Skip to main content

[Cerpen]: "Brenda dan Kisah yang Membingungkan" karya Ken Hanggara



(Dimuat di Flores Sastra edisi 17 November 2016)

Hari itu aku tetap berjalan kaki seperti biasa, dan tidak langsung pulang ke rumah, melainkan ke suatu tempat untuk janji temu. Aku lupa kapan terakhir kami membuat janji temu. Tetapi, Brenda sepertinya juga tidak ingat soal itu. Pada akhirnya pertemuan baru terjadi setelah sekian lama kami lupa akan ciri masing-masing yang dulu seakan tidak akan luntur dari kepala. Brenda adalah pacarku. Tapi itu dulu. Dan sekarang anaknya sudah dua.
"Kumismu lebih tebal dari terakhir kali kita ketemu," katanya setelah kami bersua.
Aku tahu kumisku tidak lebih tebal, dan inilah bukti betapa Brenda tidak lagi ingat segala-galanya tentangku. Aku sendiri memang lupa kapan terakhir kami bertemu, tetapi kurasa dia tidak banyak berubah.
"Kamu tetap cantik, dan kulitmu juga tetap bersih seperti dulu," balasku, tanpa ada maksud merayu, karena memang itu kenyataannya. Brenda yang sekarang tetap secantik Brenda yang dulu.

Setelah sedikit berbasa-basi, kami mencari tempat berteduh dan bicara soal profesi masing-masing. Brenda berhenti bekerja di perusahaan kontraktor setelah menjadi istri teman masa kecilnya. Ia bercerita dengan penuh percaya diri dan bangga; bahwa kedua anaknya tumbuh begitu sehat dan pintar, tidak membuatnya sedih meski tidak bisa lagi meniti karier.
"Dan sekarang profesiku adalah mengasuh anak-anak sendiri," tutupnya. "Tak ada yang lebih menantang dari itu, menurutku. Kurasa beberapa orang tidak setuju, tapi apa urusan mereka? Yang punya anak aku, dan yang repot mengurus mereka juga aku."
Kami berteduh di bawah pohon beringin di taman. Langit mendung dan secara tak sadar kukeluarkan sebuah buku dari dalam koperku. Kubilang pada Brenda bahwa tidak lama setelah kami putus, karierku sebagai penulis melesat cepat. Mungkin aku tak ingat kapan kami berpisah, tapi aku ingat betul segala kemajuanku terjadi setelah aku tak lagi bersamanya.
Brenda bukan membaca ini sebagai penghinaan. Tentu saat kami berpacaran, ia tak menghalang-halangi usahaku menjadi penulis. Ia justru memberiku ruang lebih agar aku tak putus jalan begitu saja. Berbagai cibiran dan penolakan kualami, dan kalau bukan karena Brenda, barangkali sampai hari ini aku sudah tidak ingat pernah bercita-cita jadi penulis.
Brenda mengambil buku terbaruku sambil mendengar beberapa ceritaku soal awal mula keberuntunganku itu datang. Aku menulis naskah untuk sebuah lomba dan berhasil meraih penghargaan. Satu per satu prestasi kuraih setelahnya, dan karena semakin hari kesibukan semakin menggila, aku lupa pernah patah hati.
"Ya, kita putus bukan karena apa-apa. Kita putus karena kita memang sudah bosan. Dan kurasa itu wajar," kata Brenda yang melihat raut bersalah di wajahku.
Ya, memang kuakui aku bosan. Tapi dua tahun jalan dengan wanita yang kita cintai dan juga mencintai kita, lalu mendadak berhenti karena sama-sama merasa bosan, tidak akan memberimu penyelesaian masalah yang memuaskan. Aku tidak pernah puas dan merasa harus kembali pada Brenda esoknya. Tapi, beratus-ratus esok terlewati tanpa ada usaha nyata. Pada akhirnya, Brenda menikah dengan orang lain.
Brenda bilang, buku tersebut bisa ia bawa pulang seandainya aku memberinya izin. Kukatakan bahwa memang buku tersebut kuhadiahkan untuknya. Ada sedikit coretan di halaman terdepan bukunya.
"Dengan tanda tangan?" tanya Brenda.
"Aku tidak setenar artis-artis itu," balasku dengan tawa yang kucoba santai.
Brenda membaca coretan singkatku untuknya, juga tanggal kapan coretan tersebut diterakan, dan mengernyit setelah tahu tidak ada tanda tanganku di sana. Ia memintaku dengan suara yang lembut, suara yang sama persis seperti bertahun-tahun lalu sebelum kami berakhir karena bosan, untuk membubuhkan tanda tangan juga.
Pada saat itu gerimis sudah turun. Tidak berapa lama, hujan deras melingkupi kami yang hanya berdiam di bawah beringin. Barangkali aku hanya bisa mengutuki siapa pun seandainya tak ada beberapa pasangan turut berteduh di sini. Bagaimana jika hanya ada aku dan Brenda di sini, di tengah kepungan hujan, di bawah pohon beringin yang sangat jarang dikunjungi pengunjung taman karena konon katanya tempat ini angker?
Aku tak bisa membayangkan berdua saja dengan Brenda tanpa tahu bahan obrolan terbaik. Aku sama sekali tidak bisa berkata banyak setelah menyadari bahwa kebosanan tidak selalu berakhir dengan benci sama sekali atau mungkin hilang rasa secara total. Aku tahu itu, sebab yang terjadi adalah aku patah hati. Dan pula, ingatan tentang wajah Brenda di masa muda masih menempel di kepala.
"Kamu secantik dan semuda dulu," kataku beberapa menit yang lalu. Benarkah itu yang kubilang? Atau, semacam itu? Semoga Brenda tidak berpikir aku ingin kembali. Ia sibuk dan bahagia dengan tugas mengasuh anak-anak. Aku ikut bahagia jika dia menjadi bahagia. Seandainya kami tidak putus ketika itu, belum tentu Brenda bahagia, bukan? Jadi, memang seharusnya aku tidak berbuat apa-apa selain bicara urusan pertemanan,
"Aku senang kamu bahagia," kataku setelah kami diam beberapa lama. Hujan kian brengsek karena tak mau berhenti. Tetapi Brenda tenang dan tampak menikmati momen ini.
"Dari mana kamu yakin aku bahagia?"
"Dari senyummu. Dan wajahmu yang awet muda."
"Aku hampir tidak mengenalimu," katanya.
"Aku hampir tidak yakin pernah merasa tidak mengenalmu," kataku.
Kami mulai tertawa dan suasana segera mencair. Brenda memasukkan buku yang sudah kutanda-tangani tadi, dan kami mengobrol panjang lebar soal anaknya, juga soal kegiatanku mengisi berbagai acara literasi di luar kota.
Brenda terlihat agak sedih sampai di sini, karena ia sangat jarang bepergian ke luar kota sejak menikah. Suaminya bekerja di kota ini, dan meski uangnya melimpah, hanya ada sedikit waktu untuk liburan ke luar kota. "Kamu enak, ya. Bisa jalan-jalan sambil bekerja," goda Brenda padaku, tapi aku tahu itu bukan sekadar candaan. Entalah dengan kata apa aku menyebutnya.
Setelah hujan reda, kami bergegas pergi dari sana dan mencari tempat makan. Sore hari kami pulang dan membuat janji baru untuk bertemu. Dan sejak itu setiap dua hari sekali kami bertemu. Dari sore malam, bahkan pernah juga dini hari. Aku tidak tahu bagaimana otakku begitu tumpul sehingga tidak terpikir untuk bertanya lebih banyak soal anak-anak dan suaminya. Bagaimana pikiran mereka nanti kalau tahu kami seperti ini, meski sekadar bersalaman dan mengobrol di taman?
Setelah pertemuan keenam, Brenda mulai menangis dan bercerita bahwa anak-anak itu sudah mati. Sebenarnya sejak sebulan yang lalu, mereka tidak ada. Keduanya mati di sungai dan jenazahnya belum ditemukan. Suaminya tidak lagi bicara padanya.
"Aku memang tak becus, dan kurasa tak ada yang peduli padaku setelah kematian anak-anakku. Aku tahu aku bodoh, tapi aku juga manusia yang butuh teman. Mereka tak ada yang mau berteman lagi denganku!" tuturnya dengan air mata bercucuran.
Kudengar seluruh curahan Brenda yang dituang di sore-sore berikutnya. Kubiarkan ia menangis sampai puas, dan setelah beberapa kali bercerita, Brenda bisa tersenyum. Ia tahu ia salah dan ia akan menanggung konsekuensinya, tapi ia butuh teman. Dan akulah teman yang menurutnya cocok.
"Kamu selalu pengertian," pujinya. "Sampai kapan pun, kamu selalu pengertian. Di mana-mana, penulis lebih peka dan memahami masalah orang lain."
"Aku tidak sesempurna itu. Aku juga sering tidak memahami orang hanya karena egoku," kataku.
Brenda tidak peduli. Ia menjadi temanku, dan suatu ketika, di janji temu terbaru dia mencium pipiku dan mengaku mencintaiku seperti dulu. Aku tak bisa menjawab, karena ia istri orang lain, dan pernah melahirkan dua anak yang bukan anakku. Ia juga sudah pernah melupakanku karena bosan. Ia tidak ingat bahwa kumisku tak pernah lebih tebal dari masa ketika kami berpacaran. "Seharusnya itu bukan masalah, bukan? Seharusnya kamu senang aku kembali!" sembur Brenda.
Toh aku tak pernah dapat merespons perasaan Brenda yang kembali ini, dan kurasa ia hanya sedang khilaf sebab ingin membuat suaminya yang tak mengajaknya berbicara itu cemburu. Dengan demikian, mereka bisa akur lagi. Tetapi Brenda mengaku tak akan bisa kembali lagi dengan siapa pun, kecuali diriku.
"Kecuali kamu tidak ingat, bahwa saat terakhir kita bertemu, akulah yang mencium pipimu sebelum tubuhmu dibawa ke lubang kuburan!" sambungnya.
"Aku benar-benar tidak paham," sahutku. Aku memang tidak paham, tetapi Brenda tidak berkata apa-apa kecuali mengajakku ke semacam sungai, namun yang terbuat dari kristal. Entah benar kristal atau bukan, tetapi yang jelas sungai tersebut berkilauan dan membuat mataku agak pedih.
Kami duduk di sana sekitar tiga jam sampai beberapa benda mengambang ke arah kami. Brenda tidak mengajakku mengobrol, jadi aku diam. Kami sama-sama mengamati beberapa benda itu, yang ternyata adalah tubuh manusia. Mayat-mayat itu sudah biru dan sulit dikenali. Badannya sudah bengkak seperti balon di pertunjukan dengan ragam bentuk.
Brenda bilang, "Itu jasadku. Dan sekarang aku benar-benar sudah mati."
Aku merasa mungkin aku sedang tidur, tapi aku tidak bangun juga dari tidurku. Di saku bajuku ada cutter, dan kucoba melukai tanganku sendiri dengan itu, tapi aku tidak pernah terluka. Lalu kuingat-ingat kegiatanku sebagai penulis yang mulai naik daun. Di berbagai kota, teman-temanku bertebaran; dan mereka semua kebanyakan adalah orang yang sudah membaca karyaku. Seandainya apa yang Brenda bilang benar, apa mungkin ini hanya kegilaanku? Brenda hanya tertawa melihat kebingunganku. Pada akhirnya, ia buka buku pemberianku untuknya di depan kami berdua, dan melempar buku tersebut ke atas permukaan sungai, tetapi tak ada satu lembar pun yang basah.
"Kita sudah sama-sama hidup di satu dunia, dan aku tahu betapa kamu tak pernah lupa padaku yang mencoba lupa padamu, karena orangtuaku tidak pernah setuju gadis mereka kawin dengan penulis. Maaf, bukan maksud merendahkanmu. Sebenarnya, aku juga cinta, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa."
Brenda menggandengku setelah mengucap kalimat yang kurasa agak melantur itu, lalu kami pergi ke tempat yang jauh, yang menurut Brenda, adalah tempat di mana mestinya sejak dulu kami berada. Hanya saja, tidak ada Romeo dan Juliet di sini. Yang ada hanya aku dan Brenda. []
Gempol, 15 Nov' 2016
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya terbit di berbagai media lokal dan nasional.

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri