Skip to main content

Berkelana Bersama "Rembang Dendang"


"Puisi adalah setiap hela napas dan gerak lakunya," begitulah kalimat yang selalu berputar dalam kepala saya. Terlebih ketika bertemu dengan orang-orang yang mampu mengangkat realita beserta alam imajinasinya ke dalam bentuk puisi yang ajaib. Salah satu orang itu adalah Denni Meilizon.

Saya mengenalnya pertama kali di penghujung tahun 2012. Sejak saat itu, telah banyak saya baca puisi-puisi yang ditulisnya, terutama di media sosial Facebook. Kesan pertama yang melekat di benak, ketika mengingat sosok ini adalah; beliau seorang penyair produktif. Dari awal perkenalan kami (meski masih sebatas melalui dunia maya), dua buku puisi telah diterbitkannya dalam jangka waktu yang tidak lama ("Kidung Pengelana Hujan" (FAM Publishing, 2012) dan "Siluet Tarian Indang" (FAM Publishing, 2013)). Di tahun yang sama itu pula, Denni Meilizon menerbitkan kembali buku puisi terbarunya yang berjudul "Rembang Dendang" (AG Litera, 2013).
Mungkin akan menjadi suatu hal yang biasa ketika kuantitas sebuah karya berbanding terbalik dengan kualitas. Namun, apa yang terjadi di sini justru dua hal itu berbanding lurus. Denni Meilizon menulis puisi dalam jumlah "banyak", dengan tanpa membunuh mutu. Dua-duanya berjalan beriringan, bak pengantin di musim hujan!
Ah, saya jadi terbawa suasana. Jadi terbawa untuk mem-"puisi"-kan segala apa yang dilihat dan dirasa. Bagaimana tidak? Membaca "Rembang Dendang", salah satu buku karyanya, membuat saya berdecak kagum. Setiap untaian bait yang disajikannya memberi kebaruan dalam alam pikiran saya, ketika mencoba menelaah setiap arti dan maknanya. Saya melihat puisi-puisi karya Denni Meilizon bagaikan benda pusaka yang ajaib. Karena langkah yang diambilnya dalam berpuisi ini tidak hanya menyajikan komponen kejujuran, keberanian, keimanan, keikhlasan, harapan, teguran, serta kadangkala "kepolosan", melainkan juga menyentak alam bawah sadar tentang hal-hal yang lepas atau bahkan tak pernah kita pikirkan. Seolah-olah berkata, "Sudahkah kamu sadar akan hal ini?"
Mengenai puisi, memang, saya telah menyukainya sejak duduk di bangku sekolah, tepatnya saat SMA (akhir tahun 2007). Dari sanalah proses menulis puisi pertama kali saya jalani. Namun saat itu saya masih sering berpikir, puisi yang benar-benar puisi itu seperti apa? Mengapa sebuah puisi dapat menjadi begitu besar pengaruhnya dalam hidup seseorang? Atau bahkan bagaimana menulis puisi yang dapat berbicara?
Bertahun lamanya saya tak pernah mendapat jawaban pasti. Dan, bersyukur, setelah menggeluti dunia literasi, serta mengenal karya-karya penulis berpotensi seperti Denni Meilizon, perlahan dan pasti, saya mulai belajar. Dari situlah jawaban ketiga pertanyaan itu saya temukan. Bahkan, lebih dari itu, pertanyaan-pertanyaan yang belum terlintas di benak saya pun turut terjawab.
Pertama, puisi yang benar-benar puisi itu seperti apa. Ternyata jawabnya sederhana; puisi yang benar-benar puisi adalah puisi yang jujur. Denni Meilizon telah berulang kali "membuktikannya" ke hadapan saya lewat puisi-puisi karyanya. Salah satunya adalah yang berjudul "Ini Peri" ("Rembang Dendang" hal. 23).

Ini Peri ...
Bernyanyi tentang hati
Ini Peri ...
Jalani hari sendiri
Ini Peri ...
Kelopak melati membelai
Ini Peri ...
Hari menepi
Ini Peri ...
Bermimpi menjadi putri

Puisi ini begitu menarik. Sepintas melihat judulnya, mungkin kita akan berpikir puisi ini membahas perkara cinta, atau setidaknya tentang kenangan masa kecil. Tapi, setelah diresapi, ternyata lebih dari itu. Dalam kacamata saya, puisi ini nampak sebagai bentuk harapan dalam ketidakberdayaan. Lihatlah bagaimana, sosok "peri" dapat "bernyanyi tentang hati" serta "menjalani hari sendiri". Bernyanyi adalah cara menghibur diri, sedang ia berada dalam kesendirian. Lalu, untuk siapa lagi dia bernyanyi kalau bukan untuk diri sendiri?
Sementara itu, "kelopak melati membelai" menunjukkan bahwa ada harapan besar yang tersimpan jauh dalam lubuk hati "si peri", untuk dapat segera memuaskannya bak menghapus dahaga di tengah gempuran gersang padang pasir. Semua ini telah cukup sebagai bukti, bahwa ada kerinduan dari ketidakberdayaan hati seorang anak manusia yang menginginkan cinta atau kebahagiaan dalam hidup, yang mungkin selama ini amatlah jarang ia dapatkan.
Namun, akankah harapan itu terwujud, sedang hari mulai "menepi"? Sampai di baris ini kita telah diberi sinyal, bahwa segala keceriaan itu memang sebatas angan belaka, bukan kenyataan. Dan memang begitulah adanya, ketika peri itu menyadari bahwa ia tengah "bermimpi menjadi putri". Dengan kata lain, Denni Meilizon telah mengetuk hati kita lewat kejujuran (sekaligus "kepolosan") lewat cara yang sederhana; yakni seseorang--yang lemah sekalipun--juga ingin menikmati secuil harapan walau sesaat.
Kedua, puisi dapat memberi pengaruh besar bagi pembaca. Dulu saya tidak meyakini kalimat ini. Agak berlebihan memang rasanya, bila hidup seseorang dapat berubah hanya karena membaca atau mendengar beberapa baris tulisan yang disebut puisi. Namun sedikit banyak hal itu segera dimentahkan ketika saya sendiri mengalami hal serupa. Dari sekian puisi yang saya baca, juga dari sekian orang penulis, sebagian karya Denni Meilizon telah pula memberi pengaruh tersebut. Lihatlah puisinya yang berjudul "Lalai" (Rembang Dendang, hal. 100) berikut ini:

