Skip to main content

Cerpen: "Orang-orang di Balik Jeruji" karya Ken Hanggara

"Orang-orang di Balik Jeruji"

cerpen Ken Hanggara di Radar Bromo
Ilustrasi cerpen "Orang-orang di Balik Jeruji" oleh Ken Hanggara
 (Dimuat di Radar Bromo, Minggu, 30 Agustus 2015)

Aku tak peduli seorang pembunuh sekalipun berada di dekatku. Aku juga tak peduli andai dia membunuhku detik itu. Aku tak kenal takut. Ketakutan adalah bagian dari keseharianku. Tempat di mana aku hidup adalah tempat orang-orang terjebak oleh dosa mereka sendiri.
"Kenapa kau ada, kalau hanya untuk membuat manusia sepertiku terbuang?" tanya Gusti, lelaki kurus yang sebulan ini lebih sering mengerang di pojokan. Menangisi ibu di kampung.
"Untuk mengajarimu banyak hal," tukasku.
Ada tawa dari sisi gelap ruangan. Tawa dari bibir yang direkayasa Tuhan guna menghisap darah sesama. Dialah kematian, pembunuh yang tujuh hari terakhir melengkapi kami.
"Kenapa? Bukankah kau menginjak puncak lebih tinggi?" tanyaku sinis.
"Maksudmu?"
"Kau tahu. Dia domba tolol dan kaulah serigala!"
Hening. Gusti menyapu keringat yang bersarang di wajah dengan telapak kiri. Dia tampak tak peduli. Namun menggigil dan tatap matanya tak lepas menjerat ubin penjara. Ketakutannya melebihi apa pun.
"Apa salahmu?" si pembunuh bersuara. Bukannya menjawab pertanyaanku, dia memindah tempat duduk lebih dekat pada Gusti. Untuk sesaat, si ceking serupa arca. Barangkali arca ajaib, karena hanya hidung yang kembang kempis. Tubuh dan kaki membatu.
"A, aku... maling ayam," jawab Gusti patah-patah. Banci! Kupikir cuma dia yang lemah di sini.
Tapi orang-orang tahu. Tak ada yang berani bertanya atau sekadar memancing obrolan dengan si pembunuh, yang kemudian mengenalkan diri sebagai Jarot. Dari penampilan luarnya orang sudah menebak bahwa hidupnya hanya untuk darah dan kematian. Mungkin resolusi hidupnya jauh lebih buruk dari itu. Siapa tahu?
Kematian boleh berada, bahkan menjadi bagian dariku, namun mereka nyawa yang hidup di balik kegelapan. Adalah keharusan untuk menjadikan tempat ini lebih nyaman, walau upaya itu nyaris mustahil. Lagi pula itu satu-satunya alasan aku ada.
Jarot merayap ke sisi lain. Berjabat tangan dengan pria berwajah persegi, Jarot menagih sebuah cerita. Lain Gusti, lain Panca. Sejak mengenalku, Panca si muka persegi ini tak banyak omong. Pernikahan sang kekasih membuatnya sakit hati. Sudah diselingkuhi, ditinggal kawin! Ia bawa pitbull sambil menenteng surat undangan. Si anjing menyerang mempelai pria saat resepsi digelar. Ia mati dengan luka mengerikan.
Kembali tawa terdengar. Pembunuh itu sembarangan menertawakan masa lalu. Namun ada perubahan di diri Panca. Dia bisa meredam diri, lebih-lebih di depan tukang jagal yang terus menerus meringis dan menelanjangi semua orang dengan tatapan anehnya. Tak tahu apa yang terjadi bila Panca marah. Bisa-bisa tempat ini jadi kuburan.
Lelaki berkumis memperhatikan kami berempat. Sebatang rokok terlelap di tepi bibir. Sejak dulu terjepit di sana tanpa pernah menyala. Para sipir melarang siapa pun membawa korek. Mungkin tak mau orang-orang membakar diri karena frustasi.
"He, pak tua! Kemari!" sapa si pembunuh.
"Terima kasih. Aku tak bisa meninggalkan dia," jawabnya seraya memeluk sosok tak terlihat. Sudut ruangannya terlalu gelap.
Pak Nur, begitu kami memanggil si tua, sesepuh di sini, figur bijak di balik buruk rupa. Ialah tempat penumpahan masalah untuk mengubahnya menjadi harapan. Tapi, harapan memang tak pernah melebihi ujung jari. Berada di sini membuatmu tak berdaya mengubah keadaan, kecuali bila petugas mengacungkan telunjuk padaku.
Lain Panca, lain Pak Nur. Ia misteri tak terpecahkan. Aku kira Pak Nur jelmaan malaikat yang diutus Tuhan untuk mencatat dosa para bajingan selama dikurung. Namun betapa imajinasi itu liar berpilin-pilin tak keruan, nyatanya ia manusia.
"Kuserahkan hidupku pada Dia yang memberi nyawa. Apa daya mengubah takdir?" begitu katanya selalu, saat kutanya mengapa dia tak membela diri atas hukum yang diperjualbelikan. Pak Nur manusia tak bersalah yang rela tidur di tempat pesing ini. Entah siapa yang memulai dan bagaimana itu terjadi.
Di sisi Pak Nur, dalam kegelapan itu, ada sosok bernama Harun. Dia yang termuda. Harun rindu pada ibunya. Dia tak tahu mengapa orang-orang mengurungnya. Setahu dia, malam itu seorang teman membuatnya sial. Setelah didesak, kepada Jarot ia bertutur, "Aku punya teman. Dia ada di pikiranku, di atas genteng, di kebun, di sawah, di dahan pohon, di puncak Penanggungan, di mana-mana, bahkan sekarang dia di samping Gusti! Tapi dia berkhianat. Suatu pagi dia membunuh Ibu. Malam itu dia kembali untuk membunuhku!"
Harun memang sinting. Padahal orang tahu ibunya mati karena penyakit jantung, bukan dibunuh. Suatu malam ia mengamuk dengan membawa pisau ke mana-mana. Para tetangga kesal dan membiusnya, lalu membawanya kemari. Penjelasan tentang teman—yang entah siapa itu—tak lebih dari khayalan.
Pak Nur menjadi ayah bagi Harun. Ia perlakukan Harun layaknya anak sendiri. Hari-harinya membaik. Tapi kedatangan Jarot, sosok yang seakan mengisap darah buat sarapan, membuat si pemuda menciut di balik ketiak Pak Nur.
"Kemari, Nak!" ajak si pembunuh.
Harun menggeleng. Dipeluknya erat-erat lengan Pak Nur, lalu menangis.
Menit berlalu lamban. Bukan sesuatu yang aneh pembunuh macam Jarot dibenci. Apalagi kisah yang ia bawa jauh lebih menarik dibanding siapa pun. Karena tak ada yang bicara, tanpa disuruh ia bercerita. Dalam sebulan ia menghabisi lebih dari dua puluh nyawa. Angka yang fantastis bagi pemula sepertinya. Jarot tampak puas dengan pencapaiannya.
"Kenapa kamu segila itu?" tanyaku.
"Tidak. Aku membunuh untuk kesenangan."
Bohlam di langit-langit membuat situasi kian mencekam, terlebih bagi Gusti dan Harun. Meski sudah pagi, tempat ini tidak cukup terang. Terletak di bawah tanah, seseorang sengaja mendesainnya agar jauh dari sinar matahari. "Para pendosa tak pantas dapat kehangatan. Sepatutnya hukuman berat buat mereka!" katanya, dulu, waktu aku pertama kali merasa hidup.
Panca tiba-tiba berdiri dan melangkah menuju pintu jeruji. "Ada penghuni baru!"
Jarot dan Gusti ikut berdiri.
Lelaki tambun masuk usai kepala sipir mempersilakannya memilih tempat. Tak disangka, ia memilih sel kami yang busuk. Anehnya, Jarot yang kekar dan penuh tato pada tubuhnya, menggigil tak keruan.
Setelah kuperhatikan, rasanya kukenal penghuni baru itu. Aku sadar, kedatangan Jarot yang psikopat belum cukup melengkapiku. Pada detik inilah kelengkapan itu ada. Kukira pengkhianat sepertinya tak pernah sejajar dengan kami. Baru-baru ini kulihat wajahnya di TV. Berita korupsi, semacam itulah.
Syukurlah, ini mimpi. Kukira selamanya aku menjadi jeruji.

2014-2015

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri