Skip to main content

Posts

Showing posts from August, 2019

[Cerpen]: "Mayat Anjing di Jembatan" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kurung Buka pada Minggu, 25 Agustus 2019) Kalau bukan karena ada yang menggantung mayat anjing di jembatan itu, aku tidak pulang membawa boneka Barbie dan sebungkus donat rasa cokelat buat anakku malam ini. Anjing mati tidak ada hubungannya dengan hadiah ulang tahun. Anjing mati hanya peristiwa biasa. Yang membuatnya tak biasa adalah: anjing itu digantung. * Aku nyaris putus asa dan memenuhi sumpah pada diri sendiri, bahwa mulai nanti malam aku tidak akan menyapa Tuhan. Akan kubakar kitab suciku dan kutetapkan sejak detik itu aku tak lagi bersembahyang.

[Cerpen]: "Tidur Terbaik" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Janang.id pada Minggu, 25 Agustus 2019) Malam ini aku harus menginap di rumah sakit demi menunggui mertuaku yang kini sedang menjalani opname. Sebenarnya sudah kali kedua ini aku menjaga beliau, tapi tak tahu kenapa rasa-rasanya aku malas berangkat. Rasanya kepalaku penuh dengan urusan pekerjaan yang sedang di ujung tanduk. Tapi, mengingat aku sudah menganggap mertua seperti orang tua kandung sendiri, apa pun kondisiku, aku harus berangkat. Begitu tiba di kamar di mana mertuaku dirawat, kepalaku tak lagi sakit dan urusan kantor berasa lenyap. Kamar tempat mertuaku ini dihuni empat pasien, yang aku tahu beberapa di antaranya bukan orang asli kota ini. Biasanya beberapa dari penjenguk dan penunggu pasien-pasien lain turut berjejalan di kamar yang sebenarnya tidak luas ini.

Menahan Diri di Media Sosial

Sejak 2008 lalu aku sudah main medsos. Waktu itu Facebook-lah ruang maya pertamaku, lalu menyusul Friendster, dan kemudian iseng juga bikin MySpace hingga Twitter. Dua terakhir itu jarang kubuka, bahkan sejak pertama bikin akun sampai saat ini. Sesudahnya internet tak lagi jadi barang asing bagiku. Youtube, Instagram, dan "ruang-ruang" lain pun kusambangi. Komentar netizen atas segala isu di berbagai "ruang" juga telah kenyang kubaca sejak 2008 itu. Beberapa yang parah sampai harus membawa orang-orang berurusan dengan pihak berwenang. Bahkan ada juga beberapa orang yang kukenal terlibat kejadian tidak menyenangkan karena komentar/status medsos mereka. Aku sendiri tak pernah terlibat masalah serius karena main medsos. Paling hanya perdebatan pendek yang berakhir dengan cepat dan damai. Ini pun hanya seputar kekaryaan sejak mulai rajin nulis tahun 2012 lalu, atau soal pilihan politik, tapi biasanya perdebatan tak sampai membuatku atau yang beda pendapat denganku kena

[Cerpen]: "Janin Badai" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Galeri Buku Jakarta pada 21 Juni 2019) Di perutku badai asing tumbuh dan beranak-pinak. Hitam, garang, dan liar. Jika ia mengamuk, badanku berputar seratus delapan puluh derajat; kepala di bawah, kaki melayang. Ketika badai itu reda, hidupku hambar. Dan saat ia marah, aku mau mati saja. "Badai asing melukaiku," ujarku tersengal-sengal, "jadi kubunuh dia." Tapi, kata Ibu, kalau kamu bunuh badai di perutmu, bisa saja kamu yang mati. Aku takut dan belum tentu Tuhan menaruhku di surga kalau aku mati. Tapi badai ini sudah keterlaluan. Di perutku ia menggila. Tak tahu apa yang badai itu mau atau bagaimana ia beraktivitas hingga seolah-olah kulihat gambaran: lumatan nasi di lambung campur baur dengan cairan asam berlebih akibat derasnya badai. Selama badai marah, aku melingkar di kasur, berputar-putar mirip gasing. Kadang diam dan memejamkan mata, atau mengejan dengan maksud mengusir badai itu, dengan harapan bisa kentut, meski ternyata tidak. Sakit

[Cerpen]: "Tentang Maria, Gedung Bioskop, dan Buku Harian yang Tertinggal" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: Getty Images - The Lovers by Rene Magritte (Dimuat di Galeri Buku Jakarta, pada 12 Juni 2019)   Pada sore hari setelah Maria pergi, aku duduk di teras dan membuka-buka sebuah buku harian. Di sampul depan buku harian tersebut terdapat suatu cap yang dahulu aku buat di sana untuk kenang-kenangan agar Maria tak melupakanku. "Ini hadiah dariku, Bung," kataku kepada seorang tetangga. "Kau yakin kalian benar-benar saling mencintai?" Aku berdiri dan mengajaknya masuk ke ruang tamu. Toni tetangga baruku, dan ia belum pernah menyapa Maria. Tiga hari yang lalu Toni datang dengan membawa mobil pick up berisi berbagai perabot, dan kepadaku yang kebetulan berada di teras rumahku, ia mengaku semua benda tersebut warisan. Ia akan tinggal di rumah sebelah yang sudah sepuluh tahun lebih kosong. Aku mengenal Toni sejak itu, dan karena ia bujangan, aku bisa mengajak pemuda itu mengobrol apa saja sampai larut malam. Maria tidak pernah mau kuajak bercumbu

[Cerpen]: "Istri Politikus" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1641, Agustus 2019) Sejak sukses menjadi politikus, suamiku tidak pernah lagi menghabiskan waktu di rumah bersamaku untuk sekadar minum teh atau membaca buku berdua. Dulu kami tak pernah meninggalkan kebiasaan itu: membaca buku bersama dan membicarakan tentang buku itu hingga berjam-jam sampai tidak terasa malam sudah terlalu larut dan kami pun menutup buku dan saling menghangatkan di balik selimut sampai tidur. Dulu, sore hari, dua cangkir teh membawa kami berkelana ke masa lalu saat kami masih pacaran. Di masa itu, harga semangkuk bakso adalah harga sebuah keromantisan. Kami tertawa mengenang semangkuk bakso untuk berdua atau apa pun yang berkaitan soal kondisi dompet dan asmara kami, hingga dua cangkir teh tidak pernah terasa cukup. Di meja kami tersedia teko yang penuh terisi teh hangat. Ketika teh yang dituang mulai menjadi dingin, kami tidak lagi peduli dan tetap tenggelam dalam obrolan soal masa lalu hingga hari menggelap. Pada saat sepert

[Cerpen]: "Misteri Kamar Tamu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Banyuwangi, Minggu, 5 Agustus 2019) Aku tidak bisa tidur karena setiap malam selalu saja ada suara-suara aneh dari arah kamar tamu. Aku tahu kamar tersebut adalah kamar terbusuk yang ada di rumahku ini. Aku sengaja membeli rumah dengan harga murah, karena uang yang kudapat dari jual warisan Bapak tidak banyak. Aku masih menganggur dan butuh modal membangun toko cat. Dengan harga semurah apa pun, sebuah rumah akan kubeli selama itu pantas. Nyatanya, rumah yang kubeli ini pantas. Kondisinya baik, bahkan beberapa ruang bersih dan seperti belum lama direnovasi. Hanya saja, ada salah satu kamar yang terlihat kotor. Kata mantan pemiliknya, "Seharusnya itu kamar tamu. Hanya saja, karena tidak ada ruang buat menampung barang rongsokan, untuk sementara jadi gudang. Jika Anda mau, silakan saja dibereskan." Pada saat itu aku hanya mengangguk. Jarak dua atau tiga hari setelah menempati rumah ini, muncul pikiran bahwa sebaiknya kamar tersebut memang harus kuberesk