(Dimuat di Harian Fajar Sumatra, Jumat, 8 Januari 2016)
Ujian termudah bagi setan
bisa ditemui di suatu tempat yang memajang ratusan wajah. Di sana setan-setan
berkeliling sesuka hati dan memilih wajah sesuai harapan. Wajah-wajah itu hidup
dan bicara. Punya mata, mulut, hidung, pipi, dan telinga. Namun sebagian wajah
sulit diambil untuk jadikan topeng.
"Hal termanis bagi
setan adalah ketika dimanjakan dengan wajah pasrah sumarah. Di tempat itulah
kau temukan wajah semacam ini. Kau bermain topeng sepuasnya dan membikin senang
negeri kita. Kau naik pangkat dan kebanggaan buatmu sekalian," kata kakakku, senior di sekolah,
yang kini sukses di kota peradaban tempat tinggal manusia.
Ketika itu awan menggelap dan hujan turun begitu
deras. Kami duduk berjejalan di bus terbang yang dikendali setan warna abu-abu. Pemberhentian
pertama, katanya, agak mengagetkan.
"Tak apa," hibur
sang sopir. "Nanti kalau kalian penat karena bergelut dengan dosa dan tipu daya
setiap hari, bisa juga mengentas masalah otak di tempat itu."
Seturun dari bus pengantar
SKKS (Sekolah Khusus Kaum Setan), jalan-jalan dunia manusia bukan terlihat
bergulung liar, berpilin tak keruan sebagaimana di negeriku, tapi bercorak
garis-garis putih halus. Lampu
dipasang di tiang-tiang dan kami tidak boleh memetiknya, karena itu bisa
mengurangi nilai rapor.
"Berani memetik
lampu-lampu hingga padam, berarti kau rusak fasilitas tempat ini. Kau akan
kekurangan wajah. Sebagian wajah yang mudah kau jadikan mainan, akan kabur dari
sini setelah protes dalam pertemuan besar."
"Kok bisa?"
"Wajah-wajah itu sudah
nyaman tinggal di sini dan mereka tak mau kau rusak tempat mereka dengan sabotase fasilitas. Tugasmu bukan di situ. Tugasmu
wajah-wajah itu!"
Kami mengangguk. Seorang
pembina berjalan di baris
paling depan dan menunjuk sana-sini, memberitahu beberapa larangan. Kami berbaris dan memandang
sana-sini riang. Dunia manusia jauh berbeda dengan dunia kami. Penuh aturan
yang aku sendiri justru sulit menjalani andaikan aku lahir sebagai manusia.
Tapi aku lahir sebagai setan, yang menempuh ujian level ringan hari ini. Tidak
sekali pun jalan cerita akan berubah.
"Bisa kau bayangkan
jika saja kita yang jadi manusia?" celetuk temanku tiba-tiba. Kami
bersisian.
"Tak tahu."
"Alangkah menyebalkan.
Di balik kehidupan kita yang khusyuk—andai kita ini manusia—ada sistem yang telaten, tempat di mana kaum setan membentuk
konspirasi demi merusak tatanan hidup keturunan Adam."
"Itu menyakitkan,
bukan lagi menyebalkan," timpalku setengah tertawa.
Kupikir, meski tidak mulia,
kami tahu cara senang-senang. Tepatnya, akan belajar soal itu. Jika setan
ditakdirkan ada di level makhluk rendahan, manusia berada di tengah. Itu takdir dan kesemestian yang dibuat sejak
Adam dan Hawa diusir dari surga karena kebodohan. Tugas kitalah, kaum setan,
membawa mereka yang terombang-ambing ke bawah sampai tak bisa memanjat!
Alangkah hebat bila itu
terjadi. Misalnya saja aku bisa membawa manusia jatuh ke titik terendah. Lalu
kuajak dia bermain. Aku tidak
lagi kesepian dan tidak takut ucapan seorang guru terwujud: "Jika kau gagal, buang saja dirimu ke jurang!
Kau tidak bisa membagi jatahmu. Dan kau menangis tanpa satu pun teman!"
Aku tidak mau menangis dan
aku tidak suka tidak punya teman. Bagaimanapun, kegagalan murid sekolah setan
adalah ketika dia lulus dalam keadaan tipis wajah. Setan hanya sukses diwisuda dalam keadaan wajah tebal dan
kulit mengapal, karena sering buka-tutup topeng. Topeng-topeng itu disediakan
buat kita. Topeng wajah berbagai sifat manusia. Setiap setan jenius mampu
meraup puluhan, bahkan ratusan wajah dalam setahun ujian pertama. Itu
dibuktikan dari seberapa tebal wajah mereka. "Keluar dengan wajah tipis
membuktikan kelasmu rendahan. Dan kau sebaiknya pergi jauh dari dunia
manusia," kata seorang senior.
Aku berharap bisa melakukan
yang terbaik. Menjadi setan nomor satu tahun ini.
*
Di sini, di tempat inilah, ujian pertama dilangsungkan. Dalam tujuh
hari awal kami akan dipantau oleh tim pembina yang dibayar khusus oleh Raja
Iblis. Sesudahnya kami dilepas dan dipantau dari neraka. Di tempat ini pula nanti
kami akan belajar sekaligus
berpesta.
"Berpesta?"
"Pertama," jawab
seorang pembina, "kalian diberi wewenang mengontrol manusia, dengan
catatan: sanggup menguasai jiwa mereka. Peluk dan rayu sehalus mungkin. Jerat
dan jangan lepaskan mereka. Tapi lebih dulu amati, karena kadang-kadang setiap
wajah di tempat ini menipu. Kau boleh jadi merayu manusia suci bertampang
maling, atau kau juga boleh jadi tengah merayu manusia terbejat berparas nabi. Tidak sulit membedakan. Kau
hanya perlu melihat tingkah lakunya."
Peluk dan rayu sehalus
mungkin. Jerat dan jangan lepaskan. Tak sulit. Anggap kau bocah di toko mainan.
Ibumu memberi kebebasan memilih mainan. Bagaimana bisa kamu tolak? Kau hanya
perlu berkeliling rak demi rak dan meraih wajah-wajah itu dengan sabar.
"Kedua, penguasaan
materi membuatmu sadar tempat semengerikan ini sejatinya adalah surga bagi
kita. Surga bagi setan yang mencari teman berbagi. "
Tempat itu memang
mengerikan. Indah, tapi sangat tidak pas untuk kami. Ratusan
manusia berkumpul dan duduk di kursi, sehingga aku percaya kami akan sulit
berpesta di sini jika kelak bosan karena tiap hari kumpul dengan stok dosa dan
tipu daya, seperti ucapan sopir bus tadi.
"Kita di tengah lautan
manusia! Bagaimana bisa berpesta?!"
"Apa masalahnya?"
"Kita akan terbakar
dan mati!"
"Hei, ini ujian
termudah. Kau pikun?!"
"Jadi?"
"Kau tidak terbakar
dan mati hanya karena mereka
lebih mulia. Kau justru lebih lapang dan sejuk, karena di sini penuh kaum
munafik dan pendosa!"
"Itukah kenapa ini
disebut ujian termudah di SKKS?"
"Ya! Tolol!"
Aku mengerti, meski heran.
Tentu aku senang. Tidak terbakar di tengah lautan manusia, itu hal yang baru.
Wajah-wajah atau topeng-topeng, yang ternyata interpretasi hati manusialah, yang harus kami taklukkan. Namun, sebagai murid kelas satu, pikiran
lain datang. Hidup di tengah ratusan wajah bermata, bermulut, berhidung,
berpipi, dan bertelinga apakah tidak membuatmu merasa sebagai si asing? Kau pikir dirimu bukan
siapa-siapa. Kau pikir dirimu rendah. Kau pikir dirimu layak dibuang di tempat
sampah atau sekalian jurang neraka sehingga menangis sebagai lulusan SKKS
paling gagal, sementara orang-orang itu tertawa dan tidur-tiduran di meja
panjang penuh tumpukan tugas kantor. Tapi, sebagai murid paling ambisi meraih gelar setan nomor satu tahun
ini, aku kira semua itu tinggal dibalik.
"Kita lagi
belajar," temanku menimpali. "Lihat manusia-manusia ini. Seperti kata
Senior, kita baca tingkah mereka. Topeng-topeng berkeliaran dan tugas kita
menjerat mereka yang senang bertopeng."
"Lalu dengan itu kita
mengajak mereka bermain?"
"Nah!"
Baiklah, kita mulai hari
ini dengan manusia pertama. Target pertama. Mohon maaf, aku tak menyebut nama.
Aku tahu dia berwajah santun, namun hatinya kotor. Kuraih topengnya dan
kupeluk. Kami bertopeng berdua. Kami bermain berdua. Amat mudah. Menjerat tubuh
berbahan dasar tanah sehingga bergerak-gerik semacam boneka. Lantas mencuri dan
menimbun uang-uang yang bukan haknya. Lantas berkoar di depan kamera bahwa ia
berdiri untuk manusia lain yang dia pimpin.
Dan, oh, bermain dengan
gadis muda nakal juga
menyenangkan. Bermain di suatu hotel. Bermain dasi dan daster dan bir. Bermain
air dan busa sabun. Bermain uang dan koper. Bermain topeng, yang entah pada
hari ke berapa kebersamaan kami, tayang di sebuah halaman koran dengan judul: Anggota
Dewan Terseret Kasus Korupsi. Topeng yang amat jelek!
Apakah kami berhenti?
Ini ujian termudah di
sekolah setan. Tahun depan, temui aku di level yang lebih sulit. Itu pun kalau
kau lulus! [ ]
Gempol, 12-13 September - 16 Desember 2015
alamat e-mail untuk mengirim cerpen tersebut apa ya? terima kasih..
ReplyDelete