Skip to main content

Kenapa Aku Menulis?

Foto dokumentasi pribadi (2012)

Aku bayangkan aku tak pernah mengenal dunia literasi. Aku bayangkan aku tak pernah menulis sebuah cerpen pun atau bahkan sebait puisi, kupikir detik ini aku sudah gila. Aku gila oleh menumpuknya pemikiran dan gagasan dan kadang-kadang beban hidup. Jika semua isi kepalaku itu tak kutumpahkan dari waktu ke waktu lewat tulisan, daya tampungku yang terbatas akan membuatku meledak dan "kolaps" dan aku mungkin saja tak bisa lagi mengenali siapa diriku dan dari mana aku berasal. Memang, kemungkinan untuk tetap waras itu ada, tapi aku tak yakin sebesar kemungkinan untuk menjadi gila jika aku tak tergiring keadaan untuk memulai menulis sesuatu.

Menulis lalu menjadi obat usai kegagalan demi kegagalan melingkupi. Malam hari yang melelahkan dan selalu murung, berganti menjadi malam terang-benderang, bahkan dalam kondisi hanya tersisa uang dua ribu rupiah saja dalam dompetku dan dalam keadaan gelap gulita di kamar kontrakanku yang kecil di sudut kota Jakarta yang padat. Waktu itu aku tak memiliki pekerjaan dan benar-benar tak tahu harus melangkah ke mana.


Setelah itu, seiring waktu, menulis malah menjadi sebuah cara untuk hidup; seperti bernapas, dan semoga ini tak berlebihan untuk kalian dengar. Memang inilah yang kurasakan. Kalau saja tak sempat menulis sehari dua hari, pada hari ketiga aku merasa tidak enak badan. Aku butuh menjaga "napasku" untuk tetap hidup dan bugar. Kurang dari setahun sejak tekad menulis-tanpa-henti kutanam dalam diri, aku sudah terbiasa bernapas dengan pena.
Foto ketika di Bali, tahun 2012.

Pena itu terjadi oleh keping demi keping keyboard dari komputer busuk di sebuah warnet di seberang Gang Manggis, dekat kawasan Setu Babakan, Jakarta Selatan. Sebuah warnet yang membuatku sempat mengucap janji bersama dua teman lain bahwa kami akan menerbitkan buku karya masing-masing, dan barangsiapa yang berhasil merampungkan terlebih dahulu karyanya, akan memberikan hadiah pada dua lainnya. Sayangnya dua teman itu tak ketahuan pernah menulis lagi hingga detik ini.

Penaku juga terjadi oleh keping-keping keyboard di warnet lain di kawasan Gempol, Pasuruan. Jika kalian membuka Google Maps, coba telusuri SMP Negeri 1 Gempol. Sekolah menengah pertama itu terletak di dalam gang kampung. Dari sekolah itu, berjalan terus menuju timur, kita akan tiba di jalan raya Surabaya-Malang. Di ujung gang itu (di sisi selatan gang) ada sebuah warung bakso dan di samping warung itulah warnet kedua tersebut berdiri. 

Kini warnet tersebut telah tutup dan warung bakso itu menjelma menjadi warung soto. Terakhir kunjunganku ke warnet tersebut pada akhir 2013 lalu, saat kondisi nyaris semua komputernya berada di ambang "hidup". Meski tak lama, kunjungan demi kunjungan ke warnet itu menyumbang potongan terbesar langkah awalku di dunia literasi. Dari komputer warnet itulah kuhasilkan beberapa tulisan awal yang membuatku mengantongi sedikit hadiah dan gerbang perkenalan dengan teman-teman penulis dari seluruh penjuru negeri.
Foto di Pantai Sanur, 2012.

Aku bisa saja membayangkan seandainya keadaanku yang terpuruk ketika itu tak membuatku tergerak begitu saja (ya, tergerak begitu saja seperti sebuah tangan gaib mendadak menarikku ke sana) untuk mengetik kata kunci "lomba menulis" di Google, mungkin sampai detik ini aku tak tahu bagaimana dunia literasi bekerja. Aku bahkan juga tak memiliki teman sebanyak hari ini. Aku bayangkan aku mendapat pekerjaan di sebuah kantor atau pabrik atau entah di mana pun itu. Aku bayangkan aku tenggelam pada rutinitasku sebagai pekerja biasa yang tak pernah menulis dan tak (lagi) menganggap baca-tulis adalah hal yang sangat penting. Aku bayangkan aku bertemu seorang gadis dan menyukainya dan mengatakan aku ingin hidup bersamanya selamanya, dan gadis itu tak akan pernah bertanya-tanya dengan kening berkerut: "Untuk apa kamu menulis cerita pendek?"

