Skip to main content

Cerpen: "Ditolak Bumi" karya Ken Hanggara

cerpen Ken Hanggara di Minggu Pagi
Ilustrasi cerpen "Ditolak Bumi" oleh Ken Hanggara

"Ditolak Bumi"

(Dimuat di Minggu Pagi (KR Grup), Jumat, 21 Agustus 2015)
 

Malam itu kampung dilanda hujan lebat. Laut seolah tumpah dari langit. Lentera menggantung layu, berkali-kali padam oleh angin. Hanya dengan bantuan senter—atau sesekali cahaya petir—seseorang bisa melihat dengan jelas. Semua itu tak menghalangi kedatangan pelayat ke rumah Sukarman.
"Tapi hujan terlalu deras. Apa tidak bisa kita tunggu satu-dua jam dulu?" Mursid si penggali liang lahat mengajukan usul. Sebagian setuju. Tak mungkin mereka menerabas hujan disertai angin kencang, apalagi dengan membawa keranda mayat.
"Kita tidak bisa nunggu. Jenazah ini harus dimakamkan malam ini!" tukas Samijan, ketua RT.
Langit berdeham, seiring munculnya wajah-wajah putus asa yang saling melempar pandang. Bunyi alam menggetarkan jendela teras depan Sukarman yang terbuat dari kaca, menimbulkan kepiluan di hati setiap tamu. Bertambah pilu dengan raungan Asri, istri Sukarman. Sejak tadi ia menangis. Para warga sebenarnya lebih memihak pada apa yang Samijan ingini, meski hujan segila ini mengguyur kampung. Mereka tak tahan bila terus di sini lama-lama.
"Aku setuju. Lebih baik dikubur malam ini. Aku sudah tidak kuat. Kepalaku serasa pecah!" Darmaji angkat bicara. Lelaki yang biasa menjunjung tinggi nilai tata krama itu, mendadak terang-terangan. Kata-katanya keluar tanpa basa-basi. Semua paham. Dari tadi ia tak henti muntah. Bibirnya basah, penuh air liur. Keringat bercucuran di wajah. Berkali-kali temannya menyodorkan botol minyak kayu putih. Ini disebabkan kondisi jenazah yang tidak wajar.
"Tapi jalan ke kuburan buntu. Mau lewat mana?"
"Mana saja. Yang penting jenazah ini segera dikubur!"
Mul dan beberapa kawan hansip mengambil keranda yang sore tadi dibiarkan di sudut teras. Mereka membersihkannya dulu sebelum meletakkan mayat Sukarman. Karena lama menunggu, hujan lebat membuat benda yang terbuat dari bambu itu kotor.
"Buat apa dibersihkan? Nanti kotor lagi!" celetuk seseorang. Samijan mendelik. Selama ini, kampungku tak pernah mengalami kejadian aneh. Jika ada kabar duka, yang terjadi hanya proses pemakaman pada umumnya.
Tapi kematian Sukarman sungguh beda.
Sore tadi, para bocah menemukan Sukarman terbujur di kebun belakang. Mereka hendak nyuri mangga, tapi urung lantaran takut melihat mayat. Kulitnya yang putih jadi biru keungu-unguan. Luka menganga di sana-sini dirubung lalat. Matanya melotot. Perutnya buncit. Darah dan nanah mengental di liang-liang tubuh.
"Padahal dia tidak sakit. Bahkan kemarin ngopi di warung Mak Ijah. Dia sehat. Bagaimana mungkin bisa mati seperti itu kalau bukan diracuni?"
Orang-orang memindah tubuh Sukarman yang dirubung lalat dari kebun ke teras rumah. Banyak yang tidak sanggup. Hujan deras membuat kulit perut mayat itu robek. Buncah cairan pekat busuk, dengan belatung merayap-rayap, berjejalan, tak keruan banyaknya. Tak ayal orang-orang tersentak dan si mayat jatuh berdebum.
"Ayo, jangan pengecut! Kasihan Sukarman!" pekik Samijan. Sebagai ketua RT, ia merasa bertanggung jawab. Dengan sedikit memaksa, ia berhasil membuat orang-orang yang lebih kuat untuk membantu mengangkat tubuh Sukarman ke tempat yang teduh.
Sampai di teras, angin mulai kencang. Diutuslah Mursid dan Tomo menggali kubur. Namun belum sampai kuburan, mereka pulang. Kalang kabut gara-gara tiang listrik di mulut gang roboh. Angin kencang membuntu akses menuju tepi timur kampung. Kabel listrik yang putus menimbulkan percikan api dan dapat sewaktu-waktu membunuh. Padahal tak ada jalan lain menuju kuburan.
Samijan pusing tujuh keliling. Atas saranku, lebih baik kami mandikan mayat dulu, baru memikirkan bagaimana membawanya ke kuburan. Namun tak ada yang mau. Tak ada yang berani memandikan jasad sarat belatung. Orang-orang berdebat soal apakah jenazah itu dimandikan atau tidak. Saat itu dua pemuda hendak memindah dipan tempat tubuh Sukarman tergeletak ke sudut teras yang agak jauh. Samijan melarang. Bisa-bisa mayat itu tertimpa hujan.
"Masih untung kami datang! Kami bisa pulang sekarang!"
Terpaksa Samijan mengizinkan. Berulang kali ia menepuk jidat, tanda pening tak usai. Apalagi perdebatan soal memandikan jenazah menemui ujungnya. Sebagian besar sepakat untuk langsung menguburkan.
"Bagaimana kita menyalatinya kalau tidak lebih dulu dimandikan?" Samijan cemas. Tak ada yang mendukung. Aku sendiri pasrah. Betapa malang nasib Sukarman. Hidup macam apa yang ia lalui hingga harus menderita sebegini parahnya di saat mati?
"Langsung dikubur, ndak usah pakai salat. Beres!" celetuk Tomo, yang sejak tadi menggulung muka. Tak ada yang menyanggah. Bicara di waktu seperti ini, sama halnya dengan mengalah untuk mengurus jenazah sendiri.
Kupandangi Sukarman. Alangkah malang. Kulitnya menghitam dan gosong. Bau busuk kian menyengat setelah hujan menerjangnya. Darah pekat yang tadinya kental, kini mengalir, menyusuri kulit melepuh di sepanjang lengan jenazah, lalu jatuh setetes dua tetes dari ujung kuku. Menimbulkan bercak-bercak nanah di lantai.
Samijan mondar-mandir. Sesekali melirik pintu. Di ruang tamu, ibu-ibu mengurus Asri yang pingsan. Perih Samijan membayangkan duka Asti lantaran kondisi jasad sang suami mengenaskan.
"Ini bukan pembunuhan. Tidak mungkin dalam waktu kurang dari dua jam, tubuh manusia membusuk separah ini." Sunaryo, yang belasan tahun jadi tim forensik, dianggap paling paham perkara mayat. Ucapannya menegaskan ada sesuatu di balik semua ini. Padahal semasa hidup Sukarman pendiam dan ramah. Ia warga yang baik. Satu-satunya hal yang menerbitkan tanya hanya soal kekayaannya yang melimpah.
Samijan mengajak beberapa orang memindahkan Sukarman ke keranda. Mereka terperanjat saat sebelah tangan mayat itu mendadak patah. Dilepaskankah tubuh itu dari genggaman, hingga terhempas ke lantai. Hanya Samijan dan Mursid yang bertahan. Ketua RT lagi-lagi berteriak, "Ayo, jangan pengecut!"
Kami bergegas mengangkat mayat itu lagi. Aroma amis campur hangus mencekik. Lidahku mendadak pahit. Perutku bak diaduk puting beliung. Darmaji yang membantu mengangkat, memuntahkan kembali isi lambung. Kawanan belatung yang menggeliat di perut jasad bermandikan cairan kuning muntahan Darmaji. Berenang-renang, berpesta pora! Samijan merunduk. Asri yang barusan siuman, meraung-raung melihat Darmaji memuntahi jenazah suaminya.
Setelah membungkus keranda dengan terpal, kami berjalan menembus hujan. Jalan kampung tergenang air setinggi mata kaki, menyulitkan yang menggotong keranda. Sebab itu tubuh Sukarman berkali-kali jatuh berkalang lumpur, berguling-guling di sela kaki pengantar. Berkali-kali pula keenam penggotong saling mengumpat, menyalahkan satu sama lain.
Jarak berkilometer kami tempuh, melalui hutan di kaki gunung sebelah selatan, lalu memutar ke timur, melalui desa tetangga untuk sampai ke pemakaman. Gara-gara tiang listrik terkutuk kami harus bersabar. Memutari kampung lebih baik ketimbang melawan risiko tersengat listrik bertegangan tinggi.
Akan tetapi, perdebatan kembali terjadi. Jalan setapak di tepi hutan buntu. Bukit yang bersebelahan dengan gudang tua dekat tikungan—yang juga menjadi satu-satunya harapan terakhir untuk sampai ke kuburan—tiba-tiba longsor menimbun jalan. Samijan menangis. Baru kali ini ia tak sanggup memecahkan persoalan sepele: mengantar mayat salah satu warga untuk sampai ke peristirahatan terakhir. Keputusan harus diambil. Darmaji dan sebagian besar orang pergi meninggalkan kami, pulang.
"Apa yang harus kita lakukan, Jan?" tanyaku.
Samijan membisu. Dipandanginya jurang yang membentang di samping kiri. Nun di bawah, terhampar aliran sungai besar yang berasal dari barat. Musim hujan membuat sungai itu bak mesin pembunuh. Jika terjatuh dan hanyut, dapat dipastikan hilang tanpa jejak. Mendadak wajah ketua RT itu kinclong. Aku tersentak.
"Sudah takdirnya, Gus. Bumi menolaknya. Apa lagi yang bisa kita perbuat?"
Aku pasrah saat Tomo dan Mursid menggelontorkan tubuh itu ke bawah, dengan penuh rasa bersalah.
"Kalau Asri tahu?"
"Besok pagi kalian pasang patokan[1]-nya," tutup Samijan.
Sejak dulu, orang kampung berkeyakinan, bahwa meski punya kedudukan penting sekalipun, abdi negara setingkat Sukarman tidaklah mungkin sekaya itu. [ ]

Gempol, 2014-2015

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, resensi. Freelance editor yang belajar jadi wiraswasta. Juara 2 kategori bahasa Indonesia di ASEAN Young Writer Award 2014 dan nominator (4 besar) ajang Siwa Nataraja Award 2015 kategori cerpen. Kini menjabat Unsa Ambassador 2015.


[1] Batu nisan.

Comments

  1. Mantap Ken! :)
    ada feenya di Minggu Pagi ya?

    ReplyDelete
  2. Keren, suka. Endingnya itu sesuatu banget ^_^ . Memiliki makna tersirat

    ReplyDelete

Post a Comment

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri