Skip to main content

Cerpen: "Dimangsa Kenangan" karya Ken Hanggara




"Dimangsa Kenangan"

cerpen Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Banyuwangi, Minggu, 9 Agustus 2015)

Kenangan-kenangan itu hadir bagai makhluk di dalam otakku. Mereka berkembang sekian lama, sekian tahun, untuk kemudian menetas di sana. Mereka tumbuh dan belajar menemukan cara memangsa seperti halnya anak elang. Dan ketika aku sampai di titik akhir hidupku, kenangan-kenangan itu benar-benar menuntaskan daya yang dulu pernah ada untuk mematikan nyawa-nyawa tak berdosa.
Bunyi mesin berdengung di kamar putih membuatku sadar aku masih hidup, walau tentu tidak lama lagi. Kenyataan ini membuat kenangan-kenangan itu terus berdatangan. Seperti tak kenal lelah, seperti tak kenal ampun. Terus menyiksa dan menghabiskan darah kehidupanku dari dalam. Nyalaku meredup hari demi hari. Meski sekadar imaji, barangkali, rasa-rasanya tubuhku benar akan habis dibuatnya. Makhluk bernama kenangan, alangkah kejamnya kalian.
Tidak kasihankah kalian padaku? Bisik-bisik menguar sejak sebulan lalu, bilang bahwa tidak ada harapan lagi bagi sosok lelaki tua yang tengah berbaring kesepian ini, yang tiada lagi sanggup bergerak-gerak seperti bayi atau bahkan sekadar berkata-kata, juga yang tiada lagi sanggup menyombongkan diri seperti masa lalu.
Oh, masa lalu, betapa aku rindu padamu. Kuserahkan kulit keriput bergelombang ini, kuserahkan tulang-belulang yang payah ini, dan kuserahkan wajah tanpa dosa yang sesungguhnya menabung sekian gunung karma seumur hidup dalam waktu-waktu yang terasa begitu gelap, amat sangat gelap sampai tidak ada yang bisa terlihat; kuserahkan semua ini padamu. Agar aku bisa kembali dan mengulang semuanya dari nol.
Dengung mesin itu masih juga belum pergi. Samar-samar, seseorang melangkah masuk, menyentuh dahi dan dadaku, lalu menyuntikkan sesuatu pada lenganku yang kurus. Rasa sakit jarum suntik tidak membuatku meringis. Apa segini kejamkah waktu padaku, ya, Tuhan?
Tiba-tiba gejolak hati ini menjadi-jadi. Barangkali tahu ini semua bagai lelucon saja. Kenangan-kenangan masa lalu itu salah satunya melukiskan gambaran diriku yang jauh dari Tuhan. Lampu-lampu gemerlap menyorot ke sana kemari. Denting gelas dan suara cekikik tawa perempuan-perempuan nakal menghiasi sudut sebuah ruangan. Ah, bukan ruangan, melainkan bangunan. Aroma alkohol dengan asap sigaret beterbangan mengusik mata dan hidung. Seorang pemuda berbisik, "Nikmati malam ini. Besok kita akan berdarah-darah."
Malam itu sungguh menjadi titik mula yang, kalaupun bisa, kuminta pada siapa pun yang sanggup untuk hari ini mengembalikanku ke masa itu, ke detik itu. Apa seseorang benar-benar sanggup membuat mesin waktu? Itu bukan sebuah gurauan, 'kan?
Yang ada di kepalaku ketika itu hanyalah kunci kehidupan. Hidupku nyaris habis ketika semua orang penting dalam rumah mati terbunuh oleh suatu tragedi. Waktu itu aku masih terlalu kecil untuk mengenal darah dan kematian. Dengan tubuh merangkak, begitu yang kudengar dari seorang yang kemudian mengasuhku, kulihat dengan mata kepala kecilku: Bapak dan abangku disembelih, lalu diangkut dengan truk-truk dan dibuang ke liang-liang yang lebih buruk nasibnya ketimbang bangkai ayam. Ibu yang tidak kuat, mati mengenaskan di atas ranjang, menelan derita pilu yang terus menekan jiwanya.
Sejak itu, aku hidup kesepian. Mengikuti orangtua angkatku, kami berpindah dari satu tempat ke tempat lain, dari satu kota ke kota lain. Jalan-jalan halus mulai dibangun, mengiringi proses perjalanan menuju era jaya negeri ini, yang nyatanya belum terwujud entah hingga kapan. Gedung-gedung tinggi memukau perhatianku ketika itu. Orangtua angkatku terlalu baik untuk membongkar kisah-kisah lama tentang pembantaian sekian ribu orang. Penguasa bermain-main di atas ini. Politik menyamarkan wajah-wajah setan dan malaikat. Mereka menuduh keluargaku yang tidak bisa membaca sebagai komunis. Aku sendiri sampai detik itu belum tahu arti kata itu.
"Mereka yang tidak tahu apa-apa, termasuk bapakmu itu, dibawa ke tempat-tempat terbuka lalu disembelih di depan banyak orang. Tidak ada yang berani melawan."
"Kenapa setelah itu Bapak dan Abang tidak dikubur di pemakaman umum?"
"Karena tidak ada yang berani."
"Kenapa tidak ada yang berani?"
"Karena barangsiapa yang berani, walau untuk sekadar mengurus mayat, maka tidak lama lagi akan mengikuti nasib orang yang dikasihani itu."
"Aku masih tidak mengerti."
"Sudahlah, Nak. Jangan banyak tanya."
Sesudah itu, hari demi hari, waktu demi waktu, aku tumbuh dan besar dengan cerita kekejaman penguasa. Orangtua angkatku pandai bersandiwara, hingga kebencian akut yang ia pendam selama ini tidak membuatnya mati. Tapi suatu hari seseorang mendengarnya bicara banyak, seakan menghasutku, seakan mendidikku agar suatu saat aku bangkit dan menjadi harimau yang siap menumpas mereka, meneruskan cita-cita mulia para pendahulu yang terbunuh.
"Anda ditangkap karena Anda memberontak!" Seorang serdadu mengarahkan ujung pistol ke kepala orangtua angkatku. Aku masih ingat kejadian itu. Umurku tujuh tahun. Setelah itu aku dibawa ke tempat terpisah dari orangtua angkatku. Dan, tentu saja, sampai hari ini aku tidak tahu bagaimana nasibnya.
Ya, Tuhan, apa tidak bisa waktu berputar kembali dan kupilih nasib sebagaimana yang orangtuaku pilih? Apa tidak ada cara untuk menghapus kenangan-kenangan buruk itu?
Dalam sepi dan ketidakberdayaan, malam ini, detik ini, aku menangis. Bisik-bisik kian santer terdengar dari ruang luar kamarku. Entah siapa saja, entah di tempat mana. Hanya putih dan putih, walau pandangan mata selalu buram. Bau harum di langit-langit terasa lekat di hidung. Aku tahu ini bukan surga. Tidak ada surga untuk orang sepertiku. Adakah yang peduli untuk sekadar bertanya apa keinginan terakhirku?
Aku mulai mengutuki diri melihat semua ini. Kenangan-kenangan itu tak mau henti menggerogoti. Ia belum akan berhenti sampai musuhnya benar-benar habis. Dan masa penghabisanku belum usai malam ini.
Sepisah dari orangtua angkatku, seseorang membawaku ke suatu tempat. Entah bagaimana, harimau yang garang dan muda sepertiku ketika itu, yang bersiap melawan kumpulan para serigala penguasa haus darah, diubah dengan cepat oleh mereka hingga seolah dari permukaan cermin dapat kulihat dua taring tumbuh memanjang di tepi bibirku dan lidahku menjulur-julur dengan air liur bergelantungan.
"Tak ada yang bisa kamu percaya selain kami," kata seseorang berwajah gelap. Dia bilang penguasa tidak bisa dilawan, meski engkau mengerahkan seribu harimau ditambah seribu serigala sekalipun. Seorang diri, penguasa bisa memutarbalik dunia, walau dia sama sekali bukan tuhan.
Penderitaanku setelah itu sirna. Mereka menyekolahkanku, merawatku, memberiku penghidupan yang layak. Buku-buku sejarah yang sebetulnya telah digubah oleh bukan tangan takdir, agaknya pelan-pelan mengubah pendirianku yang mula-mula. Aku mulai percaya bahwa mereka semua sebaik apa yang ada. Dan aku mulai percaya, boleh jadi, orang itu mengangkatku sebagai anak, menjagaku semenjak bayi, hanya agar karena dapat menjadi alat pemuas balas dendam pribadinya.
"Jangan tegang. Nikmati malam ini. Besok kita berdarah-darah," kata seseorang.
Aku menutup wajahku dengan kedua tangan, yang dalam imajinasi benar-benar terjadi, walau nyatanya aku masih berbaring tanpa daya di dalam sebuah ruangan entah di mana, yang bukan surga, dan yang terdapat banyak orang bisik-bisik di luar ruangan itu. Kenangan-kenangan yang menetas di dalam otak dan tumbuh itu sudah terlalu lama menyerangku. Kini, mereka melihat kemungkinan tubuh ini akan habis pada malam ini juga. Mereka terus berdatangan. Seperti wabah yang belum ada obatnya. Seperti tidak ada lagi tempat untuk sekadar membuang rasa benci.
Lampu-lampu gemerlap, suara tawa perempuan-perempuan nakal, bau alkohol, bau asap rokok, menemani pertemuanku dengan pria flamboyan legendaris yang murah senyum. Dia sodorkan selembar amplop padaku.
"Tugas pertamamu, Nak. Jangan buat aku kecewa," ujarnya seraya menyandarkan tubuh pada bantalan empuk kursinya.
Dan benar, sejak itu aku selalu berdarah-darah. Bukan darahku sendiri, melainkan para musuh. Tanganku berlumuran darah dari para harimau yang menerjang tanpa daya, karena akulah jari jemari sang penguasa, akulah cara terbaik menumpas mereka, dan akulah bagian sebuah konspirasi besar. Wajah-wajah pemberontak itu berkelebatan di pikiranku. Wajah-wajah tanpa niat mau dikendali. Wajah-wajah yang menyimpan buah pemikiran berbahaya bagi penguasa. Karena konon, di negeri ini, ketika itu siapa saja akan terbunuh jika sekadar berpikir soal kebebasan.
Oh, Tuhan, kenapa Kau biarkan kenangan masa lalu itu lahir menjadi predator yang menumpas jiwaku? Bisik-bisik masih terdengar. Mesin berdengung lemah. Aku di ambang batas. Kenanganku, selamat tinggal. Terima kasih telah mengingatkanku, walau mungkin terlambat.
Seseorang mengetuk pintu. Tidak seperti tadi, kini kedua tangan dan kakiku mulai bergerak, walau tak selincah dulu ketika penguasa memberiku tugas-tugas membunuh mereka yang suka berpikir tentang kebebasan.
Tamu berwajah hitam itu menghampiri tempatku. Dengan mata menyala-nyala, lantang dia bersuara sebelum mengakhiri masaku, "Kau akan benar-benar berdarah dengan darahmu sendiri!"
"Aku menyesal melakukannya. Aku sudah dengar kebenaran sejati itu."
"Kau sendiri tahu, tidak ada penyesalan seseorang yang dapat membuatmu lapang ketika bapak dan abangmu mati kehilangan kepala. Ikutlah denganku, dan menyesallah sampai tidak ada lagi yang perlu kau tangisi."
Dan kami pun pergi meninggalkan bisik-bisik, meninggalkan suara dengung mesin canggih, juga aroma pengharum ruangan. Kenangan-kenangan itu sudah pergi, walau aku tak tahu apa Tuhan masih menyimpannya untukku.

Gempol, 2 Agustus 2015

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri