(Dimuat di Rakyat Sultra edisi Senin, 15 Mei 2017)
Membaca membuka jendela dunia. Ungkapan ini sudah
sering kita dengar, tapi di kehidupan nyata, tidak semua dari kita mampu
menerapkan makna sebenarnya di balik ungkapan tersebut.
Ini didasari oleh mindset yang sejak awal
sudah salah. Barangkali kita bisa dengan mudah menyebut 'membaca itu untuk
membuka jendela dunia', tapi faktanya kita sendiri enggan menghabiskan
waktu untuk membaca, karena beberapa faktor seperti malas, tak ada waktu, dan
sebagainya.
Dari kebiasaan, akhirnya timbul halangan
tersendiri di diri kita, bahwa membaca itu bukan hal utama dalam hidup atau
bukan sesuatu yang bersifat universal. 'Membuka jendela dunia' pun jadi
sekadar suatu ungkapan yang hanya betah berkelindan di bibir, tanpa pernah
diterapkan di kehidupan sehari-hari.
Kenyataan di lapangan menunjukkan betapa sebagian
mahasiswa atau guru justru tidak punya hobi membaca. Mindset membaca
sama dengan belajar, atau membaca adalah tugas sekolah, atau bahkan membaca
hanyalah usaha menghasilkan nilai-nilai akademik, menempatkan posisi 'membaca'
ke kedudukan yang tidak terjangkau di mata sebagian orang. Membaca pun lantas
dianggap sesuatu yang formal belaka, yang perlu dilakukan demi tujuan akademik
semata, dan tidak lebih dari itu.
Padahal, membaca lebih luas ketimbang itu. Membaca
bisa dilakukan oleh siapa pun dan kapan pun, serta di mana pun. Bahkan, membaca
tidak melulu soal mempelajari apa yang kita perlu dapat di sekolah atau
universitas, dan membaca juga tidak melulu kegiatan berwatak formal. Membaca
bisa saja sarana hiburan atau sesekali ia juga bisa menjadi cara untuk
menyelesaikan suatu masalah dalam hidup bagi sebagian orang.
Begitu banyak buku bacaan diproduksi tiap tahun,
dari berbagai genre dan segmen pembaca, yang sayangnya tidak kita semua
sadari bahwa buku-buku tersebutlah jendela yang sering kita sebut dalam
ungkapan sepintas lewat. Pasalnya, buku-buku ini seolah hadir tanpa sepenuhnya
dipahami maksud kehadirannya, hanya karena kita yang sering kali salah menilai
esensi kegiatan membaca.
Membaca jelas harus dilakukan dengan buku.
Bukankah buku-buku yang ada tidak melulu bersifat formal dan akademis? Mindset
yang salah, yang menganggap membaca tidak lebih dari bagian utama dari
kegiatan formal, menggeser makna sejati dari jendela dunia yang kita
dengungkan.
Bayangkan saja bagaimana jadinya jika kita
berpikir kalau membaca cuma untuk mengejar sesuatu yang bersifat akademis?
Alangkah sangat membosankannya kegiatan membaca itu, bukan? Dan alangkah banyak
yang akan jadi tidak tertarik pada kegiatan membaca, bukan?
Buku bersifat universal. Membaca juga universal.
Maka, mindset yang perlu segera kita perbarui dalam memahami kegiatan
membaca adalah bahwa membaca itu sama saja dengan menyatu pada setiap bagian
dunia. Dan tentu saja, menyatu itu bisa dilakukan dengan segala macam cara.
Buku-buku adalah rangkuman segala yang ada di alam
semesta. Buku-buku adalah pembawa segala macam ilmu. Tugas kita memilih buku
mana saja yang dapat kita baca, dan tentu inilah satu-satunya upaya yang perlu
kita lakukan agar membaca benar-benar dapat menghasilkan faedah. Maksudnya,
tidak semua buku berisi hal positif, karena tak ada manusia yang sempurna.
Tentu saja, dari semua bacaan positif yang kita
pilih, atau yang bahkan disodorkan oleh teman atau kerabat, banyak yang bisa
dinikmati tanpa membuat kita 'merasa' formal. Di dunia ini, buku-buku tak hanya
ada di perpustakaan sekolah atau universitas. Di mana pun kita berada,
buku-buku selalu mudah ditemukan. Pada akhirnya kita pun dapat menikmati
kegiatan membaca setelah menyadari bahwa membaca sama dengan meraba setiap
jengkal dunia, dan bukan sebatas usaha mengejar sesuatu yang sifatnya akademis.
Kalau saja mindset itu bisa kita perbarui,
esensi membaca yang paling sejati pun akan nampak. Kita akan melihat dengan
terang benderang tanpa ada sedikit pun noktah, betapa membaca memang sangat
dibutuhkan oleh semua dari kita, bahkan sebagian kita yang anggap saja membenci
kehidupan sekolah yang formal. Memang begitulah dunia yang penuh warna.
Dengan memahami esensi membaca paling sejati ini,
kita tak sekadar memelihara ungkapan 'membaca adalah membuka jendela dunia'
sebatas di bibir saja, tetapi juga akan selalu menerapkannya di kehidupan
sehari-hari.
Dengan demikian, manfaat buku-buku yang ada di
lingkungan sekitar pun akan termaksimalkan, sehingga dunia menjadi jauh lebih
baik. Bukankah dengan memahami segala macam ilmu, hidup kita akan menjadi lebih
baik? Kita pun benar-benar mampu membuka jendela dunia dan tidak sekadar lihai
bermain ungkapan. [ ]
Gempol, 9 Maret 2017