Skip to main content

Posts

Showing posts from December, 2016

[Cerpen]: "Jangan Bawa Taksi di Malam Hari" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Koran Merapi Pembaruan edisi Jumat, 30 Desember 2016)     Taksi berputar-putar di kawasan yang belum pernah kulewati. Sudah satu jam lebih, tapi si penumpang terus saja memberi instruksi yang lama-lama membuat perutku terasa mual. Sesekali ia minta lurus. Ketika di pertigaan, taksi berhenti, karena penumpang itu meminta demikian. Ia bilang untuk mengundi dulu arah yang sekiranya aman: kanan atau kiri?     Aku tidak tahu siapa penumpang wanita berwajah bulat tetapi kurus ini. Aku tidak tahu ke mana tujuannya atau dari siapa ia lari, tetapi karena taksi ini aku yang bawa, otomatis aku harus sedikit ikut campur.     Kutanyakan sebenarnya ia berhenti di mana? Barangkali bisa to the point, langsung sebut alamat, dan aku bisa mengantar tanpa membuang waktu. Tentu mesin argo terus berputar, tapi aku tak memikirkan itu. Yang kuupayakan dalam profesiku: penumpang sampai tujuan dengan selamat, dan kami sama-sama tidak dirugikan.     Penumpang ini merugikanku sebagai sopir. Me

[Cerpen]: "Bahkan, Namrud Saja Mati!" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Mojokerto edisi Minggu, 18 Desember 2016)     Pada suatu hari, sekelompok nyamuk memutuskan menyerbu dua manusia dewasa yang sedang duduk menunggu kereta. Hari sudah malam dan tentu saja sebagian besar orang sudah tidur. Tetapi, nyamuk-nyamuk di kawasan stasiun tidak perlu pilih mangsa; mereka bisa menyasar siapa saja, asal berdaging dan berdarah, dan asal dapat membikin perut kenyang.     Baiklah, sampai di sini, kita sudah tahu rencana para nyamuk yang tinggal di suatu stasiun malam itu. Tetapi, di kepala dua manusia dewasa ini tergambar rancangan lain, yang jauh lebih bernilai dan penting ketimbang sekadar mengisap darah makhluk hidup lain.     Manusia dewasa pertama, yang mengenakan jaket dan agak cabul, berpikir di suatu tempat terdapat seorang gadis yang mau memberinya kehangatan. Gadis itu bisa berciri- ciri apa pun, misal anggaplah berambut panjang dan berbibir merah tipis.     "Gadis berbibir merah tipis, dan kulit seputih gading," pikir si

[Cerpen]: "Keluarga Frank" karya Ken Hanggara

Gambar: Sacrifice oleh Dedi Blesak (Dimuat di Flores Sastra, 19 Desember 2016) Ada sebuah rumor bahwa keluarga Frank, yang tinggal di depan rumah Mudakir kira-kira sebulan terakhir ini, tidak pernah mengonsumsi daging sapi. Pada suatu hari penting, yang mana Mudakir dan seluruh keluarga besarnya merayakan ulang tahun Leli, bungsu Mudakir, Frank beserta istri diundang. Tujuan utama Mudakir: menguji apakah benar keluarga Frank tidak mengonsumsi daging sapi? Memang , baik Mudakir maupun istrinya sudah tahu, bahwa orang tidak suka makan daging sapi adalah karena berbagai sebab. Ia bisa membaca banyak referensi dan juga dapat mencari informasi di internet tentang penyakit akibat terlalu banyak menelan daging dan semacamnya, t et api Mudakir dan istrinya juga tahu betapa keluarga Frank sama sekali sehat. “Lagi pula,” kata istri Mudakir di malam hari sebelum esok pesta digelar, “kita tidak benar-benar tahu apakah mereka memang benci daging sapi atau memilih tidak makan da

[Cerpen]: "Menantu Defensif dengan Segala Usaha dan Ketulusannya" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: https://kikisenyo.wordpress.com/2011/01/19/its-my-sketch-jihan-rana/ (Dimuat di Rakyat Sumbar edisi Sabtu, 10 Desember 2016) Rumah kami berdiri di pinggir jalan raya, berjarak dua puluh meter dari jembatan layang yang baru untuk jalan tol. Anak-anak kami yang kecil pun sering harus kami peringatkan jika ingin bermain di kolong jembatan, karena kendaraan besar macam bus sering berhenti mendadak untuk menurunkan atau mencari penumpang di sana. "Anak-anak bisa mati ketabrak bus. Anak-anak yang tidak berdosa memang masuk surga, tetapi orangtua seperti kalian mungkin masuk rumah sakit jiwa," kata mertuaku. Ia tersenyum nyinyir . Ia benci basa-basi. Ucapannya hampir tak terkontrol. Ia bilang itu setelah melihatku mengunci anak-anak di rumah pada siang hari, agar tidak main di bawah jembatan. Kalau malam, mereka tidak akan keluar. Anak-anak itu takut hantu dan percaya hantu dapat memakan manusia.

[Cerpen]: "Burung Beterbangan di Tempurung Kepalaku" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Banten News edisi Jumat, 9 Desember 2016) Pagi itu seekor burung beterbangan di tempurung kepalaku. Aku tidak tahu ide ini bermula dari mana, tetapi aku rasa ia, burung itu, entah jenis apa, membuat kekacauan di kepalaku untuk suatu misi. Aku tidak tahu misi burung itu. Tetapi ia terus berkicau dan terbang ke sana kemari, seakan-akan kepalaku kubah raksasa. Mungkin burung itu seukuran jarum, sehingga ia dapat terbang sebebas yang ia mau di tempurung kepalaku. Mungkin lebih besar, tetapi yang jelas ia bukan burung sembarangan. "Seekor burung biasa tidak mungkin masuk ke kepala lelaki biasa!" Aku tidak merasakan sakit, tetapi telingaku terganggu suara si burung. Ia berkicau dengan cara tak terbayangkan. Jika burung biasa memiliki jeda saat berkicau, burung ini tidak membutuhkan jeda. Ia terus berkicau seperti musik yang diputar tanpa henti, dan dimainkan musisi gila yang gagal. Bisa dibayangkan bagaimana si musisi dan sebuah dendam bekerja kepada setia

[Cerpen]: "Maria Takut Dimangsa Anjing" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Minggu Pagi edisi Jumat, 9 Desember 2016) Maria bukan tidak suka ke sekolah. Ia sangat suka matematika dan rapornya tidak pernah dapat merah. Ia anak yang pintar dan punya dua puluh sembilan piala sejak tiga tahun duduk di bangku sekolah dasar. Piala itu didapat dari bermacam-macam prestasi dan lomba. Jadi, bagaimana mungkin Maria benci sekolah? Masalah dimulai saat Mama pindah rumah tiga hari yang lalu. Tentu saja, sebagai anak, Maria juga ikut pindah. Pindah rumah sama dengan pindah sekolah. Dan inilah yang membuat anak manis ini malas ke sekolah. "Ada apa sih?" tanya Mama. "Apa ada yang nakal mengganggumu? Atau, gurumu ada yang galak? Cerita sama Mama, Nak."

[Cerpen]: "Cangkang Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid Apa Kabar Indonesia Plus edisi awal November 2016) Mas Bram datang dengan bujuk rayu. Dia bukan lelaki tanpa tanggung jawab. Ibu tak suka caranya membawa diri. "Tidak sopan," tukasnya. Aku mencintai Mas Bram dan tidak suka cara Ibu menilainya. "Ibu tidak tahu, sih , gimana Mas Bram aslinya," selalu itu yang kukatakan, walau aku tidak benar-benar tahu watak asli Mas Bram. Aku tak mau ia jatuh ke tangan wanita lain. Yang aku tahu, Mas Bram ceplas-ceplos. Kadang arogan, tak mau kalah, ambisius, tapi dia sangat baik. Kini kesemuan itu, cinta buta itu, menang. Kalau saja kesemuan hidup, ia hadir dalam wujud aneh. Ia makhluk bertaring dan haus darah. Seperti mimpi, tapi setengah nyata, aku lari dan sembunyi darinya. Meski begitu, makhluk itu selalu bisa menangkap dan mengisap darahku.

[Cerpen]: "Membunuh Masa Depan" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Padang Ekspres edisi Minggu, 4 Desember 2016) Seorang wanita dari masa lalu mengetuk pintu rumah saya malam-malam. Ia ingin tahu di mana ia bisa mendapatkan pistol. Untuk apa, kata saya. Ia bilang, ia harus bunuh kekasihnya, yang mencampakkannya, juga yang membuatnya malu karena hamil di luar nikah. Apa ini nyata? Belakangan saya lebih banyak begadang ketimbang tidur. Akibatnya sering melihat hal-hal aneh, padahal tidak ada yang aneh di sekitar saya. Istri saya menyarankan saya tinggalkan kebiasaan itu, karena setiap hari saya berbisnis, walaupun di rumah juga tempat bisnis saya. Dalam sehari, saya tidur dua jam dan itu kurang. Sepertinya kamu berhalusinasi, kata istri saya.

[Cerpen]: "Kopi Darat" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Bromo edisi Minggu, 4 Desember 2016) Jun ke luar kota minggu depan. Ada janji temu dengan Maria, gadis cantik yang dia kenal di Facebook. Maria memang cantik. Jun memamerkan foto gadis itu padaku dan bersumpah bahwa kelak suatu hari, akan lahir bocah-bocah unggulan generasi penerus bangsa dari pernikahan mereka. Sebegitu yakinnya Jun akan menikahi Maria, yang bahkan belum pernah dia temui. Aku toh diam saja dan tidak mengatakan apa-apa pada sobatku ini, tentang betapa orang di zaman sekarang sangatlah sulit dipercaya. Barangkali karena dia sahabatku, dan baru kali ini kutahu Jun menyukai perempuan yang katanya juga menyukainya, maka aku tak tega menyampaikan kemungkinan bahwa Maria bisa saja penipu. "Sebagai sahabat, saya rasa kamu berhak bicara begitu. Ini juga demi kebaikan Jun, dan bukan berarti kamu membuatnya putus asa," kata Lik Karman, pamanku, yang juga tahu betapa malangnya kisah asmara Jun.

[Cerpen]: "Jamur Ajaib Titipan Tuhan" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Bromo edisi 20 November 2016) Di bawah meja makan kami, jamur-jamur tumbuh dan bicara. Jamur-jamur langka dan belum pernah ada; bayangkan betapa banyak omong mereka semua. Jamur-jamur itu cerewet seperti kumpulan bocah di taman bermain. Mula-mula, kami tak tahu suara yang setiap malam mendadak muncul itu dari mana. Di bawah meja makan tempat penuh debu dan tahi cicak, tempat yang jarang kami pijak, suara-suara itu lahir. Istriku mengira tetangga baru kami, yang tinggal di rumah sebelah, suatu rumah di seberang tembok persis di sisi meja makan, adalah tipe manusia malam: melakukan hal aneh sampai subuh. "Kerjaannya apa sih? Kita jadi gak bisa tidur!" keluhnya. Itu mula-mula. Aku curiga—mengingat tetangga baru kami itu segar bugar di pagi hari, bahkan berangkat ngantor persis jam enam (biar tidak ketinggalan bus, katanya) —jangan-jangan suara di malam hari bukan dari tetangga itu?

[Cerpen]: "Brenda dan Kisah yang Membingungkan" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Flores Sastra edisi 17 November 2016) Hari itu aku tetap berjalan kaki seperti biasa, dan tidak langsung pulang ke rumah, melainkan ke suatu tempat untuk janji temu. Aku lupa kapan terakhir kami membuat janji temu. Tetapi, Brenda sepertinya juga tidak ingat soal itu. Pada akhirnya pertemuan baru terjadi setelah sekian lama kami lupa akan ciri masing-masing yang dulu seakan tidak akan luntur dari kepala. Brenda adalah pacarku. Tapi itu dulu. Dan sekarang anaknya sudah dua. "Kumismu lebih tebal dari terakhir kali kita ketemu," katanya setelah kami bersua. Aku tahu kumisku tidak lebih tebal, dan inilah bukti betapa Brenda tidak lagi ingat segala-galanya tentangku. Aku sendiri memang lupa kapan terakhir kami bertemu, tetapi kurasa dia tidak banyak berubah. "Kamu tetap cantik, dan kulitmu juga tetap bersih seperti dulu," balasku, tanpa ada maksud merayu, karena memang itu kenyataannya. Brenda yang sekarang tetap secantik Brenda yang dulu.