Skip to main content

Posts

Showing posts from August, 2017

[Cerpen]: "Bus Menuju Peradaban" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Suara Merdeka edisi Minggu, 27 Agustus 2017)       Seandainya semua bus di dunia hilang, apakah mungkin Mariana masih pergi dari sini? Aku tidak dapat membayangkan sepelik apa urusan mereka yang senang mencari masalah, tetapi enggan menghadapi dan lebih memilih lari, jika semua bus di dunia ini hilang?     Seandainya itu terjadi, aku tentu senang. Ketika bus-bus tersebut mendadak lenyap, mereka yang akan lari dari tanggung jawabnya akan berpikir ulang, "Kiranya aku dapat mencuri mobil!"     Barangkali kesialan macam itu tidak terjadi di tempat lain, tapi aku tahu, di dusun ini, kekayaan adalah hal mustahil, kecuali seseorang membawa ilmu sihir di tubuhnya. Sayangnya, orang-orang terlalu beriman untuk tidak tahan terhadap godaan yang tidak terlalu berpengaruh dalam hidup mereka. Sebuah mobil, misalnya, tidak akan memiliki arti di sini, di suatu dusun yang bahkan untuk mengayuh sepeda pun tidak semulus yang kita bayangkan.

[Cerpen]: "Biar Hilang Ditelan Bumi" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Malang Voice, 27 Agustus 2017)       Aku berharap di sekitar sini, suatu hari nanti, terjadi gempa bumi, sehingga kerak bumi retak dan menelan Jeni ke dalamnya. Aku benar-benar berharap kejadian buruk itu terjadi, meski mencintainya.     Sebenarnya sejak lama aku mencintai Jeni, tapi kurasa dia tak terlalu suka padaku. Dia selalu mengabaikanku di depan orang-orang dan memaksaku merahasiakan seluruh hubungan kami. Tentu saja, 'seluruh' seharusnya kurang tepat, tetapi karena Jeni punya penyakit, kadangkala aku harus berperan menjadi sosok yang lain.

[Cerpen]: "Doa Imo" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Fajar Makassar edisi Minggu, 27 Agustus 2017)       Imo tahu, ia tidak mungkin lari dari para bocah. Pikirnya, dasar bocah kurang ajar. Padahal sekolah, tetapi kelakuan seperti ini? Tentu saja ia tidak berani bicara, atau sebut saja tidak sanggup. Kalaupun bicara, juga tidak akan didengar para bocah itu. Imo cuma ditendang, disiram air es, dan diludahi. Berbagai ledekan datang bertubi-tubi.     Imo berjalan dan terus berjalan, meski kakinya pincang. Ia menyisir pinggir jalan raya, dan anak-anak tadi masih membuntut. Satu atau dua melempar kerikil. Tetapi yang lain kotoran sapi. Di dekat situ memang ada kebun dan kandang. Kebetulan sekali. Imo merasa hujan bakal turun dan semoga saja bocah-bocah biadab itu pulang, sehingga ia bisa berteduh sekalian di kandang.     Tapi, brengsek. Mereka tidak pulang dan merebut tempat berteduh yang di-booking Imo dalam pikiran. Memang susah kalau segala ucapan hanya mampir di kepala, belum sempat keluar. Lagi-lagi, kalau keluar, bukannya

[Cerpen]: "Menelusuri Identitas Lely" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Bromo edisi Minggu, 20 Agustus 2017)       Mudakir berkenalan dengan seorang gadis yang kemudian dia cintai diam-diam. Ia, si gadis itu, tidak bernama. Mudakir tidak peduli meski gadis itu bersumpah tidak akan pernah menyebutkan namanya kepada siapa pun di kota yang baru dia singgahi ini.     "Memangnya kamu datang dari mana?" tanya Mudakir.     "Sebuah tempat yang tidak ingin kamu bayangkan."     Maka, akhirnya Mudakir menyebut gadis itu Lely. Tentu saja nama itu tidak sama persis dengan nama asli sang gadis, dan gadis itu tahu Mudakir tidak akan pernah tahu nama aslinya. Tebakan itu hanya demi memudahkan lelaki itu saat memanggilnya.     Ketika kami bertemu, yang kuperhatikan dari gadis itu hanya rambutnya. Beberapa helai rambut panjangnya tampak putih seperti uban. Rambut panjang itu seharusnya bisa menjadi indah jika dirawat dengan benar. Lalu, aku curiga bahwa gadis ini mungkin tak cocok untuk Mudakir, karena mungkin dia bukan perempuan ba

[Cerpen]: "Lena dan Cintanya yang Keras Kepala" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Sumut Pos edisi Minggu, 20 Agustus 2017)       Lena mengajakku kawin lari, karena sudah tak tahan dengan desakan keluarganya yang memintanya menikah dengan orang selain diriku. Aku memang sadar betapa tidak ada kelebihan satu pun di diriku yang patut membuat Lena bangga. Bahkan seharusnya dia malu memiliki pacar sepertiku, yang tidak punya kerjaan tetap dan tidak jelas masa depannya. Hanya saja, sejujurnya aku juga mencintainya dan begitu pula Lena; tak ada di antara kami yang sanggup melepas satu sama lain. Aku pikir ikatan ini terjalin begitu kuat sejak hubungan haram itu kami gelar di suatu kasur di kamar kostku yang kusewa dengan upaya mati-matian,     Pada hari itu rasanya aku dan Lena telah menyatu dan sulit dipisahkan. Serasa ada tali temali gaib yang jatuh dari langit dan menjerat tubuh kami berdua, lalu kami bersatu menjadi satu badan dengan dua jiwa. Tentu saja ini agak berlebihan, mengingat tak ada di antara kami yang menyukai puisi. Aku hanya senang saja mem

[Cerpen]: "Mariana Memutuskan Mati" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Malang Post edisi Minggu, 13 Agustus 2017)       Mariana memutuskan mati. Ia sudah jengkel hidup sebagai penyanyi malam, yang tidak jarang menghadapi gerayangan lelaki nakal atau bos yang bilang performance-nya kurang inilah, kurang itulah—padahal ia tampil sebaik dan semaksimal mungkin, atau teguran tetangga kostnya yang dikenal suka bikin gosip, "Dapat om baru, nih?"     Kalau tidak salah, sudah empat tahun Mariana memendam rindu pada Ibu dan dua adiknya di kampung. Ia menjalani berbagai jenis pekerjaan, salah satunya penyanyi malam. Ia hibur pengunjung kafe dengan suara indah, sekaligus—kalau ada yang mau dan sanggup bayar—bisa diajak ke mana pun dari pukul 23.00 hingga sebelum subuh.

[Cerpen]: "Mampir" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Minggu Pagi, edisi Jumat, 28 Juli 2017)       Ben tidak ingin pulang buru-buru, karena gadis kenalannya mengajaknya mampir. Kami menumpang mobilnya dan mulai mengutuk dalam hati, "Betapa anjing kurap ini belum berubah!"     Semua selalu dalam pengawasanku. Bos meminta kami, aku dan Janus, mengawasi anaknya, Ben, yang sering berbuat ulah. Anak itu bukan semacam bayi yang tersesat di dunia baru, tetapi manusia dari golongan paling keparat yang bisa kau temui.     Gadis yang dikenal Ben di pesta malam itu adalah Sarmila, yang datang dari suatu desa jauh, yang pergi merantau ke kota dan terjebak di gemerlap dunia malam. Konon, Sarmila sukses dari memeras keringatnya tanpa ampun sebagai penyanyi, dan hasilnya adalah rumah mewah yang bakal kami sambangi.     "Kita tidak harus mengikutinya," bisik Janus dengan putus asa, sewaktu kami pergi ke tempat parkir. Ben berjalan di depan kami sambil membantu Sarmila karena gadis itu setengah mabuk.