Skip to main content

Resolusi 2016 Tercapai dan Kini Saatnya 2017

Tahun 2016 yang saya lalui penuh dengan cerita pendek. Seakan-akan saya hidup dikelilingi makhluk aneh bernama cerita pendek, dengan wajah yang dapat berubah-ubah sesuai kebutuhan, dan dengan watak yang kadang menyerupai orang-orang yang pernah saya kenal atau ingin saya jumpai atau bahkan saya ingin musnahkan. Dan saya merasa tidak mungkin lepas dari jeratan makhluk aneh ini.

Sebagaimana tekad saya di awal 2016, yakni membuat hitungan iseng tentang jumlah cerpen yang saya buat per bulan, juga berapa banyak buku yang saya baca, dan mendata seluruh karya yang terbit di media, maka beginilah hasil akhirnya.

Slogan "sehari minimal satu cerpen" memang tak selalu dapat terpenuhi, tapi melihat hasil selama 12 bulan, dapat dibilang resolusi yang saya tulis di akhir tahun 2015 lalu terpenuhi. Tentu saja ini tidak mudah. Melihat jumlah tiap bulan yang bervariasi, sudah dapat ditebak bagaimana saya yang telanjur cinta menulis juga punya masalah-masalah. Sekali waktu masalah hidup bisa dengan mudah teratasi dan segala hal di dunia ini tidak menghambat proses berkarya, tetapi di lain waktu bisa amat sulit. Efeknya, menulis pun tidak akan lancar.
Bila membaca status saya yang di akhir 2015 lalu, kamu pun tahu ini bukan soal jumlah, tetapi bagaimana saya ingin tetap konsisten. Itulah yang selalu saya jaga. Sebab, harus diakui, jika suatu ketika saya sakit dan tidak mampu menulis apa-apa selama (anggap saja) tiga hari, maka di kesempatan menulis berikutnya, kalimat racikan saya tidak sesedap biasa. Demi menjaga kenikmatan racikan dan irama atau suara dalam cerita-cerita saya, yang dapat saya lakukan hanyalah menyempatkan diri agar jangan sampai berhenti menulis lebih dari tiga hari. Tetapi, tekad itu jelas tidak dapat selamanya terpenuhi. Selain karena sakit yang datang tak terduga, kesibukan-kesibukan lain di luar urusan menulis juga jadi penyebab.

Tahun 2016 ini adalah tahun yang luar biasa. Ada banyak hal, yang tak melulu soal cerpen, yang saya alami. Ada banyak pertemuan ajaib dan kejadian yang menghasilkan tawa dan bahkan air mata, yang kesemuanya menambah bahan di ruang pengolahan pabrik cerpen. Dari kejadian-kejadian dan segala macam obrolan tidak jelas, curhatan teman, berita-berita di TV atau koran, atau barangkali sekadar hasil melamun ketika bertapa di WC, atau mungkin ketika langit menunjukkan beberapa rahasia kecil tentang orang-orang yang bersikap negatif terhadap saya, cerpen-cerpen yang saya tulis sepanjang 2016 mendapatkan pondasinya.

Alhamdulillah pabrik cerpen beroperasi dengan amat baik dan saya bersyukur karenanya. Saya sendiri baru tahun 2016 membuat catatan semacam ini dan menyadari bahwa dari sekian banyak cerpen yang saya hasilkan, yang lolos ke media bisa dibilang tidak sebanding dengan yang dibuat.

Bayangkan, 431 cerpen dibuat dan yang lolos terbit ke media massa ada 92 (dari 95 karya yang lolos dalam foto ini, tiga di antaranya naskah skenario dan esai, sedangkan sisanya cerpen saja). Beberapa yang dimuat dalam naskah antologi tidak masuk hitungan. Jadi, ada berapa banyak yang belum terbit? Tentu saja belum terbit bukan berarti buruk, meski saya sadar, beberapa cerita (untuk tidak menyebut "banyak") dapat dinilai buruk jika seseorang memang harus menilainya begitu, sebab saya pun masih belajar.

Dari 95 karya yang lolos ini, ada begitu banyak rezeki dan bonus-bonus yang saya dapat. Ini tidak mungkin disebutkan, tetapi jelas tidak sampai membuat saya bisa membeli helikopter atau pergi ke Paris menengok Menara Eiffel, apalagi sampai membangun pesawat untuk para alien musuh bebuyutan saya agar mereka dapat pulang ke planet asal. Jelas jauh dari itu. Tapi, bagi saya, semua itu tak ternilai harganya.

Tahun 2016 juga tahun yang menyegarkan, sebab setelah dua tahun lebih tidak menerbitkan satu pun buku fiksi, ada dua naskah kumpulan cerpen saya yang ACC. Salah satunya kumpulan cerpen horor "Museum Anomali" (yang bisa kamu pesan dengan harga 49 ribu saja). Yang lain menyusul terbit tahun 2017 dengan tema percintaan.

Kalau kata orang bijak, "Batu keras lama-lama bakalan retak juga kalau terus menerus ditimpa air." Dan saya yakin langkah-langkah kecil ini adalah bagian dari masa depan yang misterius namun saya yakini akan manis. Terdengar lebay? Biarlah. Mungkin kurang piknik yang bilang begitu.

Dengan berakhirnya tahun ini, maka saya lanjutkan statement tahun lalu tentang resolusi: bahwa saya berharap tetap konsisten dalam menulis dan segalanya menjadi lebih baik dari sebelumnya. Kiranya cukup sampai di sini postingan panjang lebar yang bertujuan pamer ini. Selamat menyambut tahun baru 2017. Semoga doa-doa yang baik terwujud.


Karya-karya yang lolos ke media massa dan televisi.

Total cerpen yang ditulis dan buku yang dibaca sepanjang tahun 2016.

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri