Skip to main content

Cerpen: "Memanjat Langit" karya Ken Hanggara

"Memanjat Langit"

cerpen Ken Hanggara di Radar Banyuwangi
Ilustrasi cerpen "Memanjat Langit" oleh Ken Hanggara
(Dimuat di Radar Banyuwangi, Minggu, 23 Agustus 2015)

Sumarno tahu kalau ia tidak berhenti memanjat langit, pada akhirnya ia juga tetap akan berhenti di satu titik, karena tidak ada lagi yang bisa dipanjat di atas sana. Namun tentu saja, memanjat semacam ini tidak akan mudah, karena selain ada banyak orang yang menonton, hingga membuatnya agak grogi, mereka juga pasti bakal berteriak dan melakukan apa saja agar tujuannya tidak tercapai.
Ia pandangi tempat itu dari tempatnya kini berdiri, sebuah tempat yang sudah tidak bisa dipanjat lagi, andai ia benar-benar akan memanjat dan terus memanjat tanpa berhenti. Matahari bersinar garang. Teriknya menyengat kulit Sumarno yang kelam, membuatnya tampak mengilap, bagaikan patung berlumurkan oli.
Ia menoleh kiri dan kanan. Daun-daun kering diterbangkan angin. Terdengar bunyi mesin motor butut dari jauh. Beberapa bocah tampak baru pulang dari sekolah. Mereka bercanda, tertawa cekikikan. Satu dua mobil melintas, menyisakan debu-debu kuning di udara.
"Lumayan rame. Tidak, tidak bisa sekarang!"
Sumarno tahu, tempat yang walaupun bisa dijuluki lokasi jin buang anak ini, akan dapat berubah menjadi seramai pasar malam jika ia mewujudkan rencana yang sudah muncul empat hari belakangan ini. Dan tentu ia juga tahu bahwa ia tidak mungkin berbuat sekonyol itu. Ia tidak mau jadi pusat perhatian.
"Aku harus benar-benar bisa mencapai tujuanku tanpa ada seorang pun menyadari," pikirnya berulang kali. Ia masih menatap atas, sambil membentangkan salah satu telapak tangannya agar matanya tidak silau. Setelah beberapa saat terdiam, ia tersenyum.
Sumarno melangkah dengan kemantapan hati bahwa ia tahu kapan waktu yang tepat untuk memanjat. Nanti malam, ya, nanti malam aku akan memanjat ke sana, bisiknya pada diri sendiri, lalu bersiul-siul, merasa tidak akan ada yang tahu tentang ini.
Singgah di warung Mak Jum, tukang rujak dan gorengan, Sumarno memesan kopi pahit.
"Dari mana saja, Mar? Kok tambah gosong gitu?" tanya wanita tua itu iseng.
Bukan meledek, kulit Sumarno memang dari hari ke hari tambah kelam saja, terlebih empat hari belakangan. Ia yang sudah hitam tidak bisa disebut hitam lagi, karena saking pekatnya warna hitam melumuri sekujur wajah dan badannya.
"Lha ya jadi gosong. Wong dia terus-terusan berdiri di pinggir jalan itu tiap siang, melihat langit! Gak tahu lagi nungguin apa?" sela seorang pengunjung warung, yang juga salah seorang sahabat Sumarno.
Lelaki kelam itu cuma tersenyum. Denting gelas kopi yang barusan Sumarno pesan, nyaring berbunyi di tengah kegaduhan mereka, ketika bubuk kopi itu diseduh air panas, lalu diaduk oleh tangan lincah Mak Jum yang tak henti-henti melempar senyum.
"Nunggu pesawat lewat yang mau melemparmu dengan segebok duit, Mar? Haha. Mana mungkin di jaman sesusah ini ada pesawat macam itu?" sahut yang lain.
"Memangnya jaman dulu ada?" timpal orang ketiga.
Tawa pun meledak di warung itu.
Sumarno ikut tertawa, apalagi setelah menyadari perkataan Mak Jum tadi.  Dipandanginya kulit lengannya yang hitam agak kemerah-merahan. Memang betul, kulitnya tambah gosong dari hari ke hari, semenjak ia bertekad mencapai tujuan dalam hidupnya, sebuah tujuan yang akan menjadi puncak kebahagiaannya nanti. Dan ia malah girang tak kepalang akan kenyataan bahwa kulitnya bertambah gosong bagaikan malam tanpa cahaya apa pun, meski dengan begitu malah tidak bakal ada wanita yang sudi ia dekati. Ia tak peduli soal itu lagi. Ia juga tak peduli orang-orang meledeknya mulai suka berkhayal yang tidak-tidak. Ia bahkan tak peduli mereka bilang wajahnya mirip pantat wajan.
Yang Sumarno pedulikan satu: ia harus memanjat dan memanjat tanpa henti, juga tanpa sepengetahuan orang lain. Ia harus simpan rencana ini sampai kelak pada saatnya orang-orang akan tahu sendiri alasan dia berdiri di tempat itu selama beberapa siang terakhir.
Kopi panas tersuguhkan di depan mukanya yang berminyak. Sumarno meraih gelas sekaligus alasnya, sebuah piring kecil, lalu meniup-niupnya, mengundang kepulan asap yang makin banyak menghiasi atap dan dinding warung gedhek itu. Tawa surut, berganti obrolan dengan topik lain yang bukan soal dirinya. Agar tidak ada yang curiga, sesekali ia ikut nimbrung, menyumbang beberapa lontaran, jadi kontributor talkshow di warung Mak Jum yang tak pernah sepi pembeli.
Tentu saja untuk meraih tujuannya tadi, Sumarno mesti sabar sesabar-sabarnya. Ia habiskan waktu yang sangat berharga siang itu bersama teman-teman dekatnya sesama sopir truk. Ia tidak boleh gegabah hanya karena tidak kuat menahan diri barang beberapa jam saja. Waktu kini menunjukkan pukul 15.00. Masih lama bagi Tuhan untuk mengubah warna langit menjadi segelap dirinya.
Ya Tuhan, saya minta nanti malam tolong buatlah langit ini gelap sekali, sangat gelap, segelap kulit saya yang makin gosong dari hari ke hari selama empat kali dua puluh empat jam terakhir ini, pintanya dalam hati, sembari melangkah dan memandangi langit yang kini agak kuning, tidak putih menyilaukan seperti tadi. Warung Mak Jum mulai sepi memasuki waktu ashar.
Apakah Tuhan mendengar doanya? Entahlah. Apakah Tuhan mengabulkannya? Entahlah. Semua itu tak bisa Sumarno jawab karena bahkan ia sendiri sudah sejak lama mengabaikan pengakuan tentang adanya Tuhan. Ia tidak terlalu percaya hal semacam itu, yang kadang membuat istrinya sangat jengkel dan merasa rugi menikah dengannya, seorang lelaki tanpa harapan masa depan, juga tanpa bekal mati.
Hidup hanya sekali, pikir Sumarno, mengenang wajah sang istri yang besok akan resmi menjadi istri orang. Ah, tentu saja wanita itu bukan lagi istrinya. Mereka telah lama cerai dan tadi ia dengar kabar dari kampung sebelah bahwa kini mantan istrinya sedang berbahagia. Seorang pria kaya raya melamarnya.
Dipandanginya jalanan yang sama, tempat ia tadi dan beberapa hari terakhir ini berdiri begitu saja, tidak melakukan apa-apa selain menatap langit yang mahaluas. Akankah ia berhasil, ia sendiri belum tahu. Tapi ia yakin, kalau ia tidak berhenti memanjat, sudah pasti ia akan berhenti dengan sendirinya ketika tidak ada lagi pijakan yang bisa digunakan untuk memanjat.
Barangkali jika ada yang tahu niatan ini, Sumarno sudah dianggap sinting. Tentu ia tidak mau, walau lebih suka disebut gosong, karena sinting adalah perkara yang amat memalukan baginya. Terlebih bagi seorang duda tanpa masa depan, yang ditinggal istri dengan cara yang tidak bisa disebut indah.
Oh, langit, berikan keikhlasanmu untuk kupanjat, sampai aku benar-benar tidak bisa lagi memanjat sehingga, meski tidak ingin berhenti, aku pun tetap akan berhenti karena memang tidak ada lagi yang bisa kugunakan untuk memanjat di atas sana nanti.
Begitu berulang-ulang hati Sumarno bersuara. Desir merayap ke seluruh bagian kulitnya yang mulai sejuk. Angin sore mengantar satu dua suara kehidupan. Anak-anak berangkat ke masjid, belajar ngaji, belajar tentang hidup dan Tuhan. Orang-orang dewasa pulang kerja, ada yang dari kantor, ada yang dari sawah, ada yang dari pabrik. Mereka datang dari mana saja tanpa bisa Sumarno hitung dengan cermat karena buat apa peduli kehidupan ini? Dunia dan seisinya adalah omong kosong baginya. Mungkin langit akan memberinya kebebasan seperti burung, yang jika lapar tinggal terbang saja, dan jika sedih juga tinggal terbang saja. Terbang dan terbang. Oh, alangkah senangnya bisa terbang! Alangkah mudahnya hidup seperti burung!
Sampai malam itu ia terus berharap langit menjadi kelam, sekelam kulitnya yang jauh lebih pekat ketimbang apa pun. Dan ketika tidak ada seorang pun lagi di sana, sepi melompong, hanya bunyi jangkrik dan katak bersahut-sahutan, karena jalan itu membelah sawah luas dan tak ada satu pun bangunan selain sebuah menara yang konon tidak baik bagi kesehatan seseorang yang sehari-hari tinggal di bawahnya, Sumarno memandang atas sekali lagi.
"Langit segosong diriku, walau tidak ada lagi terik matahari."
Ia tersenyum. Mimpi-mimpinya selama ini tinggal beberapa jarak.
Menara sutet itu menjulang tinggi, bagai tangga yang dapat mengantar para pencari kebebasan agar bisa segera mencapai langit. Menoleh ke kiri kanan, sekali lagi, hanya sepi tersisa, entah pukul berapa sudah, Sumarno melepas sandal jepit merek Swallow-nya, lantas memantapkan pijakan pertama di palang besi menyilang di bagian bawah menara itu.
Oh, langit, tunggu aku. Aku akan memanjat dan terus memanjat tanpa henti. Sampai tidak ada lagi yang bisa kupanjat, barulah aku akan berhenti, meski mungkin itu bukan mauku.
Sumarno pun memanjat dan memanjat. Ia tak lelah terus memanjat dan memanjat. Keringat bercucuran di dahi, wajah, leher, dada, ketiak, perut, dan di mana saja. Sesekali ia melirik ke bawah. Bumi begitu jauh, sangat jauh, bahkan ia tidak lagi ingat pernah tinggal di sana, menetap di sana, membentuk kehidupan, menanam harapan. Semua tinggal kenangan. Ia harus memanjat dan memanjat.
Entah dapat tenaga dari mana, Sumarno berhasil memanjat dengan begitu cepatnya. Ia tahu kalau toh ada yang tahu aksinya, sudah sejak tadi orang-orang menyuruhnya turun. Tapi sampai sekarang, tidak ada satu suara pun selain suara hatinya yang mengatakan bahwa ia tidak akan berhenti dan terus memanjat sampai tidak ada lagi yang bisa digunakan sebagai pijakan.
Ketika ia begitu dekat dengan langit dan angin berembus semakin kencang, serta membuat badannya yang kerempeng menggigil akibat dingin, kepala Sumarno mendadak pusing. Telapak tangannya yang basah terus bergelantungan, bekerjasama dengan tapak kakinya yang terus mencari dan mencari pijakan untuk mencapai langit. Dan saat ia sadar sudah tidak ada lagi pijakan yang bisa digunakan untuk memanjat, Sumarno tahu ia akan bebas dan lepas dari kehidupan fana yang sungguh ia benci ini. [ ]

Gempol, 2015

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, dan novel. Freelance editor yang belajar jadi wiraswasta. Juara 2 kategori bahasa Indonesia di ASEAN Young Writer Award 2014 dan menjabat Unsa Ambassador 2015.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri