Setiap
cerpen yang saya buat nyaris tidak mengalami pembacaan ulang
sebelum saya kirim ke media atau perlombaan. Itu bukan berarti saya
tidak bertanggung jawab atau tidak ingin memastikan apa pun yang baru
saja saya kerjakan, tetapi proses memahami isi cerita yang saya tulis
sudah saya lakukan sebelum saya benar-benar menulisnya. Dengan kata
lain, sepotong ide yang muncul langsung membuat saya memikirkan banyak
hal, dan hal-hal ini selalu berakhir ke satu arah saja, misalnya: bahwa
kita tidak seharusnya mengadili seseorang atas pilihan hidupnya.
Pondasi cerita ini kemudian saya pegang dan saya membuka laptop untuk menulis opening secara acak, tentang peristiwa entah apa, tentang isi kepala seseorang yang entah siapa atau bagaimana, tentang situasi di lokasi yang entah di mana, dan lain sebagainya. Menulis opening secara acak membantu saya dalam membangun plot secara utuh tanpa terkekang. Dari yang hanya berupa pondasi dari secuil ide dan pesan moral, saya mampu membuat banyak kemungkinan soal tokoh dan peristiwa dalam cerpen dengan memulainya secara acak.
Butuh 3-4 kalimat sampai saya tahu apa yang seharusnya saya buat dalam suatu cerita. Jadi, sepotong ide tentang penceramah agama karbitan misalnya, bisa saya ubah ke dalam seratus cerita, dengan komposisi yang berbeda-beda; dengan karakter dan persoalannya yang juga berbeda, dengan situasi hati mereka yang berbeda-beda, dengan hasil akhir yang berbeda-beda, dengan latar yang berbeda-beda, bahkan dengan kegilaan yang juga tidak sama.
Penyusunan ini terjadi secara spontan karena sejak awal menulis saya sudah menjaga mindset, bahwa bercerita adalah menyampaikan kisah hidup seseorang. Seseorang dalam hal ini adalah karakter fiktif di kepala saya. Berarti, segala kemungkinan bisa terjadi padanya (selama itu logis), dan inilah yang membuat saya selalu bebas dari jerat penyakit "writer's block". Berbagai kemungkinan. Jumlahnya bisa seratus, seribu, atau bahkan jutaan.
Kita bisa saja dapat undian uang miliaran rupiah besok pagi, atau kita bisa saja dapat kesialan berupa terpeleset kulit pisang di depan kantor kecamatan. Segalanya bisa terjadi pada kita, dan begitupun para tokoh fiktif yang kita buat. Hanya saja, saya juga harus mampu mengontrol berbagai arah yang mungkin si karakter tempuh, yakni dengan tetap menjadikan pondasi cerita sebagai benang merah.
Alhasil, begitu cerita selesai, saya tidak perlu membaca ulang apa pun yang baru saja saya tulis, karena proses membangun cerita dari awal hingga akhir sudah terpikir dengan rapi sebelum dan selagi menulis.
Soal ejaan dan tanda baca? Setiap kalimat (atau bahkan kata) yang saya ketik, jika salah, pada saat itu juga segera saya koreksi. Menulis sambil mengedit ini tentu tidak mudah. Butuh waktu setahun lebih bagi saya hingga dapat melakukannya dalam sekali duduk dan cerpen itu langsung kelar. Saya ingat proses ini pertama terjadi tahun 2013 lalu. Sangat menguras tenaga dan pikiran. Tapi hasilnya dapat saya nikmati hari ini. Latihan terus menerus membuat saya dapat menulis satu cerita pendek tanpa membuang terlalu banyak waktu.
Pondasi cerita ini kemudian saya pegang dan saya membuka laptop untuk menulis opening secara acak, tentang peristiwa entah apa, tentang isi kepala seseorang yang entah siapa atau bagaimana, tentang situasi di lokasi yang entah di mana, dan lain sebagainya. Menulis opening secara acak membantu saya dalam membangun plot secara utuh tanpa terkekang. Dari yang hanya berupa pondasi dari secuil ide dan pesan moral, saya mampu membuat banyak kemungkinan soal tokoh dan peristiwa dalam cerpen dengan memulainya secara acak.
Butuh 3-4 kalimat sampai saya tahu apa yang seharusnya saya buat dalam suatu cerita. Jadi, sepotong ide tentang penceramah agama karbitan misalnya, bisa saya ubah ke dalam seratus cerita, dengan komposisi yang berbeda-beda; dengan karakter dan persoalannya yang juga berbeda, dengan situasi hati mereka yang berbeda-beda, dengan hasil akhir yang berbeda-beda, dengan latar yang berbeda-beda, bahkan dengan kegilaan yang juga tidak sama.
Penyusunan ini terjadi secara spontan karena sejak awal menulis saya sudah menjaga mindset, bahwa bercerita adalah menyampaikan kisah hidup seseorang. Seseorang dalam hal ini adalah karakter fiktif di kepala saya. Berarti, segala kemungkinan bisa terjadi padanya (selama itu logis), dan inilah yang membuat saya selalu bebas dari jerat penyakit "writer's block". Berbagai kemungkinan. Jumlahnya bisa seratus, seribu, atau bahkan jutaan.
Kita bisa saja dapat undian uang miliaran rupiah besok pagi, atau kita bisa saja dapat kesialan berupa terpeleset kulit pisang di depan kantor kecamatan. Segalanya bisa terjadi pada kita, dan begitupun para tokoh fiktif yang kita buat. Hanya saja, saya juga harus mampu mengontrol berbagai arah yang mungkin si karakter tempuh, yakni dengan tetap menjadikan pondasi cerita sebagai benang merah.
Alhasil, begitu cerita selesai, saya tidak perlu membaca ulang apa pun yang baru saja saya tulis, karena proses membangun cerita dari awal hingga akhir sudah terpikir dengan rapi sebelum dan selagi menulis.
Soal ejaan dan tanda baca? Setiap kalimat (atau bahkan kata) yang saya ketik, jika salah, pada saat itu juga segera saya koreksi. Menulis sambil mengedit ini tentu tidak mudah. Butuh waktu setahun lebih bagi saya hingga dapat melakukannya dalam sekali duduk dan cerpen itu langsung kelar. Saya ingat proses ini pertama terjadi tahun 2013 lalu. Sangat menguras tenaga dan pikiran. Tapi hasilnya dapat saya nikmati hari ini. Latihan terus menerus membuat saya dapat menulis satu cerita pendek tanpa membuang terlalu banyak waktu.