Skip to main content

Posts

Showing posts from December, 2015

Bahagia ala Mahmud dan Joni

Suatu ketika saya pernah menyewa rumah bersama beberapa kawan di kawasan Jaksel. Kami memberlakukan sistem patungan. Ketika itu kami pikir cara ini lebih hemat ketimbang per orang sewa kamar kost masing-masing. Di kawasan itu, rata-rata per kamar dibandrol 500 ribu per bulan (tahun 2010). Bagi kami yang hidup di tanah orang, jauh dari keluarga, jumlah itu lumayan besar. Maka ketimbang menyewa kamar, lebih baik sewa rumah sederhana saja, seharga 600 ribu per bulan, untuk berlima. Rumah itu cukup nyaman dan layak, meski dekat dengan kebun. Tentu saja, selain fasilitas air bersih dan listrik gratis, kami juga bebas memancing lele di depan. Di rumah inilah saya kenal seorang perantau asli Minang, sebut saja Mahmud (bukan nama sebenarnya). Dia tidak tinggal di rumah ini, tetapi sekali waktu mampir, sekadar membawakan nasi kotak dari lokasi shooting yang ia bawa untuk sahabatnya, yang tinggal serumah dengan saya. Tetapi kadang-kadang Mahmud juga kemari untuk ngobrol dengan saya.

[Cerpen]: "Biar Tidak Masuk Neraka" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: dedent2.rssing.com (Dimuat di Radar Banyuwangi, Minggu, 27 Desember 2015) Wajah itu tidak asing. Seperti terbenam di kepala saya, dulu, beberapa tahun silam. Hanya saja, saya tidak terlalu yakin. Maka saya duduk saja, sambil menyesap kopi, atau sesekali meladeni omongan Japri, teman saya—soal politik ibu kota tak berguna—serta tentu saja, mencuri pandang ke seberang. Pagi baru datang. Matahari menepis wajah itu. Beberapa mobil mulai melintas dan saya terlindung dari tingkah pola mengamati. Sebatang sigaret terselip di bibir. Sekejap terseret ke masa lalu, suatu masa ketika sering kali hati kembang kempis melihat tubuh seorang gadis. Dia, wajah itu, tak sadar sepasang mata saya meng- copy setiap detailnya ke dalam otak. Mencari pembeda dari masa lalu. "Korek?" Japri menyodorkan pemantik. "Hmm."

[Cerpen]: "Maria ke Pantai" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Analisa Medan, Minggu, 27 Desember 2015) 1/ Dari sini, kapal-kapal mengapung; mereka datang dan pergi begitu saja tanpa kata. Setiap hari, sepanjang tahun, sejak beribu-ribu tahun lalu. Seperti saya dulu yang tanpa kata. Saya pernah hidup di tubuh lelaki gagah. Itu dulu, memang. Kini, di tubuh baru, saya hanya bisa menunggu dalam bisu dan mati. Maria kekasih paling setia. Dia tidak pergi ke mana-mana, kecuali ke desa dekat pantai untuk melihat anak-anak kecil. Pagi hari ia duduk-duduk di teras sebuah sekolah dan tersenyum seorang diri, sementara anak-anak belajar dalam kelas dengan suara yang teramat nyaring: alphabet, berhitung, pelajaran moral, dan lain-lain. Maria hanya akan membayangkan anak-anak itu menjadi miliknya. Tentu saja, tanpa perlu membaur, atau sekadar jadi perhatian seisi sekolah, apalagi menculik mereka. Maria tidak sekejam itu.

[Cerpen]: "Bukan Saidjah" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Harian Umum Koran Padang, Sabtu, 26 Desember 2015) Tersebutlah pemuda bernama Saidjah. Aku tahu, namaku tidak seburuk atau seaneh itu. Laki-laki bernama Saidjah? Apa yang kau pikirkan tentang laki-laki muda semacam itu? Dia sejak kecil sudah saling mencinta dengan Adinda. Kalau aku, baru mengenal cinta saat dewasa. Baik, baik ... aku tidak akan membandingkan Saidjah denganku. Mereka—Saidjah dan Adinda—sama-sama tinggal di desa pada zaman penjajahan. Saat itu pejabat Belanda dan bangsawan pribumi suka sewenang-wenang. Singkat cerita, kerbau milik Saidjah, harta paling berharga keluarganya, dirampas pejabat culas. Lalu bapaknya sakit jiwa dan meninggal. Ibunya juga meninggal karena sedih.

[Cerpen]: "Maria Pergi ke Hutan" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Suara NTB, Sabtu, 26 Desember 2015) Maria lama-lama bosan mengerjakan tugasnya: mendorong saya di ayunan. Saya bilang, "Dasar gendut pemalas. Mendorong begitu apa susahnya?" Dia marah dan janji tidak mau ketemu saya lagi. Setelah membanting piring, dia benar-benar pergi. Saya tidak yakin Maria pergi lebih dari tiga jam. Biasanya, kalau dia marah, paling sembunyi ke hutan di belakang rumah. Kalau hari sudah tenggelam, dia pasti balik dan menangis dan minta maaf tidak akan menentang lagi. Pada saat itu, penampilan Maria sangat compang-camping.

Pencapaian Tahun Ini dan Resolusi Tahun 2016

Tahun ini tahun paling beda. Suatu ketika, Januari 2015 lalu, saya tak pernah membayangkan akan terjadi lompatan kedua, setelah sejak setahun lebih sebelumnya (sejak medio 2012) saya menikmati berjuang di satu arena. Sejak awal saya lebih sering mengirimkan tulisan saya (kebanyakan cerpen) untuk dilombakan. Mengirim ke media tentu saja saya coba, namun tak sesering untuk lomba. Sebagian naskah yang dilombakan itu mendapat juara atau nominasi, namun sebagian gagal. Itu wajar dan saya semakin mantap memegang tuas gas agar ke depan apa yang saya lakukan kelak membuahkan hasil yang lebih nyata. Tidak apa walau kecil-kecil dulu. Namanya juga berproses. Begitulah saya menikmati proses itu. Sampai Januari 2015, saya tetap sama semangat dan motivasinya, meski mendapat hadiah-hadiah yang lumayan membuat orangtua tidak lagi menganggap kegiatan menulis saya cuma main-main, apalagi ikut-ikutan. Saya tidak pernah suka ikut-ikutan dari dulu. Contohnya saja, belasan tahun lalu, ketika saya m

Pak Ipin dan Kebetulan yang Ajaib

Suatu hari beberapa tahun yang lalu, di salah satu lokasi shooting sinetron dan FTV yang biasa disebut Persari, saya kenal seorang bapak-bapak. Beliau humoris dan kocak, walaupun wajahnya persis orang Jepang yang galaknya minta ampun. Saya tidak tahu kapan pastinya dan bagaimana bertemu beliau, sampai suatu hari bersama seorang kawan yang wajahnya mengingatkan saya pada pemain sepak bola Jerman, Oliver Khan, saya main ke salah satu sudut Persari untuk ikut shooting dan mulai akrab dengan bapak-bapak itu. Beliau biasa saya panggil Pak Ipin dan sejak itu sering saya ajak bercanda. Tapi tentu saja, karena beliau mungkin sepantaran ayah saya, candaan-candaan saya pun ada batasnya. Saya menghormati beliau, meski saya lihat beberapa teman membuat candaan seolah Pak Ipin ini teman sebayanya.

[Cerpen]: "Para Perasuk" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Suara Merdeka, Minggu, 13 Desember 2015) Mohon maaf, cerpen ini sengaja dihapus karena dimasukkan ke dalam buku terbaru saya yang berjudul Museum Anomali . Buku tersebut berupa kumpulan cerpen bertema horror kontemporer. Jika ingin membaca cerpen ini, yang juga akan dihimpun bersama cerpen-cerpen lainnya (baik yang sudah terbit atau belum dipublikasikan sama sekali), se gera pesan buku tersebut. Harga 49 ribu belum termasuk ongkos kirim Terima kasih. :)  Untuk pemesanan Museum Anomali, bi sa klik Tentang Penulis

[Cerpen]: "Terlarang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Banjarmasin Post, Minggu, 13 Desember 2015) "Apa yang kamu katakan, seandainya saya pergi malam ini?" Pertanyaan itu tiba-tiba terucap begitu saja dari bibirnya. Angin berembus tenang. Tidak serupa diriku, yang gugup dan mencoba lari dari kenyataan. Dari sini, kerlip belasan lampu di kejauhan tampak seperti tak acuh, namun mengintip. Suatu sikap khas penggunjing. Seolah-olah titik-titik putih itu adalah berpasang mata yang siap merekam apa yang kami bicarakan, untuk kemudian disebar menganut arah semilir di pantai tempat kami bertemu. Andai aku berubah, misalnya, bukan lagi sebagai diriku yang sekarang. Bukankah waktu bisa mengubah segalanya? Tanpa menagih jawab, ia raih korek dari saku jaketnya. Sepintas melirik, kendati tanpa penerangan cukup, karena kami memilih tempat remang, aku tahu jaket itu masih berarti. "Masih kamu pakai?" Cuma itu yang kuucap.

