Skip to main content

Posts

Showing posts with the label pengalaman

Kenapa Aku Menulis?

Foto dokumentasi pribadi (2012) Aku bayangkan aku tak pernah mengenal dunia literasi. Aku bayangkan aku tak pernah menulis sebuah cerpen pun atau bahkan sebait puisi, kupikir detik ini aku sudah gila. Aku gila oleh menumpuknya pemikiran dan gagasan dan kadang-kadang beban hidup. Jika semua isi kepalaku itu tak kutumpahkan dari waktu ke waktu lewat tulisan, daya tampungku yang terbatas akan membuatku meledak dan "kolaps" dan aku mungkin saja tak bisa lagi mengenali siapa diriku dan dari mana aku berasal. Memang, kemungkinan untuk tetap waras itu ada, tapi aku tak yakin sebesar kemungkinan untuk menjadi gila jika aku tak tergiring keadaan untuk memulai menulis sesuatu. Menulis lalu menjadi obat usai kegagalan demi kegagalan melingkupi. Malam hari yang melelahkan dan selalu murung, berganti menjadi malam terang-benderang, bahkan dalam kondisi hanya tersisa uang dua ribu rupiah saja dalam dompetku dan dalam keadaan gelap gulita di kamar kontrakanku yang kecil di sudut

Boleh Tergoda, tapi Tak Perlu Meniru

Dalam berbagai kesempatan, saat awal aku nulis tahun 2012 dulu, beberapa orang yang lebih dulu terjun di bidang ini mengajarkan trik nulis yang mudah dan praktis andai selalu kesulitan memulai karya, yakni dengan memodifikasi karya orang. Menurut penjelasan "beberapa orang" itu (yang tak perlu kusebut siapa saja, dan pula ada sebagian yang kulupa namanya), modifikasi ini bisa dilakukan dengan mengambil karya utuh orang lain (penulis terkenal atau tidak) yang sudah terbit dan disukai (biasanya cerpen atau esai) di internet, lalu diedit/ganti banyak kata oleh si modifikator; bisa kata kerja, kata keterangan waktu, nama tokoh, nama kota, dan sebagainya. Itu dilakukan terus menerus sampai karya "editan" tersebut tampak sebagai sebuah karya baru. Saat itu lumayan banyak yang berterima kasih atas trik yang kelihatannya menyenangkan itu. Tapi, buatku pribadi, cara itu justru tidak kusuka. Aku tak pernah sekalipun tertarik mencobanya. Alasanku sederhana. Dengan

Menulis Cerpen di Media, Apa Kudu Kenal "Orang Dalam"?

"Kak, cerpennya bisa sering tayang di media itu tipsnya apa saja, ya?" tanya seorang gadis yang tak kukenal di inbox. "Rajin baca dan kirim. Gabung grup "Sastra Minggu" di Facebook biar tak ketinggalan info." Jawaban singkat namun padat itu agaknya kurang memuaskannya, hingga kemudian keluarlah pertanyaan berikutnya: "Maksudku, tips selain itu, Kak? Kok bisa gitu cerpennya diterima di hampir semua media di Indonesia? Apa ada jalur khusus atau kenal orang dalam dulu biar cerpen atau puisi kita bisa sering terbit di media?" Membaca itu, aku tertawa keras tanpa sadar, sampai orang-orang di sekitarku menoleh. Kurasa kalau dapat pertanyaan begini, jawabannya pasti bakal bersambung. Benar juga. Setelah kujawab kalau aku gak punya koneksi atau "orang dalam" saat pertama menembuskan cerpenku di koran hingga kemudian nyaris tiap minggu cerpenku muncul di berbagai media, si gadis tak dikenal ini kembali bertanya dengan nada curiga, bahw

Cerita Pendek dan Perjalanan Panjang yang Nikmat

Tumpukan edisi media cetak yang menayangkan cerpen-cerpenku. Ketika kemarin Dang Aji Sidik tiba-tiba bertanya berapa sudah cerpenku yang tayang di berbagai media, pikiranku langsung melesat ke masa beberapa tahun lalu, ke akhir tahun 2013. Itulah kali pertama aku ingin menembuskan cerpenku ke media. Karena minimnya info tentang itu, juga belum "luasnya" jaringan pertemananku di dunia maya dengan lebih banyak cerpenis, aku hanya bisa coba kirim cerpen ke dua media raksasa saja, yang alamat e-mailnya kutahu dari googling, yakni Kompas dan Jawa Pos. Tentu cerpenku jauh dari bagus saat itu, hingga kiriman-kirimanku sebanyak 2-4 cerpen dalam sebulan (kadang hanya 1 sebulan) tak pernah lolos. Tahun 2014, aku pun lebih fokus ke perlombaan skala nasional yang beberapa di antaranya berhasil kumenangi, dengan banyak gelar "juara 2" atau "10 besar", sampai seorang teman yang kini tak lagi menulis bilang, "Kamu ini spesialis runner-up ." Kami pu

Gaya Bekerja Para Penulis Tak Pernah Sama

Kalau ada teman yang bertanya tentang bagaimana membuat cerpen yang baik atau bertanya soal trik-trik tertentu, jawaban yang saya berikan lahir dari bagaimana cara saya membuat cerpen. Soal apakah jawaban itu bakal nyambung dengan gaya bekerja teman saya tersebut, saya tidak ikut campur, sebab proses kreatif tiap orang bisa berbeda-beda.