Orang-orang di luar sana juga tak akan penasaran dan bertanya dengan nada meremehkan padaku: "Dapat uang berapa dari nulis begitu?"

Kubayangkan aku tak pernah berada di titik saat ini. 
Dua buku pertama yang ditulis hanya dalam kurang dari sebulan.

Ya, kubayangkan aku begitu. Kubayangkan aku bekerja sekuat tenaga tanpa peduli pada "segala sesuatu" atau setidaknya "beberapa aspek" yang bergerak dan terus bergerak mengitari dunia dan semesta dan selalu mengusik kepala dan batin kaum pemikir. Aku bayangkan aku menikah dengan tanpa beban pikiran apa-apa seperti kebanyakan manusia. Aku bayangkan aku memiliki banyak anak, lalu anak-anakku suatu hari nanti telah matang dengan cara mereka masing-masing dan mereka menikah dan mereka beranak-pinak, sehingga di dunia yang busuk dan fana ini, lahirlah para cucu dan buyutku dan seterusnya. Mereka mungkin masih akan mengenangku sebagai seseorang yang pernah ada di masa lalu. Suatu hari di tahun yang lama setelah detik ini, pada saatnya, aku benar-benar lenyap dari kepala mereka. Pada generasi kesekian, aku akan hilang tanpa bekas, tanpa kenangan, tanpa jejak. 

Aku bayangkan itu dengan sempurna.

Seandainya aku tak pernah menulis, aku tak mungkin pergi ke berbagai kota di seluruh Indonesia untuk menghadiri undangan khusus yang ditujukan bagiku, bagi seorang penulis. Ya, bagiku, bagi seseorang yang pernah begitu berharap memenangkan sebuah lomba demi tujuan sederhana: menyenangkan orang tua. Seandainya aku tak menulis, aku tak mungkin bisa usil dengan bersombong sedikit pada orang-orang "buta literasi" di sekitarku, bahwa jika saja suatu ketika aku nyasar ke sebuah kota oleh satu dan lain hal, aku tak perlu cemas kalau-kalau tak punya uang lebih untuk membayar tempat menginap yang aman, karena aku hanya tinggal menghubungi seseorang yang kukenal di kota itu untuk meminta bantuan memberi tempat menginap semalam di rumahnya, misal.

"Siapa orang asing yang bisa sebaik itu?"

"Mereka tidak asing. Mereka teman-teman satu spesies yang kukenal di dunia maya."

Seandainya aku tak menulis, aku juga tak mungkin belajar tentang kemanusiaan sedalam ini. Aku tak mungkin menjadi pengamat dan pendengar yang baik, karena keadaan tak memungkinkanku untuk berbuat itu. Aku tidak belajar ilmu psikologi dan mungkin saja pekerjaan yang kudapatkan sampai sejauh ini tak berkaitan dengan itu. Untuk apa itu? Untuk apa aku mendalami jiwa manusia-manusia lain, sementara semesta sering bekerja di luar nalar dan kehendak? Ada begitu banyak hal yang lebih penting dari itu, bukan?

Namun, yang terjadi justru lain. Aku berada di sini, dari saat itu hingga detik ini. Aku berada di sini dan akan selalu di sini sampai tua dan mati nanti. Aku hanya sedang membayangkan ketakutan yang tak terjadi atau batal terjadi tentang ketiadaanku di jalan literasi. Aku bayangkan jika aku tak di sini sejak hari itu, akan semurung apa hidupku pada hari ini?

Aku bayangkan itu, seperti seluruh hal di "area" literasi yang bagai kawasan purbakala bagi beberapa manusia, tak pernah benar-benar kujamah dan selalu menjadi sesuatu yang asing bagiku. Betapa mengerikan. Betapa aku hanya bisa berharap mati cepat saja daripada harus menderita tanpa berbuat apa-apa dan tak tahu apa yang mesti kuperbuat. Aku tak bisa berbuat besar, memang. Maka, biarlah aku berbuat kecil dengan tangan dan pena yang kugenggam sampai kapan pun. Biarlah perbuatan kecilku ini memberi dampak bagi entah berapa orang, baik besar maupun kecil. Setidaknya, dengan begitu, aku bisa merasa sedikit tenang kelak jika aku benar-benar harus pergi meninggalkan dunia yang busuk dan fana ini.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri