"Puisi adalah setiap hela napas dan
gerak lakunya,"
begitulah kalimat yang selalu berputar dalam kepala saya. Terlebih ketika
bertemu dengan orang-orang yang mampu mengangkat realita beserta alam imajinasinya
ke dalam bentuk puisi yang ajaib. Salah satu orang itu adalah Denni Meilizon.
Saya mengenalnya pertama kali di penghujung tahun
2012. Sejak saat itu, telah banyak saya baca puisi-puisi yang ditulisnya,
terutama di media sosial Facebook. Kesan pertama yang melekat di benak, ketika
mengingat sosok ini adalah; beliau seorang penyair produktif. Dari awal
perkenalan kami (meski masih sebatas melalui dunia maya), dua buku puisi telah
diterbitkannya dalam jangka waktu yang tidak lama ("Kidung Pengelana Hujan"
(FAM Publishing, 2012) dan "Siluet Tarian Indang" (FAM Publishing,
2013)). Di tahun yang sama itu pula, Denni Meilizon menerbitkan kembali buku
puisi terbarunya yang berjudul "Rembang Dendang" (AG Litera, 2013).
Mungkin akan menjadi suatu hal yang biasa ketika
kuantitas sebuah karya berbanding terbalik dengan kualitas. Namun, apa yang
terjadi di sini justru dua hal itu berbanding lurus. Denni Meilizon menulis
puisi dalam jumlah "banyak", dengan tanpa membunuh mutu. Dua-duanya
berjalan beriringan, bak pengantin di musim hujan!
Ah, saya jadi terbawa suasana. Jadi terbawa untuk
mem-"puisi"-kan segala apa yang dilihat dan dirasa. Bagaimana tidak?
Membaca "Rembang Dendang", salah satu buku karyanya, membuat saya
berdecak kagum. Setiap untaian bait yang disajikannya memberi kebaruan dalam
alam pikiran saya, ketika mencoba menelaah setiap arti dan maknanya. Saya
melihat puisi-puisi karya Denni Meilizon bagaikan benda pusaka yang ajaib.
Karena langkah yang diambilnya dalam berpuisi ini tidak hanya menyajikan komponen
kejujuran, keberanian, keimanan, keikhlasan, harapan, teguran, serta kadangkala
"kepolosan", melainkan juga menyentak alam bawah sadar tentang
hal-hal yang lepas atau bahkan tak pernah kita pikirkan. Seolah-olah berkata,
"Sudahkah kamu sadar akan hal ini?"
Mengenai puisi, memang, saya telah menyukainya
sejak duduk di bangku sekolah, tepatnya saat SMA (akhir tahun 2007). Dari
sanalah proses menulis puisi pertama kali saya jalani. Namun saat itu saya
masih sering berpikir, puisi yang benar-benar puisi itu seperti apa? Mengapa
sebuah puisi dapat menjadi begitu besar pengaruhnya dalam hidup seseorang? Atau
bahkan bagaimana menulis puisi yang dapat berbicara?
Bertahun lamanya saya tak pernah mendapat jawaban
pasti. Dan, bersyukur, setelah menggeluti dunia literasi, serta mengenal
karya-karya penulis berpotensi seperti Denni Meilizon, perlahan dan pasti, saya
mulai belajar. Dari situlah jawaban ketiga pertanyaan itu saya temukan. Bahkan,
lebih dari itu, pertanyaan-pertanyaan yang belum terlintas di benak saya pun
turut terjawab.
Pertama, puisi yang benar-benar puisi itu seperti
apa. Ternyata jawabnya sederhana; puisi yang benar-benar puisi adalah puisi
yang jujur. Denni Meilizon telah berulang kali "membuktikannya" ke
hadapan saya lewat puisi-puisi karyanya. Salah satunya adalah yang berjudul
"Ini Peri" ("Rembang Dendang" hal. 23).
Ini Peri ...
Bernyanyi tentang hati
Ini Peri ...
Jalani hari sendiri
Ini Peri ...
Kelopak melati membelai
Ini Peri ...
Hari menepi
Ini Peri ...
Bermimpi menjadi putri
Puisi ini begitu menarik. Sepintas melihat
judulnya, mungkin kita akan berpikir puisi ini membahas perkara cinta, atau
setidaknya tentang kenangan masa kecil. Tapi, setelah diresapi, ternyata lebih
dari itu. Dalam kacamata saya, puisi ini nampak sebagai bentuk harapan dalam ketidakberdayaan. Lihatlah bagaimana,
sosok "peri" dapat "bernyanyi tentang hati" serta
"menjalani hari sendiri". Bernyanyi adalah cara menghibur diri,
sedang ia berada dalam kesendirian. Lalu, untuk siapa lagi dia bernyanyi kalau
bukan untuk diri sendiri?
Sementara itu, "kelopak melati membelai"
menunjukkan bahwa ada harapan besar yang tersimpan jauh dalam lubuk hati
"si peri", untuk dapat segera memuaskannya bak menghapus dahaga di
tengah gempuran gersang padang pasir. Semua ini telah cukup sebagai bukti,
bahwa ada kerinduan dari ketidakberdayaan hati seorang anak manusia yang
menginginkan cinta atau kebahagiaan dalam hidup, yang mungkin selama ini
amatlah jarang ia dapatkan.
Namun, akankah harapan itu terwujud, sedang hari
mulai "menepi"? Sampai di baris ini kita telah diberi sinyal, bahwa
segala keceriaan itu memang sebatas angan belaka, bukan kenyataan. Dan memang
begitulah adanya, ketika peri itu menyadari bahwa ia tengah "bermimpi
menjadi putri". Dengan kata lain, Denni Meilizon telah mengetuk hati kita
lewat kejujuran (sekaligus "kepolosan") lewat cara yang sederhana; yakni seseorang--yang lemah
sekalipun--juga ingin menikmati secuil harapan walau sesaat.
Kedua, puisi dapat memberi pengaruh besar bagi
pembaca. Dulu saya tidak meyakini kalimat ini. Agak berlebihan memang rasanya,
bila hidup seseorang dapat berubah hanya karena membaca atau mendengar beberapa
baris tulisan yang disebut puisi. Namun sedikit banyak hal itu segera
dimentahkan ketika saya sendiri mengalami hal serupa. Dari sekian puisi yang
saya baca, juga dari sekian orang penulis, sebagian karya Denni Meilizon telah
pula memberi pengaruh tersebut. Lihatlah puisinya yang berjudul
"Lalai" (Rembang Dendang, hal. 100) berikut ini:
Ketololan menghiba
Membakar lidah angin
Jilati debu di kening
Puisi ini hanya tersusun dari tiga baris. Tampak
sederhana jika dilihat sekilas. Namun bila kita mau membaca dan memikirkannya
dengan seksama, maksud di dalamnya begitu kuat. Apa kita kira ketololan hanya
sebagai wujud dari hinaan? Sama sekali bukan. Ini tak lain bentuk peringatan
yang dibuka tanpa bertele-tele, langsung menuju obyek, tepat sasaran! Sebuah
teguran tentang betapa kita memang sering lalai untuk apa dan siapa kita ini
hidup. Maka, jatuhlah diri tanpa sadar, lalu menjadi sesuatu yang kalah.
Bahkan, saking telaknya kekalahan itu, sampai-sampai membuat "rasa
tolol" itu sendiri "menghiba".
Sedang pada baris kedua, mengenai "lidah
angin", akan membawa kita pada kemungkinan tafsir yang beragam. Namun,
meski keberagaman itu ada, tetaplah tujuannya hanya satu; "lidah
angin". Inilah yang selama ini kita lihat sebagai petunjuk. Bukankah
Alquran telah memberi petunjuk yang lengkap kepada umat manusia di akhir zaman?
Dan bukankah Alquran terpelihara keutuhannya dari saat pertama kali diturunkan
sampai detik ini? Mungkin itulah mengapa disebut "lidah angin", yang
tak lain adalah metafora dari penyampaian pesan yang bertahan lama.
"Lidah" menggambarkan pesan, sedang "angin" melukiskan
waktu. Lalu, apa yang manusia perbuat dengan berani-beraninya "membakar lidah
angin" yang semestinya ia genggam?
Sampai di sini, kita pun ingat bahwa begitu banyak
dosa dan kelalaian terjadi. Begitu banyak tindakan-tindakan, sadar atau tidak,
membuat kita secara terang-terangan melawan petunjukNya. Jadilah
"kening" yang harusnya bersih, malah penuh dengan "debu"
lantaran lupanya kita pada sujud di hadapanNya. Maka, bolehlah saya katakan
Denni Meilizon berhasil membawa pengaruh, dengan "dakwah" yang ia
tuturkan lewat puisi.
Ketiga, bagaimana membuat puisi yang mampu
berbicara. Pertanyaan ini terkesan biasa. Mungkin kita akan menjawabnya dengan;
"Buat saja puisi yang berdialog!". Oh, bukan, bukan itu. Puisi yang
berbicara nyatanya bukan sekadar puisi yang berdialog, melainkan juga mampu
membaca pikiran, serta membuat kita merasa seolah sang penulis hadir di hadapan
kita. Maka, bukanlah perkara mudah bagi seorang penulis, untuk merangkai kata,
mengolah diksi, menjadi sesuatu yang seakan "hidup" dalam imajinasi
pembaca hingga pada akhirnya dianggap bak lawan bicara. Dan Denni Meilizon,
lagi-lagi, melakukannya. Cermati puisinya yang berjudul "Merasa
Merdeka" (Rembang Dendang, hal. 49):
Merasa merdeka
Itu watak kita
Menandai sebagai manusia
Padahal
Ada yang mengurung kita
Ruang dan waktu
Sedikit-sedikit
Membuat kita mengeluh
Walau masih saja merasa merdeka
Merdeka
Sebuah kata
Yang dikesankan pada tangisan pertama kita
Saat bebas dari rahim ibunda
Merdeka yang kita nyatakan
Saat nyawa pun lepas dari badan
Merdeka
Nyatanya belum selesai kita definisikan
Seperti halnya "Lalai", "Merasa
Merdeka" ini adalah teguran. Hanya saja dengan cara yang lebih halus.
Perhatikan bagaimana kita menganggap diri "merdeka" atau bebas,
sedang sesungguhnya sama sekali tidak. Kita adalah bagian dari sistem dan
terikat dalam kesemestian. Maka, tidaklah lepas diri kita dari sistem yang
paling sempurna di jagat raya ini; sistem rancangan Tuhan sang penguasa alam
semesta. Tuhan telah mengatur setiap jengkal gerak kehidupan dari dulu sampai
nanti. Lalu, bagaimana bisa dengan nyamannya kita menyebut diri bebas, padahal
tidaklah lepas manusia dari hari pembalasan nanti? Ke manakah dosa-dosa kita?
Apakah kita telah benar-benar bersih dan suci?
Pesan ini semakin kuat ketika kita menelusuri
bagian di saat seringnya kita mengeluh; "sedikit-sedikit membuat kita
mengeluh, walau masih saja merasa merdeka". Keluhan itu menunjukkan
betapa kurangnya rasa syukur. Atau jangan-jangan keluhan itulah yang selama ini
kita sebut dengan dosa? Namun dari dua kemungkinan itu, keduanya sama-sama
buruk. Sebab semakin lama kita bergelut dengan keduanya, sedang diri tidak
kunjung sadar, semakin tenggelamlah kita pada perasaan "bebas".
Seolah-olah lahirnya kita ke bumi ini adalah bentuk kebebasan yang sejati.
Namun, tak sedikit pula mereka yang tahu, bahwa
kemerdekaan hakiki itu bukanlah berwujud kefanaan, melainkan kelak ketika kita
telah memasuki kehidupan sesudah mati alias kehidupan akhirat yang
bahagia (surga). Itulah kemerdekaan
yang benar-benar merdeka. Karena dengan sadarnya diri atas tanggung jawab dan
hak seorang manusia, kita pun enggan untuk "sedikit-sedikit"
mengeluh. Jadilah "terlepasnya nyawa dari badan" bak pembuka jalan
menuju kebebasan yang membahagiakan.
Dari dua cara manusia memaknai kemerdekaan jiwa
itulah, pada akhir puisi ini Denni mengajak kita merenung sejenak; sudahkah
kita paham arti kemerdekaan, yang sesungguhnya masih menjadi tanda tanya besar
bagi sebagian kita? Sampai di sini, jelaslah kita diajak berbicara, seolah
tengah beradu argumen dengan tidak saling menyalahkan satu sama lain, melainkan
menggiring alam bawah sadar kita untuk merenung sejenak; sejauh apa kita
berbuat dalam hidup yang cuma sebentar ini?
Nah, untuk sementara, kita kembali dulu pada
persoalan puisi. Selama ini, saya yakin, tidak ada puisi yang ditulis tanpa
membawa pesan di dalamnya. Semua puisi pasti punya maksud atau tujuan. Akan
tetapi, setiap penulis tentu punya cara masing-masing untuk melakukannya.
Sayangnya tidak semua berhasil. Ada sebagian dari mereka yang hanya sibuk
dengan kata-kata puitis yang penuh dengan bunga-bunga harum semerbak, namun makna
yang terkandung di sana mengambang, atau bahkan hilang. Namun ada pula yang
dengan tanpa sibuk memilih diksi yang berputar-putar--meski tetap kaya makna
dan warna--namun pesan yang hendak disampaikan benar-benar dapat diraba. Salah
satu dari kategori penulis puisi "jenis" kedua ini adalah Denni
Meilizon.
Bukan berlebihan saya bilang begini, walau
terkadang dalam beberapa puisinya perlu beberapa waktu lamanya untuk saya
menerka. Namun, lihatlah apa yang "lagi-lagi" ditunjukkannya pada
saya. Pertanyaan mengenai seluk beluk puisi yang belum saya pikirkan, telah
pula dijawab dari caranya menyajikan beberapa puisi berikut ini:
Rakyat Itu Aku, Engkau, dan Kita
(Rembang Dendang, hal. 56)
Rakyat,
Sebaris kata terombang-ambing
Ketika di tiap pagi
Diaduk dalam kancah hidangan para raksasa
Yang kita nikmati sambil menyeruput
segelas kopi
Sebelum disihir menjadi kambing hitam
Rakyat,
Yang diatasnamakan kepentingan para
raksasa
Dalam menu hidangan sepanjang tahun
Menjelang ritual pemilihan para raksasa
Dalam mulut, dalam perut
Dalam spanduk, dalam orasi
Dalam saku, dalam brankas
Dalam dunia tipu-tipu
Dalam sandiwara lima babak
Bertajuk perjamuan tiada akhir
Rakyat,
Adalah aku
Adalah engkau
Adalah kita
Mencintai negeri ini dengan tulus hati
Di atas segala derita penghidupan ini
Yang dimanfaatkan dalam perang para
raksasa
Rakyat,
Penguasa yang dikhianati para pelayannya
: para raksasa
Menurut saya puisi di atas amat menarik. Bagaimana
seorang pemimpin yang baik dapat benar-benar "melayani" rakyat dengan
sepenuh hati, mungkin hanya sekadar dongeng belaka. "Terombang-ambingnya
sebaris kata" adalah bukti kosongnya bermacam janji. Ya, "sebaris
kata" itu tak lebih dari perkara janji. Tidak ada realisasi, tidak ada
penindaklanjutan, melainkan hanya sebatas ucapan di bibir saja. Sesudah itu,
setiap pagi kita temui janji-janji mereka tepat pada "waktu kita meminum
kopi"--atau di kala rakyat membuka mata di pagi buta, sampai tiba waktu
terlelap di malam hari. Lihatlah, apa yang terjadi berikutnya. Rakyatlah yang
jadi "kambing hitam", disalahkan atas terlanggarnya janji yang
sesungguhnya bukan perbuatan mereka.
Persoalan ini bermula ketika "para
raksasa" mengutamakan kepentingan pribadi, dengan mengatasnamakan rakyat.
Maka untuk rakyatlah segala kepalsuan itu dilontarkan keras-keras, lalu
kemudian menjadi omong kosong. Sebab maksud di balik semua itu hanyalah
kekuasaan. Ini tampak jelas dalam baris yang berbunyi; "menjelang ritual
pemilihan para raksasa". Sedang "perjamuan tiada akhir" adalah
sandiwara yang seolah tiada mau berhenti, gara-gara sutradaranya keasyikkan
bermain di atas panggung.
Bukankah rakyat itu gabungan antara aku dan
engkau, hingga terbentuklah kita? Dan bukankah rakyat semata-mata hanya bagian
kecil dari perang para politisi yang memperebutkan kursi jabatan? Padahal,
tidaklah ada yang salah dari "kita", sebab bukankah setiap wajah
adalah bagian dari rakyat itu sendiri? Lalu mengapa "kita" justru
dimanfaatkan oleh "kita" yang lain hanya demi kepuasaan sesaat.
Semestinyalah "para raksasa" melayani" sang penguasa--yang tak
lain adalah "rakyat", bukan malah mengkhianatinya.
Dari puisi ini, Denni Meilizon menuangkan
kritiknya atas kinerja wakil rakyat yang patut dipertanyakan. Maka, menurut
saya, puisi ini puisi yang berani. Berani melawan ketidakbenaran yang seolah
membudaya, menjamur, hingga semakin lama semakin sulit untuk dibasmi.
Kemudian, pada puisi yang berjudul
"Mencermini Sebentuk Ruang Bujur Sangkar" (Rembang Dendang, hal. 27),
kita seolah disuguhi sebingkai cermin untuk melihat seperti apa kita yang
sebenarnya. Berikut puisinya:
Kita ibarat burung
Meniti kebebasan dalam tiap kepak sayap
Saat kita,
Menjelajahi warna langit
Pada sebentuk ruang bujur sangkar
Lalu terdiam dipagut kagum
Apa yang Anda rasakan saat membacanya? Damai,
bukan? Ya, benar-benar damai. Karena sejatinya tidak ada kejujuran yang terasa
pahit. Puisi ini memang mencerminkan keadaan kita yang sesungguhnya sebagai
makhluk Tuhan. Tidaklah berdaya seorang manusia, bila dibandingkan dengan
segala sesuatu yang ada di seluruh alam semesta. Kita begitu kecil, begitu tak
ada artinya. Kita selayaknya butiran debu yang terhempas angin.
Tuhan menyediakan tempat berkelana bagi kita. Bumi
yang luas ini adalah satu dari sekian banyak ciptaanNya. Kita diperbolehkan berbuat apa
saja di atasnya, namun bukan lantas bisa berbuat sekehendak hati. Kita bisa
terbang seperti burung. Namun, bukankah manusia mempunyai batas tertentu untuk
dapat melihat sejauh apa dia berada? Begitulah kita. Maka, "ruang bujur
sangkar" agaknya menjadi batas di mana akal manusia berdiri di tepi
pijakan. Di luar itu, manusia tak tahu. Di luar itu, wilayah kekuasaan Tuhan.
Dan kita pun "dipagut kagum", yang bisa dimaknai sebagai bukan
apa-apa. Lalu, akankah kita terus berbuat kerusakan?
Lewat puisi yang satu ini, saya rasa Denni
Meilizon benar-benar membawa kita untuk belajar menerima keadaan, ikhlas, dan
lebih meletakkan diri secara benar sebagai makhluk Tuhan yang tak berdaya. Dan
pada kenyataannya manusia memang tak punya daya apa pun untuk mengubah
ketentuanNya.
Puisi berjudul "Ranting" (Rembang
Dendang, hal. 3) juga menggambarkan keadaan serupa. Namun penyampaian pesannya
lebih terasa mendalam. Bukan sekadar mengingatkan betapa manusia itu kecil,
tetapi juga bagaimana takdir Tuhan selalu berlaku, serta tidak adanya sesuatu yang abadi di dunia
ini. Berikut puisinya:
Itu aku
Ketika terjulur menciumi bulan
Itu aku
Ketika menggigil ditampar malam
Itu aku
Ketika terbakar dipapar siang
Aku ada
Kecil saja
Aku ada
Dalam bayang pongah tempatku bertumbuh
Aku
Digenggam kehidupan
Bak lengan pemandu sorak
Itu aku
Kering patah terkulai layu
Terurai waktu di dalam tanah
Perkenalkan namaku: "Ranting"
Sekata saja
Dari puisi tersebut, adakah kita sadar bahwa
"ranting" itulah kita? Dan tiadalah satu pun takdir Tuhan yang luput.
Jika memang Dia berkehendak, maka terjadilah. Seperti halnya pergantian musim,
kelahiran, kematian, jodoh, musibah, dan rezeki, segala apa yang menimpa
"ranting" itu ditelannya mentah-mentah, suka atau tidak.
Pada bagian yang berbunyi: "Aku ada dalam
bayang pongah tempatku bertumbuh", menjadi semakin menarik saja.
Ingatkah kita, bahwa terkadang kita ini lupa, hingga menganggap diri sendiri
hebat? Bayang-bayang--yang bentuknya hampir selalu lebih besar dari benda
aslinya--adalah kesombongan dalam diri manusia. Padahal kita ini kecil, tak
lebih dari sebatang "ranting". Sementara kita sendiri "digenggam
kehidupan bak lengan pemandu sorak", yang jelas-jelas lebih besar. Kita
ini bergantung dari sesuatu yang lebih besar: "pohon", yang tak lain
adalah takdir. Sedang yang mengendalikan takdir sendiri adalah Tuhan. Kelak,
kita pun pasti "kering, patah, terkulai, dan layu". Tinggal menunggu
waktu saja.
Ketiga contoh puisi di atas, telah menjawab
pertanyaan-pertanyaan saya yang lain, seperti: bagaimana menuangkan amarah dan
kekesalan dalam bentuk puisi? Bagaimana menyampaikan nasihat yang
"nikmat" dalam berpuisi? Serta apakah puisi hanya sebatas permainan
kata-kata?
Amarah dan kekesalan yang diangkat dalam bentuk
puisi, ternyata tidak harus penuh dengan emosi. Denni Meilizon memberi solusi
lewat bait-bait yang terasa
ironis. Baris per barisnya terasa tajam walau dipilih dari kata-kata halus.
Puisi "Rakyat Itu Aku, Engkau, dan Kita" di atas contohnya.
Sedangkan nasihat yang terasa nikmat, tentunya
yang tidak terkesan menggurui. Puisi "Mencermini Sebentuk Ruang Bujur
Sangkar" contohnya. Di sana kita seolah diajak bercermin bersama-sama.
Artinya, tidak hanya kita yang merasa ditegur, melainkan juga penulis tampak
menegur dirinya sendiri.
Terakhir, apa puisi sebatas hanya permainan
kata-kata? Tentunya tidak. Puisi tidak hanya tercipta dari bagaimana kita
mempermainkan kata demi kata, tetapi bagaimana mengolah kata agar dapat
menampung keseluruhan pesan, untuk kemudian melaburkannya ke sekujur badan
pembaca sampai ia merasa mendapat sesuatu dari puisi yang dibacanya.
Denni Meilizon, dengan segala kekhasannya, dengan
segala keajaiban bait-baitnya, menunjukkan pada saya betapa puisi adalah bagian
penting dari kehidupan. Sebab ada begitu banyak manfaat yang bisa dibagi untuk
sesama. Melalui buku ketiganya, "Rembang Dendang", ia membawa kita
berkelana menuju tempat-tempat yang penuh warna, bagaikan mencicipi permen
dengan rasa yang berbeda-beda. Sungguh mengasyikkan! Anda ingin mencoba?
Oleh: Ken Hanggara, pecinta sastra, penulis fiksi
rembang dendang isinya berapa puisi kak?
ReplyDelete