Skip to main content

Posts

Showing posts from April, 2019

[Cerpen]: "Melahap Kenangan" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Selatan edisi Senin, 22 April 2019)     Sudah seminggu terakhir ini kulahap kenangan tua yang mendekam di lemari baju. Mereka, kenangan-kenangan itu, berupa kupu-kupu yang kuperangkap dalam botol air mineral. Botol-botol ini tentu kurawat bertahun lamanya, dengan harapan mereka dapat menyembuhkanku dari rasa rindu setiap waktu.     Itu dulu. Pemikiran bahwa kenangan tua yang tidak selalu manis dapat mengobati rindu, jelas salah besar, dan aku sadar itu baru-baru ini. Aku sadar betapa selama ini aku tenggelam oleh koleksi kenangan yang seharusnya kubuang sejak dulu.     Bagaimana aku yakin soal ini, adalah dari fakta yang kualami bahwa sejak terakhir kali ditinggal kawin pacarku, aku tidak pernah jatuh cinta, kecuali sekali, dan itu pun gagal. Setelah bertahun-tahun lewat, dadaku kosong melompong, dan bangsa setan pun mengisi waktu luang di sana. Setan-setan menguasaiku dan berbuat dosa lewat tubuhku, sebab itu bentuk balas dendam terbaik dari masa lalu.     Ka

[Cerpen]: "Makhluk Bernama Kenangan" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Fajar Makassar edisi Minggu, 21 April 2019)     Sekarang rumah benar-benar sepi. Aku juga ingin pergi setelah kematian suamiku, tetapi ada sesuatu yang menahan. Sepotong demi sepotong kenangan yang kami timbun di sini mulai hidup dan mencegahku. Aku tak tahu wujud kenangan, tapi ia terasa eksis, meski tak nampak, dan membuat banyak keanehan, sehingga rumah ini tidak mungkin kutinggal. Kenangan yang kumaksud membuat ukiran-ukiran aneh di tembok dekat ruang baca. Ukiran-ukiran tanggal dan hari-hari penting bersama Markoni, almarhum suamiku.     Mungkin aku gila, tapi itu terjadi setiap hari. Maksudku, setiap hari ada saja ukiran baru. Tidak cuma di ruang baca, tapi kadang-kadang di kursi ruang makan, atau bagian atas kayu dipan tempat tidurku. Jika ukiran-ukiran itu muncul setiap hari dan aku sadar aku tak bangkit dari tidur dan tak memiliki bakat membuat kerusakan, artinya kenangan ini benar-benar hidup.     Jadi, aku tidak meninggalkan rumah walau merasa sepi.

[Cerpen]: "Membuang Kutukan" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Bromo edisi Minggu, 14 April 2019)     Tubuhku sudah matang ketika hujan akhirnya turun. Orang-orang berbaris pulang dan tidak ada yang benar-benar ingin melihatku, kecuali segelintir orang yang terbilang pemberani. Mereka bertanya-tanya akan diapakan tubuhku?     Tak juga terdengar kesepakatan sampai hujan yang turun disusul petir menggelegar dan angin kencang. Di telinga warga barangkali saja telah tersebar kabar kematanganku dan mereka bersorak ria di rumah masing-masing, karena si pria pembawa sial ini telah mampus.     Hanya saja, di puncak bukit, mereka yang belum pulang terbenam dalam pikiran-pikiran keruh. Beberapa di antara orang-orang ini percaya, mengubur jasad gosongku di bukit tidak menyelesaikan masalah. Akan ada bencana, kata mereka, dan itu belum termasuk kematian-kematian yang terjadi pada siapa pun yang memusuhiku.     "Semua orang memusuhi Sapono," kata seseorang.     "Betul."     "Akan ada kematian bagi seluruh wa

[Cerpen]: "Sang Pemegang Kendali" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Solopos edisi Minggu, 14 April 2019)     Empat puluh tahun aku bergelut di bidang seni. Ribuan lukisan sudah kuhasilkan. Tapi, tidak ada satu pun dari mereka yang mampu memberiku kepuasan. Orang-orang di luar sana mungkin bilang, "Ali Sapono adalah seniman masa kini yang karya-karyanya akan terus menyihir setiap orang hingga kiamat nanti."     Buatku, semua itu sungguh omong kosong.     Tak ada sihir dalam karya-karyaku yang membuat hidup orang lain jadi jauh lebih baik atau membuat siapa pun merasa lebih rupawan atau malah lebih kaya. Sihir yang mereka maksud, tentu, berkaitan dengan kata-kata bual. Aku bahkan menyesal mencipta lukisan-lukisan itu. Mereka tak ada gunanya. Semua lukisan itu hanya terkesan sebagai kotoran yang kubuang dari tubuhku, seperti ludah atau air kencing atau bahkan tinja. Aku sama sekali tak membutuhkan mereka.     Aku tak ingat kapan pertama kali seseorang menghargai lukisanku sedemikian rupa. Aku hanya ingat bahwa dulu, saat masi

[Cerpen]: "Pengetahuan Baru Umat Manusia" karya Ken Hanggara

(Dimuat di basabasi.co pada 5 April 2019)     Suatu ketika, dunia berjalan dengan cara yang aneh. Tiap manusia mendapat mimpi tentang hari kematian mereka. Pengetahuan tentang maut, yang jauh sebelum masa saat dinosaurus berkelana di muka bumi akan selalu dirahasiakan, tiba-tiba saja menjadi cara bagi umat manusia untuk menentukan masa depan masing-masing.     Maut bukan lagi sesuatu yang paling ditakuti. Bahkan, kadang-kadang maut adalah teman sejati, jika kau dapati di sebuah mimpi seorang gadis kecil berbisik di telingamu dan yang kau dengar adalah angka seratus dua puluh, misal. Berapa banyak manusia di bumi ini yang mati pada usia seratus dua puluh?     Sebagian orang merasa sangat tidak beruntung, andai yang harus dihadapi hitungan hari. Beberapa hanya melamun jika mautnya datang hanya dalam beberapa jam, menit, atau bahkan beberapa detik ke depan. Orang-orang yang mendapat pengetahuan bahwa mereka akan mati dalam hitungan hari akan mencari tempat berdamai atau kadang jug

[Cerpen]: "Menjemput Gendis" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Mojokerto edisi Minggu, 31 Maret 2019)    Menjemput Gendis Oleh Ken Hanggara     Sengaja tidak saya dengarkan nasihat Ibu. Saya ke pasar menemui gadis penjaja kehangatan itu. Namanya Gendis, bukan nama asli. Saya tak pernah diizinkan membaca KTP-nya. Ia mengaku anak konglomerat yang bosan uang dan menjajal jalanan sebagai tempat berpesta. Sesekali ia bilang bahwa ia anak tukang becak yang mati dilindas truk, sehingga terpaksa berhenti sekolah dan di sini ia jual diri untuk hidup.     Tidak ada yang jelas soal kisah hidup Gendis. Ibu menolak bukan cuma perkara itu. Soal identitas dapat dicari. Lain dengan kesucian yang diobral ke mana-mana. Itu tidak mungkin dicari, apalagi dikembalikan ke asal, sebagaimana ketika seseorang kehilangan sandal.     Gendis memang sundal, tapi bukan sandal, kata saya. Dan dia manusia.     Ibu bilang, dengan amarah meluap, "Kalau kamu masih pengen mengawini Gendis, tidak usah anggap saya ibumu!"     Saya pergi malam itu