Ketololan menghiba
Membakar lidah angin
Jilati debu di kening

Puisi ini hanya tersusun dari tiga baris. Tampak sederhana jika dilihat sekilas. Namun bila kita mau membaca dan memikirkannya dengan seksama, maksud di dalamnya begitu kuat. Apa kita kira ketololan hanya sebagai wujud dari hinaan? Sama sekali bukan. Ini tak lain bentuk peringatan yang dibuka tanpa bertele-tele, langsung menuju obyek, tepat sasaran! Sebuah teguran tentang betapa kita memang sering lalai untuk apa dan siapa kita ini hidup. Maka, jatuhlah diri tanpa sadar, lalu menjadi sesuatu yang kalah. Bahkan, saking telaknya kekalahan itu, sampai-sampai membuat "rasa tolol" itu sendiri "menghiba".
Sedang pada baris kedua, mengenai "lidah angin", akan membawa kita pada kemungkinan tafsir yang beragam. Namun, meski keberagaman itu ada, tetaplah tujuannya hanya satu; "lidah angin". Inilah yang selama ini kita lihat sebagai petunjuk. Bukankah Alquran telah memberi petunjuk yang lengkap kepada umat manusia di akhir zaman? Dan bukankah Alquran terpelihara keutuhannya dari saat pertama kali diturunkan sampai detik ini? Mungkin itulah mengapa disebut "lidah angin", yang tak lain adalah metafora dari penyampaian pesan yang bertahan lama. "Lidah" menggambarkan pesan, sedang "angin" melukiskan waktu. Lalu, apa yang manusia perbuat dengan berani-beraninya "membakar lidah angin" yang semestinya ia genggam?
Sampai di sini, kita pun ingat bahwa begitu banyak dosa dan kelalaian terjadi. Begitu banyak tindakan-tindakan, sadar atau tidak, membuat kita secara terang-terangan melawan petunjukNya. Jadilah "kening" yang harusnya bersih, malah penuh dengan "debu" lantaran lupanya kita pada sujud di hadapanNya. Maka, bolehlah saya katakan Denni Meilizon berhasil membawa pengaruh, dengan "dakwah" yang ia tuturkan lewat puisi.
Ketiga, bagaimana membuat puisi yang mampu berbicara. Pertanyaan ini terkesan biasa. Mungkin kita akan menjawabnya dengan; "Buat saja puisi yang berdialog!". Oh, bukan, bukan itu. Puisi yang berbicara nyatanya bukan sekadar puisi yang berdialog, melainkan juga mampu membaca pikiran, serta membuat kita merasa seolah sang penulis hadir di hadapan kita. Maka, bukanlah perkara mudah bagi seorang penulis, untuk merangkai kata, mengolah diksi, menjadi sesuatu yang seakan "hidup" dalam imajinasi pembaca hingga pada akhirnya dianggap bak lawan bicara. Dan Denni Meilizon, lagi-lagi, melakukannya. Cermati puisinya yang berjudul "Merasa Merdeka" (Rembang Dendang, hal. 49):

Merasa merdeka
Itu watak kita
Menandai sebagai manusia

Padahal
Ada yang mengurung kita
Ruang dan waktu
Sedikit-sedikit
Membuat kita mengeluh
Walau masih saja merasa merdeka

Merdeka
Sebuah kata
Yang dikesankan pada tangisan pertama kita
Saat bebas dari rahim ibunda

Merdeka yang kita nyatakan
Saat nyawa pun lepas dari badan

Merdeka
Nyatanya belum selesai kita definisikan

Seperti halnya "Lalai", "Merasa Merdeka" ini adalah teguran. Hanya saja dengan cara yang lebih halus. Perhatikan bagaimana kita menganggap diri "merdeka" atau bebas, sedang sesungguhnya sama sekali tidak. Kita adalah bagian dari sistem dan terikat dalam kesemestian. Maka, tidaklah lepas diri kita dari sistem yang paling sempurna di jagat raya ini; sistem rancangan Tuhan sang penguasa alam semesta. Tuhan telah mengatur setiap jengkal gerak kehidupan dari dulu sampai nanti. Lalu, bagaimana bisa dengan nyamannya kita menyebut diri bebas, padahal tidaklah lepas manusia dari hari pembalasan nanti? Ke manakah dosa-dosa kita? Apakah kita telah benar-benar bersih dan suci?
Pesan ini semakin kuat ketika kita menelusuri bagian di saat seringnya kita mengeluh; "sedikit-sedikit membuat kita mengeluh, walau masih saja merasa merdeka". Keluhan itu menunjukkan betapa kurangnya rasa syukur. Atau jangan-jangan keluhan itulah yang selama ini kita sebut dengan dosa? Namun dari dua kemungkinan itu, keduanya sama-sama buruk. Sebab semakin lama kita bergelut dengan keduanya, sedang diri tidak kunjung sadar, semakin tenggelamlah kita pada perasaan "bebas". Seolah-olah lahirnya kita ke bumi ini adalah bentuk kebebasan yang sejati.
Namun, tak sedikit pula mereka yang tahu, bahwa kemerdekaan hakiki itu bukanlah berwujud kefanaan, melainkan kelak ketika kita telah memasuki kehidupan sesudah mati alias kehidupan akhirat yang bahagia (surga). Itulah kemerdekaan yang benar-benar merdeka. Karena dengan sadarnya diri atas tanggung jawab dan hak seorang manusia, kita pun enggan untuk "sedikit-sedikit" mengeluh. Jadilah "terlepasnya nyawa dari badan" bak pembuka jalan menuju kebebasan yang membahagiakan.
Dari dua cara manusia memaknai kemerdekaan jiwa itulah, pada akhir puisi ini Denni mengajak kita merenung sejenak; sudahkah kita paham arti kemerdekaan, yang sesungguhnya masih menjadi tanda tanya besar bagi sebagian kita? Sampai di sini, jelaslah kita diajak berbicara, seolah tengah beradu argumen dengan tidak saling menyalahkan satu sama lain, melainkan menggiring alam bawah sadar kita untuk merenung sejenak; sejauh apa kita berbuat dalam hidup yang cuma sebentar ini?
Nah, untuk sementara, kita kembali dulu pada persoalan puisi. Selama ini, saya yakin, tidak ada puisi yang ditulis tanpa membawa pesan di dalamnya. Semua puisi pasti punya maksud atau tujuan. Akan tetapi, setiap penulis tentu punya cara masing-masing untuk melakukannya. Sayangnya tidak semua berhasil. Ada sebagian dari mereka yang hanya sibuk dengan kata-kata puitis yang penuh dengan bunga-bunga harum semerbak, namun makna yang terkandung di sana mengambang, atau bahkan hilang. Namun ada pula yang dengan tanpa sibuk memilih diksi yang berputar-putar--meski tetap kaya makna dan warna--namun pesan yang hendak disampaikan benar-benar dapat diraba. Salah satu dari kategori penulis puisi "jenis" kedua ini adalah Denni Meilizon.
Bukan berlebihan saya bilang begini, walau terkadang dalam beberapa puisinya perlu beberapa waktu lamanya untuk saya menerka. Namun, lihatlah apa yang "lagi-lagi" ditunjukkannya pada saya. Pertanyaan mengenai seluk beluk puisi yang belum saya pikirkan, telah pula dijawab dari caranya menyajikan beberapa puisi berikut ini:

Rakyat Itu Aku, Engkau, dan Kita
(Rembang Dendang, hal. 56)

Rakyat,
Sebaris kata terombang-ambing
Ketika di tiap pagi
Diaduk dalam kancah hidangan para raksasa
Yang kita nikmati sambil menyeruput segelas kopi
Sebelum disihir menjadi kambing hitam

Rakyat,
Yang diatasnamakan kepentingan para raksasa
Dalam menu hidangan sepanjang tahun
Menjelang ritual pemilihan para raksasa
Dalam mulut, dalam perut
Dalam spanduk, dalam orasi
Dalam saku, dalam brankas
Dalam dunia tipu-tipu
Dalam sandiwara lima babak
Bertajuk perjamuan tiada akhir

Rakyat,
Adalah aku
Adalah engkau
Adalah kita
Mencintai negeri ini dengan tulus hati
Di atas segala derita penghidupan ini
Yang dimanfaatkan dalam perang para raksasa

Rakyat,
Penguasa yang dikhianati para pelayannya
: para raksasa

Menurut saya puisi di atas amat menarik. Bagaimana seorang pemimpin yang baik dapat benar-benar "melayani" rakyat dengan sepenuh hati, mungkin hanya sekadar dongeng belaka. "Terombang-ambingnya sebaris kata" adalah bukti kosongnya bermacam janji. Ya, "sebaris kata" itu tak lebih dari perkara janji. Tidak ada realisasi, tidak ada penindaklanjutan, melainkan hanya sebatas ucapan di bibir saja. Sesudah itu, setiap pagi kita temui janji-janji mereka tepat pada "waktu kita meminum kopi"--atau di kala rakyat membuka mata di pagi buta, sampai tiba waktu terlelap di malam hari. Lihatlah, apa yang terjadi berikutnya. Rakyatlah yang jadi "kambing hitam", disalahkan atas terlanggarnya janji yang sesungguhnya bukan perbuatan mereka.
Persoalan ini bermula ketika "para raksasa" mengutamakan kepentingan pribadi, dengan mengatasnamakan rakyat. Maka untuk rakyatlah segala kepalsuan itu dilontarkan keras-keras, lalu kemudian menjadi omong kosong. Sebab maksud di balik semua itu hanyalah kekuasaan. Ini tampak jelas dalam baris yang berbunyi; "menjelang ritual pemilihan para raksasa". Sedang "perjamuan tiada akhir" adalah sandiwara yang seolah tiada mau berhenti, gara-gara sutradaranya keasyikkan bermain di atas panggung.
Bukankah rakyat itu gabungan antara aku dan engkau, hingga terbentuklah kita? Dan bukankah rakyat semata-mata hanya bagian kecil dari perang para politisi yang memperebutkan kursi jabatan? Padahal, tidaklah ada yang salah dari "kita", sebab bukankah setiap wajah adalah bagian dari rakyat itu sendiri? Lalu mengapa "kita" justru dimanfaatkan oleh "kita" yang lain hanya demi kepuasaan sesaat. Semestinyalah "para raksasa" melayani" sang penguasa--yang tak lain adalah "rakyat", bukan malah mengkhianatinya.
Dari puisi ini, Denni Meilizon menuangkan kritiknya atas kinerja wakil rakyat yang patut dipertanyakan. Maka, menurut saya, puisi ini puisi yang berani. Berani melawan ketidakbenaran yang seolah membudaya, menjamur, hingga semakin lama semakin sulit untuk dibasmi.
Kemudian, pada puisi yang berjudul "Mencermini Sebentuk Ruang Bujur Sangkar" (Rembang Dendang, hal. 27), kita seolah disuguhi sebingkai cermin untuk melihat seperti apa kita yang sebenarnya. Berikut puisinya:

Kita ibarat burung
Meniti kebebasan dalam tiap kepak sayap
Saat kita,
Menjelajahi warna langit
Pada sebentuk ruang bujur sangkar
Lalu terdiam dipagut kagum

Apa yang Anda rasakan saat membacanya? Damai, bukan? Ya, benar-benar damai. Karena sejatinya tidak ada kejujuran yang terasa pahit. Puisi ini memang mencerminkan keadaan kita yang sesungguhnya sebagai makhluk Tuhan. Tidaklah berdaya seorang manusia, bila dibandingkan dengan segala sesuatu yang ada di seluruh alam semesta. Kita begitu kecil, begitu tak ada artinya. Kita selayaknya butiran debu yang terhempas angin.
Tuhan menyediakan tempat berkelana bagi kita. Bumi yang luas ini adalah satu dari sekian banyak ciptaanNya. Kita diperbolehkan berbuat apa saja di atasnya, namun bukan lantas bisa berbuat sekehendak hati. Kita bisa terbang seperti burung. Namun, bukankah manusia mempunyai batas tertentu untuk dapat melihat sejauh apa dia berada? Begitulah kita. Maka, "ruang bujur sangkar" agaknya menjadi batas di mana akal manusia berdiri di tepi pijakan. Di luar itu, manusia tak tahu. Di luar itu, wilayah kekuasaan Tuhan. Dan kita pun "dipagut kagum", yang bisa dimaknai sebagai bukan apa-apa. Lalu, akankah kita terus berbuat kerusakan?
Lewat puisi yang satu ini, saya rasa Denni Meilizon benar-benar membawa kita untuk belajar menerima keadaan, ikhlas, dan lebih meletakkan diri secara benar sebagai makhluk Tuhan yang tak berdaya. Dan pada kenyataannya manusia memang tak punya daya apa pun untuk mengubah ketentuanNya.
Puisi berjudul "Ranting" (Rembang Dendang, hal. 3) juga menggambarkan keadaan serupa. Namun penyampaian pesannya lebih terasa mendalam. Bukan sekadar mengingatkan betapa manusia itu kecil, tetapi juga bagaimana takdir Tuhan selalu berlaku, serta tidak adanya sesuatu yang abadi di dunia ini. Berikut puisinya:

Itu aku
Ketika terjulur menciumi bulan
Itu aku
Ketika menggigil ditampar malam
Itu aku
Ketika terbakar dipapar siang

Aku ada
Kecil saja
Aku ada
Dalam bayang pongah tempatku bertumbuh

Aku
Digenggam kehidupan
Bak lengan pemandu sorak

Itu aku
Kering patah terkulai layu
Terurai waktu di dalam tanah
Perkenalkan namaku: "Ranting"
Sekata saja

Dari puisi tersebut, adakah kita sadar bahwa "ranting" itulah kita? Dan tiadalah satu pun takdir Tuhan yang luput. Jika memang Dia berkehendak, maka terjadilah. Seperti halnya pergantian musim, kelahiran, kematian, jodoh, musibah, dan rezeki, segala apa yang menimpa "ranting" itu ditelannya mentah-mentah, suka atau tidak.
Pada bagian yang berbunyi: "Aku ada dalam bayang pongah tempatku bertumbuh", menjadi semakin menarik saja. Ingatkah kita, bahwa terkadang kita ini lupa, hingga menganggap diri sendiri hebat? Bayang-bayang--yang bentuknya hampir selalu lebih besar dari benda aslinya--adalah kesombongan dalam diri manusia. Padahal kita ini kecil, tak lebih dari sebatang "ranting". Sementara kita sendiri "digenggam kehidupan bak lengan pemandu sorak", yang jelas-jelas lebih besar. Kita ini bergantung dari sesuatu yang lebih besar: "pohon", yang tak lain adalah takdir. Sedang yang mengendalikan takdir sendiri adalah Tuhan. Kelak, kita pun pasti "kering, patah, terkulai, dan layu". Tinggal menunggu waktu saja.
Ketiga contoh puisi di atas, telah menjawab pertanyaan-pertanyaan saya yang lain, seperti: bagaimana menuangkan amarah dan kekesalan dalam bentuk puisi? Bagaimana menyampaikan nasihat yang "nikmat" dalam berpuisi? Serta apakah puisi hanya sebatas permainan kata-kata?
Amarah dan kekesalan yang diangkat dalam bentuk puisi, ternyata tidak harus penuh dengan emosi. Denni Meilizon memberi solusi lewat bait-bait yang terasa ironis. Baris per barisnya terasa tajam walau dipilih dari kata-kata halus. Puisi "Rakyat Itu Aku, Engkau, dan Kita" di atas contohnya.
Sedangkan nasihat yang terasa nikmat, tentunya yang tidak terkesan menggurui. Puisi "Mencermini Sebentuk Ruang Bujur Sangkar" contohnya. Di sana kita seolah diajak bercermin bersama-sama. Artinya, tidak hanya kita yang merasa ditegur, melainkan juga penulis tampak menegur dirinya sendiri.
Terakhir, apa puisi sebatas hanya permainan kata-kata? Tentunya tidak. Puisi tidak hanya tercipta dari bagaimana kita mempermainkan kata demi kata, tetapi bagaimana mengolah kata agar dapat menampung keseluruhan pesan, untuk kemudian melaburkannya ke sekujur badan pembaca sampai ia merasa mendapat sesuatu dari puisi yang dibacanya.
Denni Meilizon, dengan segala kekhasannya, dengan segala keajaiban bait-baitnya, menunjukkan pada saya betapa puisi adalah bagian penting dari kehidupan. Sebab ada begitu banyak manfaat yang bisa dibagi untuk sesama. Melalui buku ketiganya, "Rembang Dendang", ia membawa kita berkelana menuju tempat-tempat yang penuh warna, bagaikan mencicipi permen dengan rasa yang berbeda-beda. Sungguh mengasyikkan! Anda ingin mencoba?


Oleh: Ken Hanggara, pecinta sastra, penulis fiksi

Comments

Post a Comment

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri