(Dimuat di Riau Pos, Minggu, 10 Januari 2016)
Terpaksa, kali ini, sayalah
yang harus geser tempat duduk. Saya sudah suruh Maria geser, tetapi dia tidak
mau. Dia, masih dengan boneka babi di tangan kiri, terus menerus berbisik entah
kepada siapa. Sementara antrean mengular, ia asyik berdialog tunggal. "Wahai
setan, hidupkan... Hidupkan anjing-anjing yang dulu mau mengejarnya!"
Saya, demi apa pun, tak
merespon kegilaannya. Dari pertama kami bersama, saya tahu Maria sudah sinting
dan suka berbisik sendiri; kadang kepada setan, kadang pula pada malaikat. Jika
orang bertanya kenapa kamu tidak berbisik pada Tuhan, anak itu jawab: Tuhan
tidak ada.
Ibu berkali-kali bilang,
"Jangan ganggu Maria! Bereskan dulu otaknya kalau kamu mau ajak
main!"
Saya berpikir soal robot
mainan yang tidak mungkin bisa dibereskan. Saya pernah dibelikan robot oleh
Bapak di hari ulang tahun kesembilan setahun lalu, dan itu rusak di tangan
Maria. Saya sudah peringatkan dia bahwa itu punya saya. Saya lelaki, maka saya
main robot. Dan kamu, Maria, kamu perempuan, maka kamu main boneka. Tapi dia
tak mau dan melawan. Dia rebut mainan robot-robotan saya dan membantingnya
sehingga rusak.
Ibu putuskan, otak anak ini
rusak, paham? Saya mengangguk. Tapi saya tidak bisa menahan diri untuk tidak
membayangkan, suatu hari nanti, saat Maria sedang tidur, saya diam-diam masuk
kamar dan membawa gergaji. Saya gergaji tempurung kepalanya, lalu saya perbaiki
otak Maria. Siapa tahu ia tidak lebih rumit dari sebuah robot.
Niat itu memang sesekali
muncul dan menganggu tidur saya. Sampai mimpi buruk beberapa kali menyambangi
berupa genangan darah di kamar Maria dan tempurung kepala itu kambang persis
perahu di tengah danau keramat. Saat bangun, saya kira saya memang harus
melakukannya. Saya bayangkan Maria benar-benar sembuh dengan cara ini. Saya
tidak tahu cara apa lagi yang bisa dilakukan demi membereskan otaknya yang
rusak.
Maria sungguh kacau dan
membikin repot banyak orang. Di rumah, tidak ada yang mau berteman dengannya
selain saya. Melihat Maria, bahkan anjing-anjing peliharaan Om Rudolf, tetangga
kami, tidak sudi dekat-dekat. Mereka semua tertunduk-tunduk dan lari ke tempat
jauh. Saya tahu anjing-anjing itu lumayan galak kepada saya dulunya; pernah
saya dikejar sampai beberapa ratus meter. Maria yang bodoh dan tolol mencoba
melindungi saya dari mereka.
Katanya,
"Anjing-anjing neraka, pergilah!"
Dia ambil berbongkah batu
dan menyikat empat anjing itu. Satu di antaranya mati dan lainnya menyerang.
Tak kalah gesit, Maria buru-buru mengambil pisau di saku dan melempar persis ke
jidat satu ekor anjing, yang kemudian kejang-kejang dan ikut mati. Dua anjing
tersisa, sejak itu, entah kenapa, seperti dirasuki roh pengecut bila melihat
saudaraku yang gila lewat. Tetapi itu harus dibayar dengan rusaknya relasi
antara Ibu dan Om Rudolf. Padahal, kami serumah tahu, kepada lelaki itulah
kadang Ibu berutang beras.
"Kamu anak sial! Anak
sial!" teriak Ibu sambil memukuli pantat Maria. "Kenapa kamu bunuh
sih anjing-anjing itu!"
"Itu anjing-anjing
setan, Ma! Anjing setan!" sahut Maria; ia menangis keras-keras. Saya
menutup kuping karena tidak tahan. Bila anak itu menangis, dunia berguncang.
Segala perabot di ruangan tengah seperti bergetar oleh suara kencang Maria.
Saya tidak tahan dan takut rumah kami sewaktu-waktu roboh.
Di sekolah, pernah Ibu
dimarahi kepala sekolah gara-gara Maria menggigit kuping seorang siswi hingga
nyaris putus. Masalahnya sepele: siswi itu tidak sengaja meludah dan kena
sepatu Maria di halaman kelas. Ia sudah minta maaf, saya tahu itu. Tapi anak
sinting itu tetap tidak terima dan mengajak duel. "Ayo, mau neraka? Anjing
setan!" Lalu terjadilah insiden itu. Untunglah orangtua siswi itu mau
berdamai. Kalau tidak, bisa-bisa Maria dipenjara.
"Dia tidak mungkin
dipenjara. Dia itu gila," kata teman saya.
"Kamu juga gila,
ya?" sahut teman lainnya.
"Tidak. Saya tidak
gila. Saya waras," kata saya.
Mereka tidak percaya dan
bilang saya juga gila, tetapi dari jenis lain. Kalau Maria gila dari jenis
terang-terangan, tidak segan melukai, atau bahkan mungkin membunuh musuhnya—karena
itulah tak ada yang sengaja bikin masalah dengannya—maka saya pengidap kegilaan
dari jenis munafik.
Seorang teman tertawa
mendengar teori serampangan itu; ia bertanya: "Gila dari jenis munafik itu
yang gimana, sih?" Pengaju teori jawab: gila itu adalah gila yang
bisa membunuhmu di saat tidur.
Mereka tertawa dan mulai
membahas kerangkeng untuk saya dan Maria. Mestinya sekolah tidak menerima kami
di kelas yang dihuni anak-anak normal. Mestinya—begitu kata mereka lagi—saya
dan Maria diletakkan di gudang sekolah yang kotor dan penuh tahi tikus, dan
dipasung di sana sampai mati. Kalau kami yang mati, menurut salah satu temanku,
tidak masalah. Toh juga gila. Mati tidak mati, sama-sama bikin repot.
Saya diam dan tidak
membalas ucapan mereka. Tetapi, di dalam dada ini tumbuh ular berbisa, juga
anjing-anjing liar yang menggeram dan siap menerkam siapa saja di malam hari.
Hewan-hewan itu jahat dan dada saya mendadak penuh oleh rasa sakit.
Saya tidak tahu apakah
benar hal-hal semacam ini juga gejala kegilaan. Tidak, saya tidak bicara pada
Ibu karena takut melukai hatinya. Di rumah juga tidak ada orang lain selain Ibu
dan Maria. Bapak kami mati beberapa bulan lalu, dengan cara yang sangat aneh:
dibunuh siluman anjing. Kami—saya dan Ibu—tentu saja tidak berpikir sejauh itu.
Tapi Maria sangat yakin dan berusaha membuat saya percaya juga bahwa Bapak mati
di tangan siluman anjing.
"Anjing itu keluar
dari sumur, kamu tahu? Sumur di belakang rumah kita. Di sana, di bawah sana, di
dasar sumur yang gelap dan hitam, ada neraka jahanam. Kita jangan main dekat
situ. Nanti kecebur dan masuk neraka!" kata si gila yang buat saya
ketakutan setiap malam. Saya takut, sesuatu memang benar-benar keluar dari
lubang sumur dan menerkam kami satu per satu: Ibu, Maria, dan saya!
Dan besoknya, kami
sekeluarga ditemukan tewas. Tidak ada tangisan, karena di sini tidak ada
simpati. Maria terlalu sering membuat kekacauan.
***
Saya membayangkan suatu
hari Maria sembuh karena usaha saya mengoperasinya: membuat otak anak itu
beres. Mungkin, dengan sebilah gergaji, saya lepas tempurung kepala anak itu,
lalu saya ambil otaknya dan membawanya ke bengkel. Di gudang ada alat
bertukang. Saya bisa mencari bagian-bagian yang putus di otak itu, semacam
kabel atau entah apa, dan saya selotip itu, hingga Maria waras. Lalu dia
mendatangi rumah tetangga kami satu-satu dan minta maaf dan tentu saja bilang,
"Saya sudah waras!"
Dunia akan berbeda dan
tidak ada lagi anjing-anjing setan.
Oh, Ibu pasti senang
mendengarnya!
Tapi setiap masuk kamar
Maria dan melihat wajah tololnya menganga oleh mimpi yang entah apa—saya sering
menduga anak itu bermimpi mermeluk anjing-anjing dari neraka—saya pikir Maria
bisa mati akibat usaha saya. Kalau dia mati, saya tentu bisa ditangkap dan
dipenjara, karena saya waras. Ibu akan sedih dan jadi sebatang kara. Dan para
tetangga bersorak, "Hore!"
Saya jadi bimbang dan
sedih. Bimbang mengambil keputusan ini atau tidak. Sedih karena tahu hari-hari
Maria tidak akan berbeda kalau saya tidak mengambil risiko: di rumah, di
sekolah, di tempat umum, di mana-mana, ia bikin kacau dan malu. Saya dan Ibu
yang menelan akibat, sedang si sinting itu tidak sadar; ia akan terus berbisik
entah pada siapa dan terus menari dan bernyanyi dengan boneka babi di tangan.
Ia akan begitu sampai kiamat, kalau dia tidak mati. Dan barangkali Maria akan
selamanya begitu saat kelak, suatu hari nanti, ia mati dan pergi ke neraka.
Suatu malam Maria mendobrak
pintu kamar saya dan berbisik-bisik bahwa di luar sana, dari sumur, keluar
seekor siluman. Saya tidak percaya. Dia menarik saya dan menjerit-jerit. Ibu
mati dibunuh anjing laknat, katanya. Saya ke kamar Ibu. Di sana Ibu sudah mati;
kamar banjir darah dan lehernya koyak-moyak sebagaimana habis diterkam anjing.
Mengambil senter, saya cari-cari anjing itu ke sekeliling rumah, tapi tak
ketemu.
"Di mana anjingnya?"
tanya saya pada Maria.
"Tidak tahu... Ngg...
Tidak tahu." Ia menggeleng gugup.
"Kamu yang benar dong!
Di mana sih?!"
Maria tidak menjawab dan
lari. Saya kejar dan saya guncang tubuh gendutnya. Dia bilang, "Kamu
anjingnya! Kamu!" Saya jengkel dibilang anjing. Tetapi dia saudara saya.
Saya tidak akan melukai. Maria bergidik dan mengusir saya dari kamarnya. Ia
menjerit tak keruan sampai tembok kamar nyaris roboh ketika mendorong tubuh
saya yang basah oleh keringat. Ia menarik kedua tangan cepat-cepat dan
memandangi warna merah di telapaknya.
Saya baru sadar, tubuh saya
bukan basah oleh keringat, tetapi darah. Maria terus berteriak, "Kamu
anjingnya! Kamu!"
Saya ke dapur dan melihat
gergaji itu berlumur darah. Saya minta maaf pada Maria dan memohon agar
diizinkan membereskan otaknya. Dialah yang membunuh Ibu, bukan saya. Dialah
anjing silumannya, bukan saya.
Dada saya mendadak sakit
luar biasa. Ular berbisa dan anjing-anjing liar yang siap menerkam siapa saja
di malam hari itu menyeruak entah dari mana. Mereka mengepung kami dari
berbagai arah. Maria menutup kuping dan menangis sesenggukan. Saya ambil
gergaji, tapi telat. Anjing-anjing lebih dulu merubung saya dan ular berbisa
mematuk jidat Maria berkali-kali. Anak itu roboh. Tak lama, darah mengucur deras
dari leher saya. Saat itu, saya dengar Ibu berkata, "Jangan ganggu Maria!
Bereskan dulu otaknya kalau kamu mau ajak main!"
***
Dia, masih dengan boneka
babi di tangan kiri, terus menerus berbisik entah kepada siapa. Sementara
antrean mengular, ia asyik berdialog tunggal. Tapi di sini, orang tidak peduli.
Semua saling berbisik. Saya tidak tahu bagaimana kami kemari. Kepada orang di
ujung antrean, ketika saya dan Maria sampai depan, di dekat dua buah pintu,
saya bertanya: "Di mana, ya, Om?" Ia tak menjawab dan menuding pintu
itu. Di sana tertulis: 'Surga' dan 'Neraka'. [ ]
Gempol, 3-12-15
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi,
cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya tersebar di berbagai media lokal dan
nasional.
Seperti biasa karya mas Ken bernuansa surealis, gelap, dan mistis. Tapi sangat bagus.
ReplyDelete