelandangan sepertiku. Aku bukan penjahat, tetapi Anda tidak boleh percaya begitu saja kepada orang yang datang tanpa pekerjaan, juga tanpa sanak famili. Memang begitu seharusnya. Kiranya orang-orang sangat tepat memperlakukanku begitu. Hei, manusia, jangan pedulikan aku agar kalian tidak celaka! Seakan itulah yan

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri

[Cerpen]: "Tentang Api, Anjing, dan Nabi" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Koran Tempo, Sabtu, 7 Oktober 2017)       Seandainya aku Nabi Ibrahim, pastilah tubuhku tidak matang dilahap api. Aku dan api kawin di bawah perjanjian abadi. Kulit, daging, tulang belulang, dan api menyatu. Dalam suatu hukuman, aku bersenang-senang, namun pura-pura mati. Begitulah. Aku segar tapi bergetar. Aku girang tapi mengerang. Bisakah?     Dari sana, dari tubuh manusiaku, darah memancar memandikan bumi orang suci. Seakan lidahku menggeliat—padahal pisau belum kering menebas indera perasa —kata-kata sumbar berserakan: Bakar, bakar, bakar!     Aku tidak takut—seandainya aku nabi dan kondisi seburuk itu datang: orang-orang menggotong kayu buat membakarku. Aku tidak takut sebagaimana dulu saat Ayah mengancam mengikatku semalam di bawah pohon nangka karena kedapatan merokok.

[Cerpen]: Roh-roh di Tangan Mariana" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Bali Post, Minggu, 8 Oktober 2017)       Di tangan Mariana bersemayam roh-roh dari zaman purba. Roh-roh itu keluar pada malam hari dan mencari makan. Apa yang kau pikirkan soal makanan dan roh jahat? Ya, roh-roh di tangan gadis manis itu, yang entah berjumlah berapa puluh, amat sangat jahat. Tidak ada seorang pun—betapapun mereka berusaha—bisa selamat seandainya satu roh di suatu malam berjanji menelan jiwa seseorang.     Mariana mula-mula tidak sadar kemampuannya—atau lebih tepat disebut kutukan? Ia gadis biasa yang bekerja menjaga toko bunga di tepi suatu kota. Ia juga tidak punya kepentingan apa-apa, sementara banyak orang di sekitar membicarakan soal raja baru mereka yang rakus dan tamak.     "Itu tidak penting buat saya," katanya santai. "Selama saya masih bisa makan, raja boleh bersikap semaunya."     Tentu Mariana tidak sekejam yang orang bayangkan, jika mereka tahu di tangan dia ada roh-roh jahat yang keluar untuk makan, serta jika mereka jug

[Cerpen]: "Stasiun Berhotel" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Mojokerto, Minggu, 1 Oktober 2017)       Aku tidak ingat pernah naik ke sebuah kereta, tetapi malam itu seseorang di sisiku membangunkanku dan bilang kalau kereta sampai di stasiun terakhir. Aku bangkit dari kursiku dan melihat punggung beberapa penumpang terakhir turun dari gerbong ini, gerbong yang tidak pernah kuingat pernah masuk ke dalamnya. Tetapi, aku berada di dalamnya.     Untuk beberapa saat aku berdiri dan menoleh ke sana kemari sambil memegangi kepalaku yang berat. Aku bayangkan aku bermimpi dan belum seutuhnya sadar, hingga seseorang lain, yang ada di dunia nyata, membangunkanku ulang. Tetapi lelaki di sisiku masih di sana dan berkata, "Kau gila, Bung?"     Ia mengajakku turun dan menganggapku gila. Kereta itu, katanya, tidak berangkat, kecuali ke neraka. Jika Anda tetap di gerbongnya, Anda dibawa ke neraka dan tidak bisa balik. Anda mau di neraka selamanya? Ia bilang, itulah kenapa di stasiun terakhir semua orang turun dan buru-buru p