Skip to main content

Cerpen: "Patuh" karya Ken Hanggara

cerpen Ken Hanggara di Radar Mojokerto
Ilustrasi cerpen "Patuh" oleh Ken Hanggara

"Patuh"

(Dimuat di Radar Mojokerto, Minggu, 16 Agustus 2015)

Martini mencengkeram lengan kemejaku. Seperti dulu. Rasa-rasanya kenangan itu berputar. "Tapi pastikan, Bung," bisikku pada diri sendiri, "ini bukan saat yang tepat untuk tangis-tangisan!" Meski begitu, aku tahu tiap wajah yang mengamati dari jauh, sebelum lenyap ditelan gelap kotak jendela jajaran rumah kardus, mulai bertanya-tanya: Kesedihan macam apa yang wanita itu bawa? Atau mungkin: Setan itu lagi, ya?
Martini, sebagaimana kenangan, akan selalu manis dan harum. Aku simpan dia di balik jaket kulit tebal dengan beberapa lubang bekas sulutan rokok teman main judi. Dia cengkeram lengan kemejaku, tak peduli sobek, tak peduli kutampar wajahnya. Tapi dia tahu aku tak 'kan begitu malam ini. Dan memang tak akan. Bedaknya rata. Dan malam yang dingin ini membuatnya pucat. Malam penuh kenangan.
"Sudah kubilang mestinya kamu makan dulu," kataku menggerutu.
Kami seberangi rel kereta. Terus jalan dalam gelap. Di jauh ada lampu. Sinarnya tak membantu penglihatan. Martini memangkas jarak. Ia tidak sekadar mengekorku, tapi mendempetku. Buah dadanya kerasa di punggungku.
"Ndak lapar, Mas."
"Ndak lapar kok pucet!"
Martini diam. Seekor anjing menyalak, lalu kaleng bergelontangan, lalu bongkahan kayu berguling dari loteng sebuah rumah. Perang kecil di komplek kumuh dekat stasiun. Entah gelandangan, entah kucing liar, lawannya. Pastinya si anjing berebut tempat enak, kalau bukan makan malam.
Dengarlah, wahai perempuanku, bahkan anjing—yang pasti korengan itu, karena tidak mungkin pudel manis berbulu bersih berkeliaran di tempat busuk mendekati tengah malam—bisa lapar, apalagi kamu.
"Mampir dulu ke Mbok Jah," kataku memutuskan.
"Ndak usah."
"Tapi kamu lemes gitu. Aku ndak mau kalau sampai orang itu minta duitku!"
Mendengar emosiku, Martini patuh. Selalu begitu. Kami belok ke kiri, ke pertigaan yang sepi. Berjarak tiga bangunan, ada warung kecil yang jual supermi dan teh dan kopi, juga pisang goreng. Martini harus makan biar tidak pingsan.
Saat itu sebuah pick up melintas. Pamuji, kawan mainku sejak kecil, yang pada masa lalu jadi kawan sesama bajingan, kadang bantu operasi kecil, bobol ruko orang pelit di pasar itu. Sekarang tobat katanya. Dasar taik. Mulai banyak orang munafik bermunculan di kota ini, dan aku tidak berharap diriku dan teman-temanku, termasuk Pamuji, ikut munafik. Sungguh kota yang malang. Kota bajingan penuh kenangan.
"Ke mana, Ndul?" sapa Pamuji dengan wajah meledek.
Begitu kutepis tapak Martini, kugegaskan kaki ke depan, meraih batu guna melemparnya, pemuda itu cepat menarik kepalanya ke bangku kemudi, lantas memacu pick up secepat yang dia sanggup.
"Asu! Asu!" umpatku yang gagal melempar, setidaknya, kaca belakang pick up itu. Sukur-sukur pecah, lalu tembus dan kena kepala Pamuji. Tapi batu itu menggelinding di bak belakang. Kudengar tawa Pamuji ditelan angin malam.
"Sudah, Mas," tegur Martini.
Ditariknya kembali lengan kemejaku yang kumal. Warung Mbok Jah sepi. Cuma ada lelaki entah siapa, ngopi di pojokan dan tampak tak sudi diganggu. Lagi pula ndak bakal juga aku ganggu. Wong tidak kenal.
"Supermi satu, teh panas satu, kopi satu," pesanku.
Mbok Jah mantuk[1], lalu ke belakang.
"Mas ndak makan?"
