Skip to main content

Posts

Showing posts from August, 2015

Cerpen: "Orang-orang di Balik Jeruji" karya Ken Hanggara

"Orang-orang di Balik Jeruji" Ilustrasi cerpen "Orang-orang di Balik Jeruji" oleh Ken Hanggara   (Dimuat di Radar Bromo, Minggu, 30 Agustus 2015) Aku tak peduli seorang pembunuh sekalipun berada di dekatku. Aku juga tak peduli andai dia membunuhku detik itu. Aku tak kenal takut. Ketakutan adalah bagian dari keseharianku. Tempat di mana aku hidup adalah tempat orang-orang terjebak oleh dosa mereka sendiri. "Kenapa kau ada, kalau hanya untuk membuat manusia sepertiku terbuang?" tanya Gusti, lelaki kurus yang sebulan ini lebih sering mengerang di pojokan. Menangisi ibu di kampung. "Untuk mengajarimu banyak hal," tukasku. Ada tawa dari sisi gelap ruangan. Tawa dari bibir yang direkayasa Tuhan guna menghisap darah sesama. Dialah kematian, pembunuh yang tujuh hari terakhir melengkapi kami. "Kenapa? Bukankah kau menginjak puncak lebih tinggi?" tanyaku sinis. "Maksudmu?" " K au tahu. Dia domba tolol dan kau

Cerpen: "Memanjat Langit" karya Ken Hanggara

"Memanjat Langit" Ilustrasi cerpen "Memanjat Langit" oleh Ken Hanggara (Dimuat di Radar Banyuwangi, Minggu, 23 Agustus 2015) Sumarno tahu kalau ia tidak berhenti memanjat langit, pada akhirnya ia juga tetap akan berhenti di satu titik, karena tidak ada lagi yang bisa dipanjat di atas sana. Namun tentu saja, memanjat semacam ini tidak akan mudah, karena selain ada banyak orang yang menonton, hingga membuatnya agak grogi, mereka juga pasti bakal berteriak dan melakukan apa saja agar tujuannya tidak tercapai. Ia pandangi tempat itu dari tempatnya kini berdiri, sebuah tempat yang sudah tidak bisa dipanjat lagi, andai ia benar-benar akan memanjat dan terus memanjat tanpa berhenti. Matahari bersinar garang. Teriknya menyengat kulit Sumarno yang kelam, membuatnya tampak mengilap, bagaikan patung berlumurkan oli. Ia menoleh kiri dan kanan. Daun-daun kering diterbangkan angin. Terdengar bunyi mesin motor butut dari jauh. Beberapa bocah tampak baru pulang dari

Cerpen: "Ditolak Bumi" karya Ken Hanggara

Ilustrasi cerpen "Ditolak Bumi" oleh Ken Hanggara "Ditolak Bumi" ( Dimuat di Minggu Pagi (KR Grup), Jumat, 21 Agustus 2015)   Malam itu kampung dilanda hujan lebat. Laut seolah tumpah dari langit. Lentera menggantung layu, berkali-kali padam oleh angin. Hanya dengan bantuan senter—atau sesekali cahaya petir—seseorang bisa melihat dengan jelas. Semua itu tak menghalangi kedatangan pelayat ke rumah Sukarman. "Tapi hujan terlalu deras. Apa tidak bisa kita tunggu satu-dua jam dulu?" Mursid si penggali liang lahat mengajukan usul. Sebagian setuju. Tak mungkin mereka menerabas hujan disertai angin kencang, apalagi dengan membawa keranda mayat. "Kita tidak bisa nunggu. Jenazah ini harus dimakamkan malam ini!" tukas Samijan, ketua RT.

Cerpen: "Patuh" karya Ken Hanggara

Ilustrasi cerpen "Patuh" oleh Ken Hanggara "Patuh" (Dimuat di Radar Mojokerto, Minggu, 16 Agustus 2015) Martini mencengkeram lengan kemejaku. Seperti dulu. Rasa-rasanya kenangan itu berputar. "Tapi pastikan, Bung," bisikku pada diri sendiri, "ini bukan saat yang tepat untuk tangis-tangisan!" Meski begitu, aku tahu tiap wajah yang mengamati dari jauh, sebelum lenyap ditelan gelap kotak jendela jajaran rumah kardus, mulai bertanya-tanya: Kesedihan macam apa yang wanita itu bawa? Atau mungkin: Setan itu lagi, ya? Martini, sebagaimana kenangan, akan selalu manis dan harum. Aku simpan dia di balik jaket kulit tebal dengan beberapa lubang bekas sulutan rokok teman main judi. Dia cengkeram lengan kemejaku, tak peduli sobek, tak peduli kutampar wajahnya. Tapi dia tahu aku tak 'kan begitu malam ini. Dan memang tak akan. Bedaknya rata. Dan malam yang dingin ini membuatnya pucat. Malam penuh kenangan. "Sudah kubilang mestinya kamu

Cerpen: "Dimangsa Kenangan" karya Ken Hanggara

"Dimangsa Kenangan" (Dimuat di Radar Banyuwangi, Minggu, 9 Agustus 2015) Kenangan-kenangan itu hadir bagai makhluk di dalam otakku. Mereka berkembang sekian lama, sekian tahun, untuk kemudian menetas di sana. Mereka tumbuh dan belajar menemukan cara memangsa seperti halnya anak elang. Dan ketika aku sampai di titik akhir hidupku, kenangan-kenangan itu benar-benar menuntaskan daya yang dulu pernah ada untuk mematikan nyawa-nyawa tak berdosa. Bunyi mesin berdengung di kamar putih membuatku sadar aku masih hidup, walau tentu tidak lama lagi. Kenyataan ini membuat kenangan-kenangan itu terus berdatangan. Seperti tak kenal lelah, seperti tak kenal ampun. Terus menyiksa dan menghabiskan darah kehidupanku dari dalam. Nyalaku meredup hari demi hari. Meski sekadar imaji, barangkali, rasa-rasanya tubuhku benar akan habis dibuatnya. Makhluk bernama kenangan, alangkah kejamnya kalian. Tidak kasihankah kalian padaku? Bisik-bisik menguar sejak sebulan lalu, bilang bahwa tida

Cerpen: "Lelaki dalam Bus" karya Ken Hanggara

"Lelaki dalam Bus" Ilustrasi cerpen "Lelaki dalam Bus" oleh Ken Hanggara (Dimuat di Solopos, Minggu, 9 Agustus 2015) Bus malam itu masih melaju ketika Upi sibuk menggaruk pantat. Sesekali matanya menerawang, memandang tepi jalan yang dihias pepohonan atau rumah penduduk. Tiang lampu sana-sini. Menyala tapi kelabu. Hidup segan mati tak mau. Kapan masa depan datang? Kapan masa lalu hilang? Apa hidup hanya berisi masa kini dan kelak mati dengan kondisi tetap begini? Asap rokok dari penumpang yang duduk berjarak dua bangku darinya, membelai pipi Upi yang kumal. Sudah dua hari tidak mandi, atau tiga. Entahlah. Tidak penting. Tidak ada ibu yang ngomel , apalagi ayah yang mengajari ini-itu. Langit dan bumi mengajari langsung bocah itu segala yang perlu dipelajari dan diketahui untuk sekadar hidup, meski bukan sebagai manusia utuh. "Siapa tadi?" Asap rokok masih menebar aroma khas di deret bangku belakang bus yang sudah sepi. Hanya enam penumpang ter

Cerpen: "Siluet Ibu" oleh Ken Hanggara

"Siluet Ibu" Ilustrasi cerpen "Siluet Ibu" oleh Ken Hanggara (Dimuat di Harian Rakyat Sumbar, Sabtu, 1 Agustus 2015 ) Matahari tergelincir ke barat. Sam bergeming, mengenang hari-hari yang lewat. Tujuh ratus empat puluh tiga hari, kalau tak salah hitung—atau gampangnya ia biasa menyebut 'tujuh ratus hari lebih', sejak berpisah dengan Ibu. Lamat-lamat azan maghrib bersahutan dari surau dan masjid di seluruh kota. Seseorang menyentuh pundaknya. "Apa lagi?" Seorang bocah, teman seperjuangannya, tampak meringis. Giginya tak rata, sebagian berlubang. Wajahnya terlihat amat kumal, tapi ceria. Sam tak tahu harus menjawab apa, jadi ia hanya diam. "Ada duit, 'kan?" Sam mengangguk. Mereka menyusuri lantai kosong. Debu di hampir semua bagian merata, kecuali tentu jalur menuju balkon; ada tapak-tapak kaki mungil, jejak Sam, juga temannya, Sabari, yang baru saja menjemput. Langit-langit penuh sarang laba-laba dan lubang hitam, y