(Dimuat di Radar Banyuwangi, Minggu, 5 Agustus 2019)
Aku tidak bisa tidur karena setiap malam selalu saja ada suara-suara aneh dari arah kamar tamu. Aku tahu kamar tersebut adalah kamar terbusuk yang ada di rumahku ini. Aku sengaja membeli rumah dengan harga murah, karena uang yang kudapat dari jual warisan Bapak tidak banyak. Aku masih menganggur dan butuh modal membangun toko cat. Dengan harga semurah apa pun, sebuah rumah akan kubeli selama itu pantas.
Nyatanya, rumah yang kubeli ini pantas. Kondisinya baik, bahkan beberapa ruang bersih dan seperti belum lama direnovasi. Hanya saja, ada salah satu kamar yang terlihat kotor. Kata mantan pemiliknya, "Seharusnya itu kamar tamu. Hanya saja, karena tidak ada ruang buat menampung barang rongsokan, untuk sementara jadi gudang. Jika Anda mau, silakan saja dibereskan."
Pada saat itu aku hanya mengangguk. Jarak dua atau tiga hari setelah menempati rumah ini, muncul pikiran bahwa sebaiknya kamar tersebut memang harus kubereskan. Dengan waktu yang banyak tersita untuk memulai bisnis toko cat, aku tak dapat terlalu serius membuat kamar itu tampak sempurna. Usaha alakadarnya menghasilkan kamar dengan aroma pengap. Apalagi, setelahnya kubiarkan kamar tamu itu dalam keadaan tertutup.
Setelah usaha pembersihan ini, tiap malam muncul suara-suara dari kamar tersebut. Mulanya kupikir sekelompok bajingan mengerjaiku, tetapi, ketika kuperiksa, kamar itu kosong. Kutelusuri suara itu dari arah lain, tiba-tiba mendadak sepi. Begitulah yang terjadi tiap malam. Aku tidur, lalu bangun oleh suara-suara, dan ketika kuperiksa, rumah mendadak sepi.
Kamar tamu yang sebenarnya tidak terlalu penting ini memang sengaja tidak kuisi berbagai perabot. Hanya ada tempat tidur biasa dengan seprei putih bekas yang jarang kupakai. Lalu ada meja dan kursi kecil yang kukira bakalan ambrol kalau kududuki. Itu saja isi kamar tamuku.
Suatu ketika aku berdiri tepat di depan pintunya dan mendengar suara semacam pesta dengan obrolan ke sana kemari oleh beberapa orang. Setelah pintu kubuka, yang ada di kamar tamu ini hanyalah perabot-perabot tak berguna tadi. Aku benar-benar tidak tahu apa yang baru saja kulihat. Apa ini halusinasi?
Di malam yang lain, dengan persiapan lebih teliti, kutunggu sekali lagi saat suara- suara tersebut muncul. Tepat di saat suara aneh pertama terdengar, yang biasanya cuma berupa suara batuk seorang lelaki atau sapaan berupa 'hai' atau 'hallo', kudobrak pintu tersebut dan sekali lagi yang kulihat hanyalah perabotan jelek milikku.
"Benar-benar kosong," kataku ke seorang teman yang suatu kali mampir menginap. Mendengar seluruh ceritaku, dia bukannya merinding dan pamit pulang langsung, walau hari sudah terlalu malam, malah memintaku menyediakan selimut agar tidak menggigil di malam hari.
Aku pun membiarkan temanku tidur di kamar berhantu tadi. Aku tahu tidak ada manusia yang bisa membuat keusilan tak masuk akal. Bagaimana mungkin secara cepat seseorang menghilangkan suara-suara dari kamar tertutup? Kalau saja ada yang sengaja menaruh pemutar kaset di sana, harusnya jendela kamar itu rusak. Toh, satu-satunya akses ke kamar tamu hanyalah melalui satu pintu yang tersambung ke ruang tengah.
"Apa sebaiknya pintu ini kubuka?" tanyaku pada temanku setelah dia masuk kamar tamu.
"Oh, tidak. Aku tidak pernah bisa tidur kalau pintu kamar harus terbuka. Kecuali di terminal, tentu saja, tidur di kamar mestinya harus ditutup," tukasnya dengan tersenyum jahil.
Aku hanya diam. Kukira temanku ini belum kena batunya. Sekarang dia bercanda. Tunggu sampai tengah malam, baru tahu rasa. Pada saat itulah dari kamar tamuku ini muncul suara-suara yang mulai membuatku takut dan menyesal telah membeli rumah dengan harga murah.
Memang betul. Selang dua jam setelah temanku masuk kamar, muncul juga suara itu. Kali ini aku tidak berdiri tepat di depan pintu, tetapi berbaring di kamarku sendiri. Seperti biasa, begitu mendengar suara-suara itu muncul, aku bangkit dan memeriksanya. Karena kali ini kamar itu benar-benar berfungsi sebagaimana mestinya, agak merinding juga saat melangkah ke sana. Apa yang terjadi pada temanku?
Anehnya, setelah pintu kubuka, temanku masih berbaring di tempatnya. Malahan terkesan seakan tidak terjadi apa-apa. Dia begitu pulas, padahal aku tahu temanku yang satu ini tidak pernah tidur senyenyak itu. Dia mendengkur dengan suara yang keras dan teratur. Dia bahkan memeluk gulingnya yang busuk dan berbelang seakan-akan benda sial itu semacam bidadari yang rindu kehangatan lelaki.
Esoknya, kutanya apa saja yang dia alami. Dia mengaku tidak mengalami hal-hal seperti yang kuperingatkan. Katanya, "Justru tidurku nyenyak, Bung! Pokoknya kamar tamumu top!"
Kami sarapan dengan kondisi yang sangat ganjil. Dia makan dengan lahap. Di sisi lain, aku sulit menelan makananku karena terus kepikiran bagaimana mungkin tidak ada gangguan apa pun yang dia alami? Karena jarang tidur nyenyak, kepalaku juga terasa sangat pusing. Setelah mendengar pengakuan temanku, aku jadi jauh lebih pusing.
Temanku cemas menatapku yang terlihat tertekan. Dia bertanya apa mungkin ada masalah besar yang sedang kuhadapi, sehingga demi mengalihkan perhatian, aku coba mengarang-ngarang cerita tentang kamar tamu berhantu?
"Tentunya tidak! Aku pusing karena kurang tidur! Dan kamar tamuku itu memang ada hantunya!"
Dia terlihat berpikir dan kemudian mengaku telah bermimpi aneh ketika tidur di sana. Di mimpi tersebut, dia bertemu bidadari yang cantik yang memaksa dirinya untuk mau jadi suaminya.
"Pokoknya tidak pernah ada mimpi sebagus itu, Bung," tuturnya berapi-api. "Aku ini kurang jelek apa? Wajah begini. Dompet juga sering kosong. Bagaimana bisa cewek ini ngebet jadi istriku? Eh, ternyata dia bidadari!"
Temanku melanjutkan ceritanya tentang mimpi semalam. Bahwa si bidadari yang memaksanya kawin itu pada akhirnya memang dinikahinya. Ia hidup bahagia beberapa bulan lamanya di alam mimpi, padahal hanya tidur dalam semalam.
"Rasanya memang seperti hidup berbulan-bulan lamanya. Makanya aku heran saat bangun. Oalah, cuma mimpi!"
"Berbulan-bulan?"
"Iya."
Aku coba membayangkan bagaimana rasanya mengalami satu mimpi dalam waktu berbulan-bulan. Sulit membayangkan, karena ukuran waktu di alam mimpi tak pernah pasti. Sering kita merasa di alam mimpi itu waktu tak berlaku. Hanya saja, temanku menjelaskan bahwa secara sadar, saat di alam mimpi itu, dia memang merasakan hidup selama berbulan-bulan sebagai suami seorang bidadari.
Temanku pergi setelah sarapan, tetapi ceritanya mengendap di kepalaku dan sulit hilang. Saat ke toko cat yang baru kubangun, tidak sengaja kutabrak sebuah gerobak soto, karena terlalu banyak melamun. Karena tidak sanggup konsentrasi ke urusan toko, dan karena belum ada satu pegawai pun yang kudapat sampai hari ini, akhirnya hari itu kututup toko lebih awal.
Aku terus berbaring di tempat tidurku sepanjang sisa hari dan memikirkan tentang mimpi aneh temanku. Ketika malam tiba, karena frustrasi dan tidak tahu harus memakai cara apa supaya aku dapat tertidur nyenyak, kuputuskan untuk pergi ke kamar tamu dan tidur di sana.
Pada awalnya aku ketakutan. Kubayangkan muncul sosok-sosok buruk rupa dari pojok ruangan, yang selama ini jadi sumber suara pengganggu tidurku. Lantas, setelah mereka muncul, aku tak bisa kabur dari sini dan mati karena gagal jantung.
Aku bayangkan itu dengan sempurna, tapi setelah berbaring lima belas menit, tidak ada kejadian apa pun. Saat itu kulihat arlojiku. Tepat pukul 23.00. Aku pun mengantuk dan mulai ketiduran.
Aku tidak merasa mendapat mimpi aneh apa pun sampai bangun esok paginya. Ya, aku tidak lagi mendengar suara-suara aneh seperti biasanya. Aku bahkan merasa sangat nyenyak dan ketagihan tidur sekali lagi di kamar tamuku. Karena saking senangnya, aku putuskan untuk libur dulu membuka toko hari ini dan kurasa sebaiknya aku jalan-jalan dan pergi ke mal untuk membeli sprei dan bantal-guling baru.
"Kupikir, mungkin, kamar tamu tersebut kujadikan kamar utama, dan kamar lama yang tadinya kujadikan kamar utama, bisa diubah jadi kamar tamu."
Gagasan brilian ini kurespons sendiri dengan senyum yang tak putus sampai tiba di kota.
Masuk ke mal, yang belum pernah kudatangi sekali pun selama ini, sebab aku dari kampung, kulihat lampu-lampu dipajang dengan posisi yang kurasa kurang tepat, sebab aku merasa mataku sangat silau. Karena terlihat seperti orang tak tahu jalan, kupikir ada orang yang begitu peduli padaku untuk menuntunku dan membawaku ke toko tempatku bisa membeli sprei.
"Memangnya buat apa sprei?" tanya orang itu.
"Kamar tamu saya."
Kami sampai di toko yang kucari, lalu kubeli sprei terbaik dengan harga sangat murah, karena ada diskon. Penjaga toko membolehkanku mengambil bantal-guling yang kusuka, sebab hari ini mereka memberi para pelanggannya banyak hadiah. Aku senang berbelanja di sini. Setelah berterima kasih tiga kali, aku pulang.
Setiba di rumah, dengan tidak sabaran aku ke kamar tamuku untuk menaruh semua belanjaan. Tepat setelah membuka pintu kamar, kulihat seseorang terbujur kaku di sana. Tubuh itu sangat kukenal dan membuatku terduduk lemas. Tubuh itu memang kukenal, karena dia tubuhku.
Aku tidak tahu bagaimana ini terjadi, tetapi kurasa akan sangat sulit untuk kembali ke tubuh yang sudah 12 jam lebih kutinggalkan. Aku jadi bertanya-tanya: siapa yang tadi kutemui di mal? Apa aku sudah mati? Apa ini sekadar mimpi? [ ]
Gempol, 2017-2019
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya Negeri yang Dilanda Huru-Hara (Basabasi, 2018) dan Dosa di Hutan Terlarang (Basabasi, 2018).