[Cerpen]: "Mugeni Ingin Menjadi Malaikat" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Mojokerto, Minggu, 13 Desember 2015)   1/ Mugeni, dengan wajah merah membara, berlari-lari dan satu tangannya menunjuk langit. Ia sebenarnya sangat lelah. Kelopak matanya pun berair. Tapi, demi cintanya, apa pun dilakukan. Pertama, ia menjadi malaikat. Kedua, di sisi lain ia juga setan. Ketiga, ia tidak percaya Tuhan melihat kehadirannya. "Dasar sinting!" cibir orang-orang di depan warung, di sepanjang jalan tempat Mugeni berlarian. Dapat saya dengar itu dari sini. Saya melaporkan tidak jauh dari TKP (Tempat Kejadian Perkara), bahwa Mugeni, lelaki bujang lapuk, usia empat puluh sembilan, tidak punya rumah, nekat mengajukan lamaran pada seorang kembang desa, tetapi ditolak dan harus melakukan suatu syarat. Sarmila gadis itu, baru sembilan belas tahun. Masih segar dan wangi. Menurut informasi yang saya dapat dari penjual jambu kluthuk , Sarmila ini cantik persis bintang iklan sabun mandi. Atau, malah lebih dari itu. "Lho, Mas, kalau belum perna

[Cerpen]: "Romansa Mugeni" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 13 Desember 2015) Tidak ada yang lebih tragis ketimbang kisah cinta Mugeni. Bertahun-tahun ia coba merayu pujaan hatinya, tetapi bukan cinta yang didapat, melainkan diam. Adakah yang lebih tragis ketimbang sikap diam, bahkan sekalipun Anda ditolak perempuan berkulit buaya? Mugeni memang keras kepala, tetapi kebanyakan menyebutnya gila, kecuali saya. Saya sebut Mugeni setia, sehingga saya juga dianggap gila. "Orang gila kok Anda bela," kata warga. Tapi di sini kita tidak bicara soal saya, melainkan Mugeni. Jadi, biarpun saya dianggap gila oleh mereka, silakan saja. Toh segala bentuk peristiwa, bahkan yang paling celaka di desa itu, tidak mengubah apa yang sudah Mugeni janjikan.

[Cerpen]: "Bidadari Tersesat" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Solopos, Minggu, 6 Desember 2015)     Rambut gadis itu panjang, lebat, dan hitam. Jatuh menjuntai, menutup punggung yang ramping. Sesekali berkibar ke kiri kanan, namun tak liar, sekadar bergoyang pelan seakan mengundangku melihat lebih lama. Pada saat itu, seandainya kau berada di sini, duduk bersisian denganku, kau akan menghirup aroma kesturi yang magis dan ganjil, seakan datang dari surga, membelai wajahmu manja dan membuaimu sampai tak sadar gelap merayap di sekitar mejamu. Dan, tentu saja, kau bangun saat malam menempel bulan di langit. Alangkah dingin saat itu, tapi tak seorang pun membangunkanmu!     Soal penilaian itu—maksudku, punggung yang ramping itu—terbit dari pandangan kira-kira satu menit yang lalu, sebelum ia di bawah pohon kelapa berdiri kaku menatap barat. Ia memang sempat menoleh utara, seolah mencari kawan; barangkali ia membikin janji, entahlah. Tetapi, karena kawan yang dinanti tak jua tiba (mungkin saja, 'kan?), ia putus asa dan memutuskan

[Cerpen]: "Neraka di Kota Kami" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Lombok Post, Minggu, 29 November 2015) Setan-setan bermain balon di dasar neraka. Suatu kali, bila kau ke kota kami dan tersesat—atau katakan saja: terperosok —ke bawah sebuah jembatan, maka pada saat itu kau tiba di neraka yang dimaksud. Setan-setan itu berbagai rupa. Seandainya saja kau percaya, bila kau manusia suci dan tak mungkin Tuhan membiarkanmu jatuh ke situ, ketahuilah bahwa setan ada dua macam: setan rupawan dan buruk rupa. Di dasar neraka, setan-setan segala rupa berkumpul di suatu ruang. Tak ada tembok, kecuali sekat-sekat yang dibuat dari potongan benda tipis serupa tripleks, serta ada yang sekadar kain lusuh disampir ke batang-batang pepohonan yang terbakar, lantas menjadi serupa arang. Semua sekat membentuk bilik-bilik.