(Dimuat di Rakyat Sultra edisi Sabtu, 5 November 2016)
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi,
cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya terbit di berbagai media lokal dan
nasional.
Generasi muda saat ini hidup di dalam bilik-bilik
pembatas zaman. Maksudnya, di antara generasi satu ke generasi lainnya selalu
ada pembatas yang membedakan. Semasa saya kecil, misalnya, dapat dengan mudah
ditemukan bocah-bocah bermain berbagai permainan tradisional. Namun, hal
tersebut amat susah kita temukan di zaman serba gadget ini.
Dahulu anak-anak lebih merasa takut berbuat salah,
ketimbang hari ini, seakan itu dosa yang harus dihindari. Jikapun tak
terhindarkan, harus "tidak boleh ada yang tahu". Dahulu, jika
anak-anak berbuat salah dan ketahuan, kemudian ditegur oleh orang yang lebih
tua, pasti menunduk dan tidak berani menatap mata si penegur. Beda dengan hari
ini. Kondisi sebaliknya lebih banyak kita temui, meski tidak semua begitu.
Anak-anak lebih "lepas" dalam membantah dan berargumen.
Perkembangan pola pikir manusia dari waktu ke
waktu berpengaruh besar. Itu bermula dari berkembangnya teknologi dan
informasi. Berbagai ilmu dan pengetahuan lebih mudah diakses saat ini ketimbang
dulu. Tidak bisa dimungkiri kecerdasan anak yang tumbuh cepat berkat kemajuan
zaman bisa menjadi sesuatu yang membanggakan orangtua, namun juga bisa menjadi boomerang.
Anak-anak harus tetap berada dalam kontrol. Ibarat robot yang semakin berjalan
waktu akan semakin canggih, kontrol yang dibutuhkan lebih ketat, karena segala
sesuatu yang centang-perenang di dalam robot itu jauh lebih kompleks.
Bukan berarti menyamakan anak dengan robot. Sama
sekali tidak. Maksud penulis, di zaman serba gadget, cara berpikir anak
dalam mengurai masalah yang mereka hadapi jauh berbeda dengan cara berpikir
anak-anak di masa belasan tahun silam. Misal, yang hidup tanpa mengenal gadget
kecuali permainan tradisional. Sebagai generasi 90-an, penulis merasakan
kita hidup dalam bilik-bilik zaman yang mana setiap generasi selalu punya
pembeda dan kekhasan.
Peran orangtua dan guru amat dibutuhkan dalam
rangka membentuk karakter anak yang cerdas, berani mengungkapkan pendapat,
namun sekaligus berlapang dada dalam mengakui kesalahan di zaman sekarang.
Sering kali penulis temui anak-anak di usia TK dan SD berani membantah dan
tidak takut, meski orang yang lebih tua, yang menegur demi kebaikan mereka,
sama sekali tidak dikenal.
Dulu anggap saja kita ditegur orang yang lebih tua
dan akrab, misalnya paman kita sendiri. Kita takut dan malu mengulang
kesalahan, serta tak sampai berani menyambar dengan kata-kata, "Bukan
urusanmu!" Namun, hal yang berbeda bisa dengan gampang kita temui saat
ini.
Apakah ini karena pengaruh tontonan layar kaca
yang terkadang kurang mendidik? Atau, peran orangtua yang kurang peka dalam
mendeteksi sekompleks apa "kabel centang-perenang" di diri anak-anak
mereka?
Anak lebih mudah mencari alasan atau pembenaran,
karena lebih banyak "contoh buruk" yang ditonton, lebih banyak pula
inspirasi negatif yang mereka serap, sementara pendampingan orangtua kurang
memadai.
Ini fakta yang tidak bisa ditolak. Carilah sepuluh
anak berusia 7-10 tahun. Dari sepuluh anak ini, penulis yakin hampir
separuhnya, atau barangkali lebih dari separuh, memiliki potensi
"melawan", meski mereka belum tahu hal tersebut tidak baik. Namun
demikian, hal ini bisa dihindari dengan adanya kontrol. Segala sesuatu memang
butuh kontrol, termasuk anak-anak kita yang sedang menikmati perkembangan
mereka di era gadget.
Pendampingan orangtua yang dilakukan dengan baik,
tanpa mengekang dan tanpa membuat anak merasa "terpenjara", sangat
dibutuhkan. Dan tentu hal ini tidak semudah membalik telapak tangan. Harus ada
sinergi antara perang orangtua, lingkungan, guru, dan berbagai faktor lain,
seperti teman bermain dengan segala pengaruhnya. Anak yang penurut boleh jadi
menjadi pembangkang jika ia salah bergaul. Sebaliknya, anak yang suka
membantah, boleh jadi berubah penurut setelah bertemu teman dan lingkungan
bermain yang tepat. Itulah kenapa kita harus selalu mengontrol arah si anak
agar tidak salah jalan.
Jika hal tersebut dilakukan dengan terus menerus
dan sabar, penulis yakin, semaju apa pun zaman, serta sebanyak apa pun
bilik-bilik yang tercipta antar generasi satu dan generasi lainnya, tidak akan
ada soal yang berarti tentang sopan santun, moralitas, etika, dan sejenisnya.
Kesalahan anak memang selalu ada dan itu bisa
dibenahi tanpa perlu membuat hati kita cemas, selama tidak terlampau batas.
Dapat dibayangkan indahnya jika "kebiasaan" dulu kembali lagi.
Kebiasaan di saat kita sebagai anak-anak ditegur demi kebaikan oleh orang yang
lebih tua, lalu kita menunduk, serta berjanji tidak mengulang "dosa"
yang sama.
Memang naif membicarakan hal ini, tetapi tidak ada
salahnya kita berharap bahwa dengan semakin maju zaman, tidak diiringi
bertumbuhnya sikap buruk di diri manusia, yang mengakar-urat karena masa kecil
yang penuh "perlawanan" mengalami pembiaran. Kita dituntut tidak diam
dan membiarkan. Orangtua jelas lebih bangga melihat anaknya tumbuh menjadi
pribadi yang serba positif, bukan? [ ]
Gempol, 6 September 2016