Skip to main content

[Cerpen]: "Keluarga Frank" karya Ken Hanggara


Gambar: Sacrifice oleh Dedi Blesak

(Dimuat di Flores Sastra, 19 Desember 2016)

Ada sebuah rumor bahwa keluarga Frank, yang tinggal di depan rumah Mudakir kira-kira sebulan terakhir ini, tidak pernah mengonsumsi daging sapi. Pada suatu hari penting, yang mana Mudakir dan seluruh keluarga besarnya merayakan ulang tahun Leli, bungsu Mudakir, Frank beserta istri diundang. Tujuan utama Mudakir: menguji apakah benar keluarga Frank tidak mengonsumsi daging sapi?
Memang, baik Mudakir maupun istrinya sudah tahu, bahwa orang tidak suka makan daging sapi adalah karena berbagai sebab. Ia bisa membaca banyak referensi dan juga dapat mencari informasi di internet tentang penyakit akibat terlalu banyak menelan daging dan semacamnya, tetapi Mudakir dan istrinya juga tahu betapa keluarga Frank sama sekali sehat.
“Lagi pula,” kata istri Mudakir di malam hari sebelum esok pesta digelar, “kita tidak benar-benar tahu apakah mereka memang benci daging sapi atau memilih tidak makan daging sapi. Antara benci dan memilih tidak makan itu beda.”

Mudakir setuju, tetapi toh tetap saja mereka ingin mencari tahu secara langsung. Melihat dengan mata kepala dengan sekadar mendengar rumor adalah urusan yang jauh berbeda.
Di hari yang sudah dinanti-nanti, sayangnya, keluarga Frank tidak juga datang. Mudakir dan istri sudah menanti-nanti saat ini sejak subuh hari. Mereka membayar seseorang untuk pergi ke pasar dan belanja segala macam bahan, lalu masak menu-menu enak dari daging sapi, dan bahkan mereka menyiapkan bangku khusus untuk Frank dan istrinya.
Sampai matahari terbit dan jarum jam berputar terus menerus hingga menginjak pukul 10 lewat, pintu rumah keluarga Frank belum juga terbuka. Rumah itu letaknya tepat di seberang rumah Mudakir, sehingga siapa pun di rumah Mudakir tahu kalau- kalau Frank dan istri sudah siap meninggalkan rumah. Hanya saja, mereka belum juga tampak; pintu rumah itu seakan-akan terbuat dari batu dan terpancang selamanya di sana tanpa pernah ada yang membuka. Mudakir dan istri curiga. Mungkin Frank dan istrinya sengaja menghindar agar tidak ada orang lain tahu mereka memang tidak suka daging sapi.
Rumor ini tentu bermula dari bisikan seorang tetangga jahil. Alangkah banyak saudara atau kerabat Mudakir yang tinggal di dusun tersebut, sehingga rumor tentang keluarga Frank yang tidak makan daging sapi pun juga sudah pula mereka tahu. Pada sebuah acara di rumah tokoh terpandang, yang juga saudara jauh Mudakir, ketika pertama kali Frank dan istri datang memperkenalkan diri, mereka sama-sama kompak menghindari daging sapi dan memilih menyantap sayur mayur atau beberapa iris buah segar.
Seorang anggota keluarga Mudakir, yang juga hadir di acara pesta ulang tahun Leli dan tidak sabar memulai acara makan-makan setelah tiup lilin di kue ulang tahun, berkata dengan penuh sindiran, “Orang tidak suka makan daging dan lebih memilih sayur atau buah-buahan ketimbang lainnya, kenapa kalian pikirkan? Kalau toh mereka tidak suka, apa urusan kalian? Dan kalau rumor itu cuma omongan tanpa dasar, yang artinya hanyalah bohong belaka, sebab kebetulan saja waktu itu Frank dan istrinya tidak menyentuh daging sapi, apa juga urusan kalian?”
“Kami cuma ingin tahu, dan saya rasa wajar saja kita cari tahu siapa tetangga kita yang sebenarnya,” balas istri Mudakir kesal. Ia tahu ucapannya memang tak ada dasarnya. Apa haknya untuk tahu? Tidak ada. Mudakir pun juga berpikiran sama, tapi toh rumor yang berkembang mengatakan bahwa Frank dan istri mungkin tergabung dalam sebuah sekte yang mengutuk perbuatan tertentu, salah satunya adalah menolak makan daging sapi sekaligus membunuhi sapi-sapi pada malam-malam tertentu dalam rangka penyucian diri.
Entah benar atau tidak, memang tidak ada yang punya bukti apa-apa. Tidak ada peternak sapi di sini, dan mungkin saja apa yang salah satu anggota keluarga barusan katakan memang benar: semua ini hanya omong kosong.
Mereka lalu berdebat panjang lebar apakah hidangan yang luar biasa banyak dan enak tadi dapat segera dimakan, atau harus menunggu lebih lama lagi, sehingga dapur di belakang rumah Mudakir hampir tidak pernah berhenti menghangatkan makanan. Makan makanan dingin tentu saja bukan sesuatu yang menyenangkan di acara yang seharusnya menyenangkan.
“Dan oleh karena kalian orang-orang dengan pikiran aneh ini, kami para tamu yang sudah datang malah kelaparan!” sambung salah satu anggota keluarga tadi.
Karena yakin keluarga Frank memang tidak hadir, tepat pukul sebelas, dengan amat sangat terpaksa, Mudakir mengizinkan seluruh hidangan disetor ke meja dari dapurnya yang luas.
Leli sempat sedih karena semua orang dewasa membahas pintu rumah keluarga Frank yang masih juga tutup, dan juga makanan-makanan di dapur, dan sesekali sapi yang dibunuhi secara tidak wajar di suatu tempat yang entah di mana, dan malah tak ada yang peduli hadiah macam apa yang dia dapatkan tahun ini.
Tahun ini Leli dapat boneka kesukaannya. Dibeli secara khusus oleh Mudakir, dan tentu boneka ini limited edition, diproduksi dalam jumlah terbatas sehingga hanya dengan merogoh dompet dalam-dalam, seseorang baru bisa membeli. Yang membuat boneka itu istimewa adalah: boneka ini dapat menerjemahkan ucapan si pemilik ke bahasa Inggris dan bahasa Arab.
Ketika seluruh keluarga besar Mudakir berkumpul di meja makan dan setiap orang siap menyantap makanannya, Leli dengan riang gembira memamerkan boneka itu, dengan tujuan agar situasi yang sempat panas tadi tidak merusak suasana pesta. Anak itu memang pintar. Dengan lantang ia berkata, “Aku nggak perlu belajar bahasa Inggris, soalnya sudah ada gurunya!”
Serempak semua mata menuju ke Leli, dan Mudakir yang belum selesai kesalnya karena gagal mencari tahu kebenaran rumor soal keanehan keluarga Frank, menjawab, “Oh, tidak, Nak. Kamu tetap harus belajar bahasa Inggris ke guru yang biasanya itu. Boneka tidak bisa jadi guru, dan dia cuma mainan.”
Leli yang sudah yakin usahanya tadi berhasil, dan mendapat respons sebaliknya dari sang ayah, kembali sedih. Alhasil, pesta itu berjalan tidak sesuai harapan semua orang. Mudakir dan istri gagal mencari tahu rumor keluarga baru di seberang rumah mereka, para tamu merasa dipermainkan, dan Leli merasa dia bukan anak kandung.
Leli sakit esoknya dan tidak sekolah dua hari. Dalam beberapa hari berikutnya. Mudakir tahu satu-dua sepupunya yang tinggal tidak jauh dari rumahnya mulai suka membicarakan segala keburukannya.
Leli yang biasanya manja ke Mudakir dan istri, menjadi sama sekali tak peduli apakah ayah dan ibunya berharap ia sehat kembali atau tidak. Ia hanya berpikir, acara pesta ulang tahun itu sekadar formalitas, dan dia tahu umurnya sudah delapan tahun. Ia bukan anak kecil dan pernah membaca cerita-cerita di perpustakaan bahwa ada anak angkat yang diperlakukan tidak baik oleh orangtuanya.
“Aku lebih suka diperlakukan tidak baik, daripada dibaik-baikin tapi ternyata cuma bohong!” curhat Leli ke teman sebangku. Curhatan ini didengar oleh seorang guru, dan Mudakir mendapat telepon khusus dari kepala sekolah bahwa sebagai ayah, seharusnya ia lebih perhatian pada anaknya.
Mudakir menerima telepon itu ketika ia melintas di depan rumah saudara yang tempo hari protes dan mengajaknya berdebat. Dengan suara yang sengaja dibuat-buat, saudara itu mencibirnya hanya agar para pengguna jalan yang juga lewat di depan rumahnya tahu betapa kelakuan Mudakir dan istri dalam menjamu tamu tak bisa ditiru.
Sampai di titik ini Mudakir tahu ia dan istrinya sudah dicap buruk oleh Leli dan malah seluruh keluarga besarnya. Saudara terbaiknya saja juga tidak lagi menyapanya, sejak di perdebatan pada acara pesta Mudakir berkata, “Kalian tidak perlu tahu urusan apa yang sedang saya usahakan! Kalian orang-orang menyedihkan. Tak pernah lapar, tapi mengaku kelaparan dan membuat kacau rencana kami.”
Kalau dipikir-pikir, ucapan itu sebenarnya biasa saja. Yang membuat keluarga besar Mudakir tidak terima adalah: mereka merasa tidak lebih penting dari sepasang suami istri muda yang belum sebulan ini Mudakir kenal.
Memangnya siapa Frank dan istri? Memangnya mereka raja dan ratu, sehingga semua tamu yang jauh lebih tua harus menunggu dua orang ini datang lebih dulu dan baru bisa menikmati sajian pesta? Di acara pesta ulang tahun itu, mertua dan orangtua Mudakir juga hadir, dan tidak paham dengan keanehan sikap anak-anak mereka.
Tentu saja, semua perubahan ini Mudakir dan istri sadari dan telan bulat-bulat. Tak ada upaya membela diri, karena mereka tahu sepenuhnya semua ini disebabkan rasa penasaran mereka sendiri. Tapi, Frank dan istri sudah berjanji hadir, dan dengan ketidakhadiran merekalah, keadaan jadi begini. Maka, jelas sudah siapa yang salah.
Demi membayar seluruh kesialan yang Mudakir dan istri alami, keluarga Frank harus menemui mereka dan menjelaskan alasan ketidakhadiran mereka. Hanya karena sampai berhari-hari kemudian pintu rumah keluarga Frank belum juga terbuka, usaha ini tidak juga jelas pangkalnya.
Seminggu kemudian Mudakir baru bisa menemui Frank yang dengan santainya keluar rumah dengan dandanan kantor. Dengan kesal, Mudakir menghampiri Frank dan bertanya, “Maksud Anda apa sih?”
“Ha?”
“Maksud Anda mengingkari janji di acara pesta itu? Anda sengaja tidak datang karena memang tidak suka berhubungan baik dengan kami atau apa?”
Frank hanya memandangi Mudakir dengan wajah tidak mengerti. Dengan sangat tidak nyaman, lelaki yang baru akan berangkat ngantor itu menjawab, “Saya kira saya tidak sopan, tapi mungkin kita bisa berkenalan sekarang juga.”
Mudakir jauh lebih tidak mengerti setelah Frank menambahkan bahwa ia dan istrinya baru datang semalam, dan pada saat itu tepat jam 11 malam, dan tentu saja rumah Mudakir sudah terkunci.Frank kira, berkenalan dengan tetangga baru bisa dilakukan nanti sore, ketika segala urusan kepindahan dan meeting dadakan di kantor subuh ini beres.
Di hari-hari sesudahnya, Mudakir tidak lagi mengundang pesta siapa pun dalam rangka apa pun, karena keluarga besar mereka sudah membencinya, dan ia tidak mau menambah pengalaman aneh yang membuatnya merasa seakan-akan sedang sinting. [ ]

Bogor, 10 Desember 2016

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya terbit di berbagai media lokal dan nasional.

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri