Skip to main content

Menulis untuk Uang... Salahkah?

Menulis untuk mendapat uang? Kenapa tidak? Tidak ada yang salah dengan itu. Namanya juga tujuan. Selama menulis itu dilakukan dengan baik dan jujur, tidak ada salahnya orang punya misi mendapat uang. Yang jadi soal hanyalah: fakta bahwa uang tidak seinstan itu didapat dari menulis, sebab ada proses panjang yang perlu kita lalui.

Mungkin ada beberapa orang yang kelihatannya cepat sekali "kaya" dari menulis, tetapi saya yakin itu memang takdir khusus yang sengaja Tuhan beri untuk orang-orang ini (peraih gelar best seller di karya pertama, misal) untuk inspirasi yang lain. Di sisi lain, tidak semua orang ditakdirkan menjadi inspirator.
Tuhan adil? Tentu saja adil. Kalau semua orang di dunia ini jadi inspirator, bagaimanakah dunia disebut indah dan bermakna? Bayangkan saja itu.

Tetapi apakah bisa, yang takdirnya bukan sebagai inspirator, mendapat uang dari menulis? Bisa. Tapi ya tadi: prosesnya lebih panjang. Bahkan yang (kelihatannya) cepat dapat uang saja juga ada prosesnya. Apa? Belajar. Tidak ada tulisan bagus tanpa belajar menulis dengan tekun dan banyak membaca. 

Kita ini sama-sama manusia. Bekal jadi penulis sama-sama dua: raga dan pikiran. Kecuali malaikat yang punya sayap, manusia tidak bisa terbang kalau tidak numpang pesawat/helikopter. Maka hukum fisika soal aksi reaksi berlaku. Bukan hukum simsalabim alakadabret, sebab ini bukan dunia magic atau dunia robot Doraemon. Manusia bukan mie instan, 'kan?

Menarik sekali membahas ini dengan seorang teman. Bahwa di akhir diskusi kami setuju setiap penulis berhak memasang tujuan masing-masing di depan jidat sejauh empat sentimeter (lebih dekat satu senti dari yang di film itu), yang salah satunya adalah menulis untuk uang. Dengan catatan penulis itu harus menyadari hukum aksi reaksi tetap berlaku sebelum sangkakala tanda berakhirnya dunia ditiup. Jadi, ada hasil kalau ada usaha, sehingga nol hasil kalau cuma bermimpi.

Demikianlah, kami meyakini setiap orang yang bertujuan mendapat uang dari jalan menulis, kelak pasti ada saja rezeki berupa uang didapat, selama ia mau belajar dan berusaha memperbaiki kemampuan menulis dan attitude-nya dari waktu ke waktu. Proses adalah susunan anak tangga yang mau tidak mau harus kita lewati karena kita bukan malaikat bersayap. Bahkan naik lift ke lantai teratas pun harus lewat lantai-lantai di bawahnya dulu.

Di akhir pertemuan, saya tergelitik untuk bicara soal sebagian orang yang menyangkal hukum aksi reaksi ini. Rata-rata mereka berpikir: semua penulis pasti gampang dapat uang asal tulisannya segera terbit. Ini tidak menghargai proses dan salah tempat. Di satu sisi, karena biasanya yang berpikir begini adalah newbie, maka kemampuan menulis pun masih mendasar, sehingga sering ditolak dan tidak sabar. Maka ujung-ujungnya orang seperti ini melakukan aksi plagiasi. Pikiran soal uang dan uang cepat membuntu segala jenis pikiran lain yang harusnya didahulukan, yakni memperbaiki tulisannya. Yang ada malah dia menyesal sendiri.

Jadi, menulis untuk mendapat uang itu tidak salah. Tapi juga perlu diperhatikan: segala bentuk pencapaian butuh proses, sebab kita bukan mie instan.

Semoga tulisan ini bermanfaat. Kalau tidak, ya semoga terhibur. Ini sekadar cara saya dan teman itu memandang hadirnya proses dan tujuan.

Salam semangat dan selamat pagi.

Comments

Post a Comment

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri