Skip to main content

Posts

Showing posts from November, 2015

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Dosa-dosa di Kotak Kado & Istri yang Membenci Suami" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Mojokerto, Minggu, 22 November 2015) 1/ Perempuan dari Masa Lalu Pesta pora semalam kurang cukup. Kau mesti tambah durasi tiga hingga empat jam, baru tuan rumah disebut mapan. Soal remeh temeh dijejalkan oleh Tuhan ke dalam otak manusia-manusia dangkal di sini, dan itu 24 jam non stop —setiap hari, nyaris sepanjang tahun—maka hal-hal duniawi layak naik kelas dari sekadar ngebir di sudut-sudut gang hingga mengundang maskot mahal dari kelab-kelab malam ibu kota. Kau tidak menduga kehadiranku. Analisa situasi membuatmu gusar, kurasa. Itulah gunanya lidahmu. Gusar mendorong pangkal berkontraksi, lantas cekatan beradaptasi dalam lincah gemulai memulai sapa, "Lama tak jumpa!" Ya , jawabku pendek. Aku paham sulitnya tinggal di kota. Kau pun paham betapa meluap dosa-dosa yang digelontorkan iblis melalui berbagai cara. Dari tahun ke tahun stok dosa menumpuk dan sulit dikalkulasi. Suatu waktu kita duduk di loteng rumahku, minum-minum, bercumbu, lalu m

[Cerpen]: "Bukan Klise!" karya Ken Hanggara

Lukisan " Unsaved Memory" by Andrei Varga (Dimuat di Metro Riau, Minggu, 22 November 2015) Kita tak bisa salahkan siapa jatuh cinta kepada siapa. Itu mutlak, hak tiap manusia. Tapi, jika cinta hanya untuk orang waras, apakah mungkin kisah ini klise? Aku mengenalnya di jalan ... ah, bukan, sebut saja di sebuah tempat. Akan lebih universal jika 'tempat' kubawa-bawa daripada 'jalan'. Karena jalan adalah klise dari begitu banyak kisah cinta manusia. Ya, aku mengenalnya di suatu tempat. Anggaplah begitu. Kalau ada yang bertanya tempat apa itu, aku akan memulai penjelasanku dari masa lalu. Bersabarlah! Dulu aku pendiam, penurut, pintar, dan segala kepribadian bocah yang membuat bangga orangtua. Tapi tidak selamanya yang 'baik' mendapat tempat di mata orang. Itu menyedihkan bagi anak-anak sepantaranku. Kalau orangtua menyebutku anak harapan masa depan, maka teman-teman menyebutku banci!

[Cerpen]: "Demonomania" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Mojokerto, Minggu, 1 November 2015) 1/ Mobil stop di pelataran mini market . Dari balik kemudi, otak Mudakir menangkap sinyal jahat. Malam pekat. Bulan tak muncul. Ia curiga segerombolan setan melingkupi benda malam itu dengan tabir neraka, lalu dengan licik sembunyi di atap bangunan. Nanti, bila mobil ini dipacu pulang, setan-setan numpang di bangku belakang. Ia bayangkan setan-setan bertanduk. Seandainya komik tidak membuatnya begitu, ia tidak cemas. Tidak, karena tidak bakal ususnya terburai kesabet tanduk setan dan mati. Padahal setan bisa juga rupawan. Kenapa Tuhan membikinnya seram? Mudakir ragu, tapi tahu pesanan tidak boleh lupa: dua kotak susu ibu hamil, kecap manis, tiga kaleng kornet, sebungkus deterjen, dan beberapa batang sabun mandi. Tadi istri telepon, minta dibelikan beberapa keperluan rumah tangga.

[Cerpen]: "Pezikir Jembatan" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Republika, Minggu, 1 November 2015) Duduk di jembatan penyeberangan, kakek itu bersikap bagai pertapa; tak bergeser, tak bicara, tenang, terpejam, dan terus berzikir. Kemeja dan sarung lusuhnya, yang berlubang di banyak bagian, mengingatkanku pada almarhum Bapak di kampung. Dulu Bapak sering bersila seperti itu, duduk tenang, tak bicara, mata terus terpejam, dan bibir tak henti zikir. Bedanya, almarhum Bapak tidak melakukan di jembatan penyeberangan, jadi tontonan orang, apalagi dengan sebuah mangkuk seng yang terus gemerincing di depan kaki. Ya, kakek itu pengemis yang sering kulihat sewaktu menyeberang jembatan ini. Sejak sebulan lalu aku menjajal rute baru, mencari hal-hal baru yang menyenangkan sepanjang mengamen di ibu kota. Maka aku tak tahu sejak kapan kakek itu duduk di sana, tak bergeser, berzikir dengan suara lembut dan pelan, hingga membuat pengguna jembatan penyeberangan iba dan memberinya sedikit uang.