Saya selalu butuh buku bacaan. Tapi tidak semua buku dapat saya baca.
Hanya yang saya butuhkan untuk menambah ilmu (ketika riset, misalnya,
atau ketika ingin belajar sesuatu saja) dan untuk memuaskan selera baca.
Di luar urusan itu, bacaan lain yang saya konsumsi hanyalah berita di
koran. Itu pun tidak semua saya baca. Jadi, ketika datang ke suatu toko
buku, saya hanya akan berada di spot yang itu-itu saja, kecuali jika
posisi rak yang memenuhi selera baca saya dipindah. Ketika seorang teman
menghadiahi buku, akan saya cegah dia, dan memintanya menghadiahkan itu
ke orang lain, kalau buku tersebut tidak sesuai selera baca saya.
Membaca apa yang saya inginkan dan butuhkan sudah lebih dari cukup, dan tidak ada tindakan coba-coba baca buku tertentu, yang kurang membuat saya yakin akan sesuai selera baca saya. Kebiasaan ini makin disiplin saja dari waktu ke waktu. Alasannya karena ketika saya membaca sesuatu yang tidak saya minati atau tidak sesuai selera saya, bacaan itu akan menjadi tukang hipnotis. Bacaan itu hanya akan membuat saya berhenti dan berhenti di tengah jalan, dan akhirnya itu berpengaruh ke proses kreatif saya dalam berkarya. Menulis cerita hampir setiap hari tentu butuh asupan amunisi yang stabil dan memadai sesuai gaya dan rasa saya. Jika bacaan saya tidak sesuai selera, gairah menulis saat itu pun kurang terpicu. Dan ini berakibat fatal dalam proses saya.
Maka, beberapa kali, dengan berat hati dan berulang kali meminta maaf, saya tidak mampu memenuhi permintaan tolong beberapa teman untuk memberi komentar atas buku mereka yang akan terbit. Sebabnya sama; naskah-naskah itu tidak sejalan dengan selera saya. Saya bisa saja membaca sampai habis naskah milik teman-teman ini, dan memberi komentar positif di sampulnya, namun saya khawatir akan lahir ketidakjujuran dari sana (karena bacaan yang tidak sesuai selera akan sulit kita nikmati, bukan?). Di sisi lain, membaca habis naskah yang akan terbit seperti itu butuh waktu yang tidak panjang juga, sedangkan saya tidak tahu butuh berapa lama sampai saya tiba di halaman akhir tanpa kepayahan.
Bacaan teen lit, misal, yang bagi sebagian orang termasuk ringan, buat saya justru berat, karena bukan lagi selera saya. Bersyukur teman-teman tadi bisa memahami alasan saya menolak dengan halus, padahal setiap kali ini kejadian, saya yakin akan dianggap sok atau bagaimana. Ternyata tidak. Entah kalau lain orang mungkin saja terjadi. Jika saja naskahnya sesuai selera saya, tentu saya terima dengan senang hati. Sebab endorsment tidak bisa dibuat dengan alakadarnya. Endorser harus jujur dengan membaca seluruh naskah yang dia terima sampai tuntas.
Saya jadi ingat sekitar setahun lalu dimintai endorsment oleh seseorang. Tapi, dia tidak bersedia menunjukkan naskahnya. Setahu saya, endorser tugasnya adalah membaca naskah yang bakal terbit itu. Sebagai gantinya, kata seseorang ini, dia sendiri yang akan menulis endorsment-nya, namun nanti akan dipasang nama saya di belakang kalimat-kalimat promosi tersebut. Tentu saja saya tidak mau. Bukan saya yang ngendors kok ditulisi nama saya.
Membaca apa yang saya inginkan dan butuhkan sudah lebih dari cukup, dan tidak ada tindakan coba-coba baca buku tertentu, yang kurang membuat saya yakin akan sesuai selera baca saya. Kebiasaan ini makin disiplin saja dari waktu ke waktu. Alasannya karena ketika saya membaca sesuatu yang tidak saya minati atau tidak sesuai selera saya, bacaan itu akan menjadi tukang hipnotis. Bacaan itu hanya akan membuat saya berhenti dan berhenti di tengah jalan, dan akhirnya itu berpengaruh ke proses kreatif saya dalam berkarya. Menulis cerita hampir setiap hari tentu butuh asupan amunisi yang stabil dan memadai sesuai gaya dan rasa saya. Jika bacaan saya tidak sesuai selera, gairah menulis saat itu pun kurang terpicu. Dan ini berakibat fatal dalam proses saya.
Maka, beberapa kali, dengan berat hati dan berulang kali meminta maaf, saya tidak mampu memenuhi permintaan tolong beberapa teman untuk memberi komentar atas buku mereka yang akan terbit. Sebabnya sama; naskah-naskah itu tidak sejalan dengan selera saya. Saya bisa saja membaca sampai habis naskah milik teman-teman ini, dan memberi komentar positif di sampulnya, namun saya khawatir akan lahir ketidakjujuran dari sana (karena bacaan yang tidak sesuai selera akan sulit kita nikmati, bukan?). Di sisi lain, membaca habis naskah yang akan terbit seperti itu butuh waktu yang tidak panjang juga, sedangkan saya tidak tahu butuh berapa lama sampai saya tiba di halaman akhir tanpa kepayahan.
Bacaan teen lit, misal, yang bagi sebagian orang termasuk ringan, buat saya justru berat, karena bukan lagi selera saya. Bersyukur teman-teman tadi bisa memahami alasan saya menolak dengan halus, padahal setiap kali ini kejadian, saya yakin akan dianggap sok atau bagaimana. Ternyata tidak. Entah kalau lain orang mungkin saja terjadi. Jika saja naskahnya sesuai selera saya, tentu saya terima dengan senang hati. Sebab endorsment tidak bisa dibuat dengan alakadarnya. Endorser harus jujur dengan membaca seluruh naskah yang dia terima sampai tuntas.
Saya jadi ingat sekitar setahun lalu dimintai endorsment oleh seseorang. Tapi, dia tidak bersedia menunjukkan naskahnya. Setahu saya, endorser tugasnya adalah membaca naskah yang bakal terbit itu. Sebagai gantinya, kata seseorang ini, dia sendiri yang akan menulis endorsment-nya, namun nanti akan dipasang nama saya di belakang kalimat-kalimat promosi tersebut. Tentu saja saya tidak mau. Bukan saya yang ngendors kok ditulisi nama saya.