Skip to main content

Posts

Showing posts from January, 2016

Tips Menulis Cerpen yang Tak Biasa ala Ken Hanggara (Part 1): Judul yang Memikat

Berikut ini akan saya bagikan satu tips menulis cerpen yang tak biasa . Pertama, tentu saja soal judul. Judul ibarat wajah, kepala, baju, dan segala asesoris yang dipakai "seorang" cerpen. Semua terlihat dari luar. Maka sepatutnya judul dibuat memikat, mengikat, mengundang rasa penasaran dengan sejuta tanda tanya. #jiaah... Kamu percaya cinta pada pandangan pertama? Love at the first sight? Bagi sebagian orang itu omong kosong. Tapi percayalah, bagi pembaca cerpen, cinta semacam itu wajib! Maka menulis cerpen yang tak biasa tentu juga butuh judul yang tak biasa. Cerpenmu gak akan menarik minat pembaca jika judul yang kamu buat ngebosenin, jadul, klise (itu-itu saja), bikin ngantuk, dan pasaran. Maka buatlah gebrakan baru soal judul. Dan satu lagi, jangan ikut-ikutan! Namanya juga menulis cerpen yang tak biasa , pasti dibutuhkan hal-hal baru dong. Kover buku "Silabus Menulis Cerpen Itu Gampang" karya saya.   Tips menulis judul cerpen yang tak biasa ad

[Cerpen]: "Perkara Kucing" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Mojokerto, Minggu, 24 Januari 2016)   1/ Kematian Anita tidak mau sekolah. Ia pengen bolos, kalau bisa selamanya. Aku tidak tahu cara membujuknya. Kujanjikan boneka baru, tidak mau. Kujanjikan es krim kesukaan, juga tidak mau. Bahkan, janji memberikannya hadiah terbaik, berupa seekor kucing Persia di hari ulang tahun ke delapan, juga ditampik. Segala iming-iming yang—jika di situasi normal—membuat anak itu melonjak girang, ditolak. Anita menangis makin keras, karena tak ada seorang pun, termasuk aku, ayahnya, yang bisa mengembalikan nyawa seekor kucing. Anakku, yang tiga bulan lagi berumur delapan tahun itu, sangat mencintai kucing. Aku sendiri tidak suka, tapi juga tidak benci. Dan, kalau bicara soal kucing, tidak bisa tidak selain mengiyakan semua yang Anita tetapkan, sejak suatu hari setelah ia main ke rumah temannya dan melihat beberapa kucing lucu, lalu tertarik dan ingin memiliki. Ketetapan itu adalah: dia mau kucing berbulu putih, sehingga setiap sa

[Cerpen]: "Akhir Hidup Bung Dakir" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Inilah Koran, Minggu, 17 Januari 2016)   Jenazah Bung Dakir, yang meninggal digilas truk siang ini, belum sampai hingga sore. Orang-orang menggerutu. Mendadak, di kepala saya terdengar suara-suara bisikan; seandainya yang mati bukan orang macam dia. Seandainya yang mati pejabat penting, atau orang alim yang biasa menghidupkan masjid dusun yang nyaris roboh. Entah datang dari mana bisikan itu. Betapapun nyata ketimpangan posisi antara Bung Dakir dengan pejabat penting berduit, atau Bung Dakir dengan orang alim dengan pahala segunung, saya rasa tidak pantas pikiran itu. Saya usir segala pikiran jelek dan menyulut rokok di teras. Saya kembali memikirkan kejadian semalam. Rumah itu tidak penuh pelayat. Sebagian sudah pulang dan memilih menunggu di rumah sampai jenazah siap dibawa ke liang lahat. Toh, jenazah belum datang dari rumah sakit dan mereka malas berbuat apa-apa di rumah Bung Dakir yang sempit.

Menulis untuk Uang... Salahkah?

Menulis untuk mendapat uang? Kenapa tidak? Tidak ada yang salah dengan itu. Namanya juga tujuan. Selama menulis itu dilakukan dengan baik dan jujur, tidak ada salahnya orang punya misi mendapat uang. Yang jadi soal hanyalah: fakta bahwa uang tidak seinstan itu didapat dari menulis, sebab ada proses panjang yang perlu kita lalui. Mungkin ada beberapa orang yang kelihatannya cepat sekali "kaya" dari menulis, tetapi saya yakin itu memang takdir khusus yang sengaja Tuhan beri untuk orang-orang ini (peraih gelar best seller di karya pertama, misal) untuk inspirasi yang lain. Di sisi lain, tidak semua orang ditakdirkan menjadi inspirator. Tuhan adil? Tentu saja adil. Kalau semua orang di dunia ini jadi inspirator, bagaimanakah dunia disebut indah dan bermakna? Bayangkan saja itu.

[Cerpen]:"Maria Pergi ke Neraka" karya Ken Hanggara

  (Dimuat di Riau Pos, Minggu, 10 Januari 2016) Terpaksa, kali ini, sayalah yang harus geser tempat duduk. Saya sudah suruh Maria geser, tetapi dia tidak mau. Dia, masih dengan boneka babi di tangan kiri, terus menerus berbisik entah kepada siapa. Sementara antrean mengular, ia asyik berdialog tunggal. "Wahai setan, hidupkan... Hidupkan anjing-anjing yang dulu mau mengejarnya!" Saya, demi apa pun, tak merespon kegilaannya. Dari pertama kami bersama, saya tahu Maria sudah sinting dan suka berbisik sendiri; kadang kepada setan, kadang pula pada malaikat. Jika orang bertanya kenapa kamu tidak berbisik pada Tuhan, anak itu jawab: Tuhan tidak ada. Ibu berkali-kali bilang, "Jangan ganggu Maria! Bereskan dulu otaknya kalau kamu mau ajak main!"

[Cerpen]: "Sekolah Khusus Kaum Setan" karya Ken Hanggara

  (Dimuat di Harian Fajar Sumatra, Jumat, 8 Januari 2016) Ujian termudah bagi setan bisa ditemui di suatu tempat yang memajang ratusan wajah. Di sana setan-setan berkeliling sesuka hati dan memilih wajah sesuai harapan. Wajah-wajah itu hidup dan bicara. Punya mata, mulut, hidung, pipi, dan telinga. Namun sebagian wajah sulit diambil untuk jadikan topeng. "Hal termanis bagi setan adalah ketika dimanjakan dengan wajah pasrah sumarah. Di tempat itulah kau temukan wajah semacam ini. Kau bermain topeng sepuasnya dan membikin senang negeri kita. Kau naik pangkat dan kebanggaan buat mu sekalian," kata kakakku, senior di sekolah, yang kini sukses di kota peradaban tempat tinggal manusia. Ketika itu awan menggelap dan hujan turun begitu deras. Kami duduk berjejalan di bus terbang yang dikendali setan warna abu-abu. Pemberhentian pertama, katanya, agak mengagetkan .