Kejarlah Dirimu Sendiri, Bukan Orang Lain

Iri dengki pada kesuksesan orang lain, yang berujung pada tindakan-tindak an negatifmu demi mengejar orang tersebut, hanya akan membuatmu rugi. Selain cepat tua dan berisiko terserang penyakit jantung dan stroke, kamu juga akan susah lepas dari pengaruh orang itu. Kamu akan selalu merasa saling kejar-kejaran dengan orang tersebut, padahal sebenarnya yang harusnya kamu lawan adalah dirimu sendiri.

Menulislah Biar Kewarasanmu Terjaga

Saya pernah dengan begitu yakin mengatakan pada seorang teman, "Kalau saya tidak menulis, mungkin saja saya bakal gila." Untuk sesaat, teman saya itu tampak terpana, dan beberapa detik kemudian segera saya tambahi kalimat yang boleh jadi agak ganjil tadi, "Gila karena bosan maksudnya. Bahkan bisa saja bukan cuma jadi gila, tetapi mati karena bosan oleh hidup yang begini-begini saja." Teman saya menatap saya dengan kepercayaan penuh, dan saya tahu itu dari pancaran matanya. Dia sepenuhnya setuju karena ikut mengalaminya. Bagi kami yang menjadikan menulis bukan hanya sebagai ajang penemuan jati diri atau mencari tambahan uang jajan, melainkan juga ditujukan untuk kebaikan orang lain, setidaknya orang terdekat dulu, menulis adalah obat untuk banyak hal. Saya pribadi lebih termotivasi bahwa apa yang saya upayakan saat menulis adalah demi orang tua, dan dampak yang saya rasakan sungguh luar biasa.

Sesekali Kita Perlu Pura-Pura Nggak Paham

Ada cerita lucu ketika saya sedang training di sebuah perusahaan nasional yang berpusat di Jakarta. Karena saya ikut interview dan test-nya di wilayah Jakarta, maka nama saya pun tercantum dalam daftar pegawai baru dari area ibukota. Dalam masa training yang berlangsung beberapa minggu itu, ada banyak pegawai dari daerah-daerah lain yang mengikuti proses seleksi sejak awal di kantor-kantor cabang. Nah, tentu saya tahu rekan-rekan mana saja yang berasal dari Surabaya, kota asal saya, sehingga saya mencoba membaur dengan mereka. Ketika itu, secara tidak terduga, salah satu dari mereka yang tampak agak urakan meledek saya dengan bahasa Suroboyoan, yang kira-kira berarti, "Makhluk yang satu ini ngapain ikutan nimbrung?"

Tentang Teman Lama yang Membuat Saya Enggan Menyerah

Kejadian-kejadi an kecil di sekitar kita sering kali, secara aneh dan tanpa kita sadari, berpengaruh besar bagi kehidupan kita di masa mendatang. Contohnya ketika saya mengenal seorang teman saat di Jakarta. Saya kenal dia secara tidak sengaja, yakni karena kami kebetulan mengenal teman yang sama, sehingga pada satu kesempatan di suatu weekend, bersama teman-teman lain, saya dan dia pergi ke tempat futsal. Perkenalan ini berlanjut ke omong-omong panjang, karena sepatu saya rusak sehingga tidak ikut bermain, sedangkan dia memang sengaja tidak ikut main. Hanya datang dan menonton saja. Jadi, kami berdua dan seorang teman lain duduk di tepi lapangan dan membahas hal-hal apa pun. Teman baru ini ternyata cukup ramah saat diajak mengobrol, walau kelihatannya pendiam dan tertutup. Pada akhirnya saya tahu dia orangnya terbuka pada beberapa hal terkait impiannya. Dia pernah, karena tidak punya kenalan dan buntu ide, mengajak saya kolaborasi di audisi IMB jilid 1. Karena saya s

Kualitas Karya Tidak Ditentukan dari Seberapa Lama Karya tersebut Dibuat

Lamanya waktu pengerjaan sebuah karya tidak menjamin karya itu pasti berhasil dari segi kedalaman makna. Karya yang dibuat dalam kurun waktu singkat bisa saja malah lebih dalam dari itu. Ini yang saya yakini. Selama apa pun karya dibuat (atau sengaja dilama-lamakan biar kelihatan keren), kalau perenungan tentang isinya kurang dihayati sebelum karya itu mulai digarap, hasilnya akan hambar. 

Pedekate Butuh Modal, Bung!

Suatu hari saya dan seorang teman pergi ke toko pakaian. Kami membeli kaos, kemeja, jaket, dan celana panjang sesuai dengan selera masing-masing dan tentu saja bayarnya sendiri-sendiri . Sekembali ke tempat parkir, setelah membayar belanjaan di kasir tentunya, teman saya terlihat sedih dan saya langsung tahu penyebabnya. Pasalnya dia sok kenal sok dekat dengan mbak-mbak kasir yang lumayan cantik, meski sudah bercincin (yang kemungkinan sudah punya pasangan), dan saya tahu itu sebab kasir yang melayani saya hanya berjarak satu kasir dari kasir cantik tadi. Kepada saya, teman saya mengaku, "Seandainya tadi aku tahu kalau bakal begini." "Lho, memangnya kenapa?" tanya saya. Dalam pikiran, saya sudah curiga bahwa teman saya keburu sakit hati bahkan sebelum pedekate, sebab mbak-mbak cantik itu bercincin dan cincinnya adalah pertanda dia sudah ada yang punya.

Menikmati Hidup sebagai Full Time Writer

Sudah hampir setahunan ini saya benar-benar hidup sebagai full time writer , karena mencari pekerjaan baru belum ada yang cocok. Jadi cari rezeki hanya dari nulis di media-media, membuka jasa editing, nulis di blog, nulis skenario, dan sekitarnya, serta tentu saja menjual buku (karya sendiri) via online .  Alhamdulillah selalu diberi kelancaran. Ada saatnya harus benar-benar bersabar menahan beberapa keinginan sederhana seperti menambah koleksi bacaan, sebab "gaji" pekerjaan ini tidak datang secara rutin pada tanggal tertentu. Apalagi punya tanggungan bayar cicilan motor dan sebagainya, yang harus didahulukan daripada keinginan-keing inan pribadi tersebut.

Sepuluh Tahun yang Lalu, Saya Berpikir tentang "Sepuluh Tahun yang Akan Datang"

Ketika masih sering-seringny a latihan ngeband pada tahun 2007-2008 lalu, saya berpikir, "Sepuluh tahun dari sekarang, mungkin band ini bakalan makin solid dan boleh jadi terkenal sehingga punya album atau minimal single yang laris di radio-radio." Saat itu saya masih kelas sebelas dan memendam banyak impian, utamanya di band yang sedang saya dan teman-teman rintis. Tidak ada pikiran saya bakal menulis prosa atau skenario--yang pada akhirnya memang terjadi. Menulis memang salah satu cita-cita saya, tapi menjadi anak band juga cita-cita saya. Posisi keduanya sama-sama kuat, dan karena lingkungan lebih mendukung ke arah seni musik, maka ngeband adalah alternatif bagi saya untuk istirahat sejenak dari pikiran-pikiran sumpek sebagai anak sekolah (dengan cinta monyet, teguran ortu, PR yang selalu menumpuk, guru-guru yang kadang mengerikan, dan lain sebagainya).

Berbeda Pandangan Tidak Harus Selalu Dijauhi

Ada teman FB yang kalau bikin status isinya cuma hal-hal berbau sinis atau apatis terhadap hampir segala segi kehidupan, dan yang membuatnya terlihat sebagai pribadi arogan di mata saya adalah: baginya pendapatnya selalu benar dan ucapan orang lain yang bertentangan pasti salah. Sejak berteman dengannya di FB, memang sudah begitu wataknya yang saya tahu, tetapi saya tidak pernah terpikir untuk meremove, apalagi memblokirnya, sebab dia tidak pernah memaksakan orang lain harus patuh pada pendapatnya. Dia hanya memegang teguh pendapatnya sendiri tanpa mengutak-atik prinsip orang lain--entah meski pada akhirnya dia bisa saja berpikir semua orang yang tidak setuju padanya adalah goblok permanen (toh pemikirannya sendiri adalah urusan dia, bukan?).

Teman Lama yang Hobi Melengos

Ada teman saya dari masa TK hingga SMP yang rumahnya tidak jauh dari rumah saya. Hanya beda dusun. Tapi, tiap kali berpapasan di jalan, sejak kami SMA dulu, dia selalu melengos seakan tidak pernah kenal atau pura-pura tidak melihat. Faktanya, tidak pernah ada masalah apa pun di antara kami. Dia juga bukan penggemar FPI (sama seperti saya). Bahkan dia sering bercanda dengan saya sejak TK hingga SMP. Suatu sore menjelang maghrib, saya ke minimarket dan beli sesuatu, lalu di kasir dia antre di belakang saya. Begitu saya noleh, dia langsung berpaling muka. Saya tidak tahu apa masalah orang ini?

Membaca Urusan Selera, Jadi Boleh Pilih-Pilih Dong?

Saya selalu butuh buku bacaan. Tapi tidak semua buku dapat saya baca. Hanya yang saya butuhkan untuk menambah ilmu (ketika riset, misalnya, atau ketika ingin belajar sesuatu saja) dan untuk memuaskan selera baca. Di luar urusan itu, bacaan lain yang saya konsumsi hanyalah berita di koran. Itu pun tidak semua saya baca. Jadi, ketika datang ke suatu toko buku, saya hanya akan berada di spot yang itu-itu saja, kecuali jika posisi rak yang memenuhi selera baca saya dipindah. Ketika seorang teman menghadiahi buku, akan saya cegah dia, dan memintanya menghadiahkan itu ke orang lain, kalau buku tersebut tidak sesuai selera baca saya.

Proses Produksi Cerpen di Pabrik Cerpen

Setiap cerpen yang saya buat nyaris tidak mengalami pembacaan ulang sebelum saya kirim ke media atau perlombaan. Itu bukan berarti saya tidak bertanggung jawab atau tidak ingin memastikan apa pun yang baru saja saya kerjakan, tetapi proses memahami isi cerita yang saya tulis sudah saya lakukan sebelum saya benar-benar menulisnya. Dengan kata lain, sepotong ide yang muncul langsung membuat saya memikirkan banyak hal, dan hal-hal ini selalu berakhir ke satu arah saja, misalnya: bahwa kita tidak seharusnya mengadili seseorang atas pilihan hidupnya. Pondasi cerita ini kemudian saya pegang dan saya membuka laptop untuk menulis opening secara acak, tentang peristiwa entah apa, tentang isi kepala seseorang yang entah siapa atau bagaimana, tentang situasi di lokasi yang entah di mana, dan lain sebagainya. Menulis opening secara acak membantu saya dalam membangun plot secara utuh tanpa terkekang. Dari yang hanya berupa pondasi dari secuil ide dan pesan moral, saya mampu membua

Hadiah untuk Penulis Muda/Pemula

Hadiah terbanyak yang didapat penulis (muda/pemula) Indonesia pada umumnya adalah permintaan tentang buku terbarunya yang mestinya digratiskan oleh orang-orang tidak tahu diri. Saking banyaknya hadiah macam ini, penulis (muda/pemula) susah kaya, kecuali sambil jualan tahu bulat, atau punya bisnis persewaan barang-barang bermanfaat (seperti sikat gigi dan bantal atau apa pun), atau mengencani anak anggota dewan, dan lain-lain.

Menjadi Tempat Curhat

Meski tidak terlalu suka berkeluh kesah atau curhat ke orang-orang terdekat, saya menyadari betapa banyak yang menjadikan saya tempat curhat, orang yang pemikirannya dianggap melahirkan banyak solusi, atau ruang yang dipercayai untuk berkeluh-kesah tanpa takut didengar oleh pihak-pihak yang tak diinginkan. Kepercayaan ini sungguh besar dan saya selalu menghargai itu. Tentunya apa yang dibicarakan pada saya tidak melulu soal menulis, tapi juga hal-hal seputar kehidupan, yang kadang kala membuat saya merasa bahwa orang-orang ini melihat saya sebagai semacam psikiater, konsultan, atau--dalam beberapa kasus--dukun.

Resolusi 2016 Tercapai dan Kini Saatnya 2017

Tahun 2016 yang saya lalui penuh dengan cerita pendek. Seakan-akan saya hidup dikelilingi makhluk aneh bernama cerita pendek, dengan wajah yang dapat berubah-ubah sesuai kebutuhan, dan dengan watak yang kadang menyerupai orang-orang yang pernah saya kenal atau ingin saya jumpai atau bahkan saya ingin musnahkan. Dan saya merasa tidak mungkin lepas dari jeratan makhluk aneh ini. Sebagaimana tekad saya di awal 2016, yakni membuat hitungan iseng tentang jumlah cerpen yang saya buat per bulan, juga berapa banyak buku yang saya baca, dan mendata seluruh karya yang terbit di media, maka beginilah hasil akhirnya. Slogan "sehari minimal satu cerpen" memang tak selalu dapat terpenuhi, tapi melihat hasil selama 12 bulan, dapat dibilang resolusi yang saya tulis di akhir tahun 2015 lalu terpenuhi. Tentu saja ini tidak mudah. Melihat jumlah tiap bulan yang bervariasi, sudah dapat ditebak bagaimana saya yang telanjur cinta menulis juga punya masalah-masalah. Sekali waktu masalah hidup