"Aku? Lapo[2]? Aku besok pagi bisa. Besok siang juga oke. Gampang! Yang penting kamu makan dulu."
Martini menunduk lesu. Kuambil sepotong pisang goreng, kugigit, kukunyah, kutelan, hanya agar perempuan ini bisa sedikit tenang dan tidak gugup malam ini. Juga biar supermi itu tandas ke perutnya yang langsing tanpa perlu kudesak-desak sambil mengancam membakar buku sekolah anaknya.
Begitu Mbok Jah keluar dengan nampan, Martini berdiri.
"Mau ke mana?"
"Perutku mual, Mas."
Tanpa menunggu responku, dia langsung keluar dan muntah-muntah di selokan. Aku melompati jendela dan memaki perempuan itu, "Jangkrik! Kamu bikin kacau? Mau bikin kacau? Sengaja? Mau kubakar bukunya? Atau rapornya sekalian? Seragamnya sekalian?!"
"Jangan, Mas! Jangan!" Martini memohon lesu. Bedak di pipi dan sekitar bibirnya luntur. Ia tergesa mengambil tisu dari tas, dan dengan sedikit gemetar mengusap bekas muntahannya.
"Lapo seh? Kok bosen aku ben dino tukaran ae!"[3] sela Mbok Jah. Tak kugubris. Lelaki asing itu melirik, lalu kembali menekuni kopinya. Diseruputnya cairan hitam itu perlahan, seolah waktu selalu malam, seolah waktu membeku.
Kutarik Martini dan memaksanya duduk. Semangkuk supermi sudah matang dan siap disantap. Dia menatap makanannya tanpa selera. Kuambil sepotong lagi pisang goreng dan langsung mencaploknya.
"Hmm... Kamu lihat ... Aku makan segini ...hmm... lahap! Ndak usah kuatir!"
Martini melirikku, lalu menunduk, dan menangis. Dia menangis sambil berkata jangan sampai ada yang dibakar. Apa pun itu. "Lebih baik bakar aku saja," katanya, tapi kubilang aku cinta dia dan aku tidak sesinting itu. Bisa masuk penjara dan Pamuji bangsat itu bakal senang dong? Tidak, tidak. Lalu aku bilang itu tidak akan terjadi kalau dia paham. Mbok Jah dan lelaki asing diam di kursi mereka. Semua seperti tuli.
Martini, dengan sisa isak, usai rasa mual agak sirna, mengambil sendok dan garpu. Dengan wajah kian memucat, ia mulai sentuhan pertama menarik gulungan mie yang masih panas itu. Dipilin dan dipilin hingga beberapa senti, lantas dipaksanya masuk ke rongga mulut.
"Nah, gitu. Makan yang kenyang."
Sambil menunggu waktu temu dengan seseorang, juga supermi itu habis, kuseruput kopiku yang mulai hangat. Lelaki asing selesai. Ia bangkit dan membayar. Lalu berjalan melewati punggungku. "Heh," kataku kasar. Ia berhenti, tidak menoleh. Bau jaket yang sengak. "Dari mana?"
"Jatirejo," jawabnya singkat.
"Hendro?" kataku, lebih kepada memastikan ketimbang menebak.
Lelaki asing balik badan. Ia lepas topi. Dan dengan jelasnya dia berkata, "Betul."
Saat itu kutangkap sorot mata nyalangnya. Mata gelap buas, tapi terkendali. Tapi mata itu lari dari kenyataan. Dialah yang mengirim pesan singkat padaku dua hari lalu. Pesanan spesial. Mantan kembang desa yang tidak kehilangan kecantikan, sebagaimana masa lalu; selalu manis dan harum. Dan aku balas dengan nego alot hingga kata deal menutup obrolan via telepon ketika itu.
"Lumayan. Biar tidak ada bakar-bakaran. Bukan begitu maumu?" Pertanyaan itu yang meluncur dari bibirku, saat melihat perempuan itu berdiri dengan mata penuh rasa takut malam itu.
"Saya Budi. Biasa dipanggil Gundul," kataku menjabatnya. Ia masih berdiri kaku di depanku.
Aku tahu Martini belum selesai. Sepanjang siang ia kurang enak badan. Dibawa ke dokter, tidak mungkin. Uang tidak ada. Kurasa aku tidak terlalu kejam membiarkannya pingsan. Maka kusuruh dia makan. Ketika mendengar jawaban si lelaki asing, Martini tersedak, dan tidak mau meneruskan makan lagi. Mbok Jah menyodorkan segelas teh hangatnya.
"Percaya toh?" tanyaku memandang antusias wajah Hendro dan sesekali menoleh Martini yang berusaha sekuat tenaga menahan kesal di dada. Kalau saja dari balik kulit mulus menonjol itu bisa kulihat jantungnya, barangkali organ tubuh itu sedang terpacu di batas maksimal. Butir-butir bening keringat bermunculan di sana.
"Ada Mbok Jah. Saksi kalau sampean ndak percaya! Haha!" tambahku.
Wanita tua pemilik warung mengelus dada. Hendro dengan wajah datar duduk di kursi depan warung. Tanpa bicara mengambil sebatang rokok dari kantung jaketnya, menawariku. Lalu dia sulut rokoknya sendiri.
Sementara Martini menandaskan tehnya, aku membayar Mbok Jah. "Orang mana lagi?" tanyanya, seolah tidak dengar jawaban Hendro. Dan setiap pertanyaan macam itu datang dari bibir tipisnya, rasanya ingin kukepruk muka tua bangka ini pakai palu. Ikut campur urusan orang. Mending pikir kuburan. Sudah bau tanah!
Selesai urusan warung, kami bertiga jalan ke tempat tujuan, tempat yang mestinya jadi lokasi Hendro menunggu. Tidak jauh dari pertigaan ada losmen mungil. Pemiliknya sudah hafal dan setuju harga yang kuminta untuk sewa kamar semalam. Losmen busuk bau tengik. Losmen kenangan. Sisa masa lalu menempel di dindingnya, di kasurnya, di pintunya, di seprei... sebagaimana Martini yang sama dari waktu ke waktu. Losmen sarang setan, kata anak-anak. Rumor yang ditanam biar mereka tidak rusak. Padahal setan-setan itu julukan buat orang macam aku.
Tapi di lobi Hendro berhenti. Ia buang puntung rokok yang tinggal sebelah, lalu diinjak, dan meraih dompet di saku celana. Empat lembar seratus ribuan diserahkannya padaku. Aku meringis dan mendorong Martini yang sejak berangkat tadi, dari meter ke meter, kian menempel dan mendesakku hingga darah berdesiran dalam tubuhku akibat buah dadanya.
Aku belum sadar saat sekali lagi Martini menempel padaku, sementara aku sibuk menata duit di dompet, bahwa sudah sejak semenit lalu Hendro pergi. Sebuah taksi melesat meninggalkan losmen. Aku melongo. Martini kembali menggandengku.
"Bangsat! Buat apa dia kemari?!" kataku tak percaya, meski senang dapat uang.
"Ya bagus toh, aku ndak perlu kedinginan!"
"Kamu apakan dia?!"
"Ndak tahu. Dia pergi sendiri kok, Mas!"
"Yakin?"
"Yakin!"
Resepsionis bermuka kecut menunggu kepastian sambil menghela napas keras. Kulempar rokok pemberian Hendro yang belum kusulut. Kami pulang. Di jalan Martini kian merapatkan tubuh padaku. Kadang dia memohon jangan sampai membakar sesuatu lagi. Kadang dia memohon agar sedikit memberi pengertian, misal libur sehari dua hari.
"Kamu sudah untung tidak ada yang kubakar!"
"Tapi kamu yang paling diuntungkan, Mas. Istrimu mau kamu jual. Maka apa aku salah meminta pengertian?"
Kutatap mata Martini. Masa lalu, kenangan, berputar di sana. Rasanya tidak ada yang beda. Manis dan harum. Selalu begitu. Dan patuh, meski harus menelan batu. [ ]

Gempol, 16 Juni - 10 Agustus 2015

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, resensi. Freelance editor yang belajar jadi wiraswasta. Juara 2 kategori bahasa Indonesia di ASEAN Young Writer Award 2014 dan nominator (4 besar) ajang Siwa Nataraja Award 2015 kategori cerpen. Kini menjabat Unsa Ambassador 2015.


[1] Mengangguk.
[2] Kenapa?
[3] Kenapa sih? Bosan saya, setiap hari bertengkar saja!

Comments

Post a Comment

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri