Skip to main content

Posts

Showing posts with the label esai

Andai Anakku Ingin Jadi Presiden

    Melihat baku hantam di sosial media terkait pilpres 2019 yang seakan tiada henti bahkan setelah pencoblosan usai, membuat saya terpikir sebuah solusi untuk masa depan yang cerah bagi anak cucu kita kelak. Saya tidak bicara soal janji-janji capres. Saya juga tidak bicara isu sensitif semacam kebangkitan komunis atau khilafah. Terlalu berat.     Saya cuma memikirkan diri kita kalau kelak punya anak, lalu bayi-bayi yang kita hasilkan itu tumbuh menjadi orang-orang yang membuat masa depan netizen di negeri ini terjebak (lagi) dalam baku hantam yang sungguh tak perlu hanya demi urusan pilpres; tidakkah itu mengerikan?     Sebagai manusia, kita ingin memproduksi keturunan-keturunan berkualitas dan berguna bagi keluarga, nusa, bangsa, agama. Kita ingin anak-anak kita tumbuh menjadi orang yang lebih baik ketimbang kita. Maka dari itulah, pikiran saya yang melompat jauh ke beberapa tahun ke depan berbunyi begini: pada tahun itu, saya menikah dengan orang yang saya sukai, lalu jika

[Esai]: "Membaca Membuka Jendela Dunia" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Rakyat Sultra edisi Senin, 15 Mei 2017) Membaca membuka jendela dunia. Ungkapan ini sudah sering kita dengar, tapi di kehidupan nyata, tidak semua dari kita mampu menerapkan makna sebenarnya di balik ungkapan tersebut. Ini didasari oleh mindset yang sejak awal sudah salah. Barangkali kita bisa dengan mudah menyebut 'membaca itu untuk membuka jendela dunia ', tapi faktanya kita sendiri enggan menghabiskan waktu untuk membaca, karena beberapa faktor seperti malas, tak ada waktu, dan sebagainya. Dari kebiasaan, akhirnya timbul halangan tersendiri di diri kita, bahwa membaca itu bukan hal utama dalam hidup atau bukan sesuatu yang bersifat universal. ' Membuka jendela dunia ' pun jadi sekadar suatu ungkapan yang hanya betah berkelindan di bibir, tanpa pernah diterapkan di kehidupan sehari-hari. Kenyataan di lapangan menunjukkan betapa sebagian mahasiswa atau guru justru tidak punya hobi membaca. Mindset membaca sama dengan belajar, atau membaca adalah tuga

[Esai]: "Kita Hidup dalam Bilik Zaman" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Rakyat Sultra edisi Sabtu, 5 November 2016)   Generasi muda saat ini hidup di dalam bilik-bilik pembatas zaman. Maksudnya, di antara generasi satu ke generasi lainnya selalu ada pembatas yang membedakan. Semasa saya kecil, misalnya, dapat dengan mudah ditemukan bocah-bocah bermain berbagai permainan tradisional. Namun, hal tersebut amat susah kita temukan di zaman serba gadget ini. Dahulu anak-anak lebih merasa takut berbuat salah, ketimbang hari ini, seakan itu dosa yang harus dihindari. Jikapun tak terhindarkan, harus "tidak boleh ada yang tahu". Dahulu, jika anak-anak berbuat salah dan ketahuan, kemudian ditegur oleh orang yang lebih tua, pasti menunduk dan tidak berani menatap mata si penegur. Beda dengan hari ini. Kondisi sebaliknya lebih banyak kita temui, meski tidak semua begitu. Anak-anak lebih "lepas" dalam membantah dan berargumen. Perkembangan pola pikir manusia dari waktu ke waktu berpengaruh besar. Itu bermula dari berkembangnya te

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

Barang Enak vs Barang Enek

Dalam dunia literasi, seorang penulis atau pengarang aslinya tidak butuh pujian, karena pujian itu enak seperti sate kambing, atau setidaknya seperti ditraktir makan tiga kali (walau lauknya tempe penyet). Sate kambing jelas rasanya enak, bagi yang suka. Bagi yang tidak suka, silakan ganti kata-kata di atas dengan sate ayam, sate bebek, sate sapi, atau sate apa saja, terserah. Intinya semua jenis sate, atau masakan apa pun yang dimasak dengan baik dan berharga mahal, pasti rasanya enak to? Sedangkan, ditraktir tempe penyet tiga kali itu kebiasaan orang Indonesia. Percaya nggak percaya, itulah kita, karena kita suka yang gratis-gratis, walau agak kampungan. Sudah, tak usah dibikin ribut gimana-gimana, wong saya tentu tidak berhasrat mengatakan tempe itu kampungan atau sate kambing itu bangsawan. Yang saya bilang adalah: pujian itu enak banget, dan kalau diberikan secara cuma-cuma, kita bisa ketagihan. Tapi jangan salahkan kalau nanti yang sampean dapat ujung-ujungnya cuma b

Dunia Mie Instan

    Sadar atau tidak, kebiasaan makan mie instan sejak kecil sangat berdampak buruk bagi kesehatan. Salah satunya membuat kita terbiasa suka sama yang instan-instan. Lho kok bisa? Ya, bisa saja. Padahal semua yang serba instan membuat hidup kita tidak sehat seperti dulu. Tapi, kebanyakan orang suka yang instan-instan. Kenapa? Saya juga heran. Why?         Baru-baru ini ada wanita berinisial AA tertangkap. Sebagai orang yang doyan sama serba-instan, Mbak AA "si tukang bersih-bersih kamar" pejabat ini pasang tarif minimal 80 juta rupiah per jam untuk jasanya. Tentu banyak yang ribut, terutama netizen yang suka komen sana-sini, bahwa yang demikian sungguh ajaib. Dalam profesi tertentu, untuk dapat uang sebanyak itu harus banting tulang dulu sampai mencret baru kesampaian. Itu pun kalau sanggup. Kalau enggak, paling-paling ambeien.

Berkelana Bersama "Rembang Dendang"

"Puisi adalah setiap hela napas dan gerak lakunya," begitulah kalimat yang selalu berputar dalam kepala saya. Terlebih ketika bertemu dengan orang-orang yang mampu mengangkat realita beserta alam imajinasinya ke dalam bentuk puisi yang ajaib. Salah satu orang itu adalah Denni Meilizon.