(Dimuat di Tabloid Apa Kabar Indonesia Plus edisi awal November 2016)
Mas Bram datang dengan
bujuk rayu. Dia bukan lelaki tanpa tanggung jawab. Ibu tak suka caranya membawa
diri. "Tidak sopan," tukasnya. Aku mencintai Mas Bram dan tidak suka
cara Ibu menilainya.
"Ibu tidak tahu, sih,
gimana Mas Bram aslinya," selalu itu yang kukatakan, walau aku
tidak benar-benar tahu watak asli Mas Bram. Aku tak mau ia jatuh ke tangan
wanita lain. Yang aku tahu, Mas Bram ceplas-ceplos. Kadang arogan, tak mau
kalah, ambisius, tapi dia sangat baik.
Kini kesemuan itu, cinta
buta itu, menang. Kalau saja kesemuan hidup, ia hadir dalam wujud aneh. Ia
makhluk bertaring dan haus darah. Seperti mimpi, tapi setengah nyata, aku lari
dan sembunyi darinya. Meski begitu, makhluk itu selalu bisa menangkap dan
mengisap darahku.
Mas Bram mulanya baik.
Kami menikah tanpa restu Ibu. Itulah alasan kenapa aku bersumpah tidak pulang
sampai masalah ini selesai—setidaknya sampai Ibu mau bicara via telepon. Aku
sendiri tidak yakin untuk memulainya. Aku selalu cepat-cepat mengalihkan pikiran
ketika mataku menangkap pesawat telepon dan ingat kesedihan Ibu. Aku selalu
lari dari kenyataan.
Cinta buta menang. Hukum
ini sering berlaku bagi wanita sepertiku. Janji harta yang Mas Bram lontarkan,
masa depan gemilang, dan harapan palsu tentang perbaikan hubunganku dengan Ibu
suatu saat nanti, benar-benar membuaiku. Rasanya semua yang Mas Bram tawarkan
adalah apa yang kuimpikan.
Mas Bram memang kaya. Ia
ahli waris pengusaha kelas atas dan diserahi tanggung jawab kerajaan bisnis
ayahnya yang sakit-sakitan. Pesta pernikahan kami digelar dengan meriah.
Tokoh-tokoh penting diundang. Kalangan atas, jauh dari asal mulaku yang besar
dan tumbuh dalam terpencilnya desa. Di istana ini aku terkucil, bukan karena
tak ada satu pun anggota keluargaku—yang ketika kuingat hari ini, membuatku
sangat malu dan ingin membenamkan wajahku ke lumpur! Yang lebih membuatku
terkucil lebih dari itu: Mas Bram mengarang cerita sejarah yang tak pernah
kulalui.
"Biarlah orang
menganggapmu dibuang. Toh Ibu tak sudi melihat pernikahan kita, 'kan?"
ucapnya santai. Aku patuh. Telanjur terbius asmara yang nyatanya tidak abadi. Apa
sih keabadian? Apa ketika kita tahu orang yang kita cintai jadi sosok yang
pertama dan terakhir kita lihat saat bangun di pagi hari, dan saat menutup mata
di saat ngantuk?
Mungkin mulanya aku
percaya. Jika seseorang bertanya, kamu bahagia dengan pernikahanmu, maka
kujawab: 'ya'. Tapi, waktu tidak bisa ditebak. Ia sering brengsek sehingga
suatu saat kita merasa konyol saat berkata 'tidak' oleh pertanyaan yang
sama, sementara masih ada ingatan menggumpal di kepala soal jawaban 'ya' di
masa lalu.
Tahun pertama kami
baik-baik saja. Mas Bram menyayangiku. Perhatiannya lebih dari ketika kami
pacaran. Tapi, setiap malam aku ingat Ibu. Dia yang menjagaku, dia yang merawatku.
Semua hilang begitu saja karena satu cita-cita kehidupan baru. Aku pernah
bilang pada Ibu, "Suatu hari kalau aku menikah, kuajak Ibu tinggal
bersamaku." Sebuah janji yang pahit. Ingin kugores pangkal lidahku, hingga
sensor rasa pahit hilang. Tapi, aku tahu meski tak berlidah, dosaku tidak akan
berkurang sampai Ibu memberiku maaf.
Kusimpan rasa sedihku
tentang Ibu itu tanpa Mas Bram atau siapa pun tahu. Kujaga dan kupendam lukaku
yang diam-diam mengerak dan tak bisa kukelupas begitu tanpa memancing air mata.
Kalau tiba saatnya bayangan Ibu hadir, aku benamkan diri di kamar mandi.
Kukunci pintu dan aku berkelana sepuasnya dalam kenangan. Tanpa ada yang tahu.
Tanpa membuat Mas Bram kecewa dan bertanya tentang kesetiaan.
Mas Bram jarang pulang
setelah masuk tahun kedua. Aku maklum. Ia makin sibuk dengan pekerjaan. Subuh
dia sudah pergi dan pulangnya lewat jam 2 petang. Hampir 24 jam. Aku makin
jarang mengobrol dengannya. Dulu aku berdebar menunggunya pulang, tak sabar
menyajikan berbagai masakan kesukaannya, yang kubuat dengan tanganku, untuk
kemudian mendengarnya sekadar berkata, "Ini enak." Tapi penantian
semacam itu mimpi di siang bolong, atau mirip sesuatu yang tidak mungkin ada di
dunia nyata; mirip kuda pegasus yang tidak terbukti eksistensinya.
Aku merasa pernikahanku
di ujung tanduk. Mungkinkah karena bertahun menikah tidak juga diberi anak?
Atau, alasan lain? Kutepis pikiran buruk, meski tak bisa membuang sehingga cara
terbaik adalah tidur. Bisikan-bisikan kudengar dari keluarga Mas Bram. Satu per
satu bicara hal-hal tertentu soal kesehatan rahim dan sebagainya. Sesekali
menurut dan patuh mengikuti saran mereka. Sesekali diam menahan sakitnya
tergores cibiran.
Bulan-bulan berlalu, aku
malas mengurus diri. Jarang dandan kecuali ada acara penting. Pun tidak lagi
menghujani diri dengan sandang mahal seperti yang dulu sering Mas Bram beri.
Masuk tahun ketiga, suamiku jarang menyapa. Kami sekali bertemu di kamar, yakni
di subuh hari ketika dia bangun dari tidur singkatnya, lantas bergumam sejenak,
dan berangkat.
Aku habiskan waktu
dengan bercocok tanam. Pengalihan terbaik untuk saat itu dan entah sampai
kapan. Bunga menjadi pilihan. Berbagai jenis bunga kutanam dan kurawat di taman
belakang, dengan pot, kotak kaca kubus, dan terkadang menanamnya langsung di tanah.
Di sini ingatan tentang Ibu semakin kuat. Hampir empat tahun kami berpisah.
Meski tinggal di satu kota, tidak seorang pun keluarga menanyakanku, sehingga
kukira mungkin Ibu juga begitu.
Berkurangnya waktu Mas
Bram untukku, juga hilangnya kasih sayang dia sebagai suami, membuatku
merindukan sesuatu yang hilang: pelukan Ibu. Aku ingat betapa hangat dia
memelukku ketika hujan. Tubuhku yang sakit-sakitan mungkin tak bertahan tanpa
pelukan Ibu. Rengkuhannya melingkupi seluruh bagian tubuhku yang mungil.
"Keong kecilku yang
manis," begitu ucap Ibu selalu, "tidurlah dalam cangkang ini dan
jangan hiraukan hujan datang. Hujan itu berkah, maka tidurlah, dan besok pagi
kita bangun lalu menanam padi bersama."
Tetes air mata yang
semula kupendam sendiri mulai keluar, dan aku tak peduli Mas Bram atau mereka
tahu. Betapa aku merindukannya. Betapa aku amat berdosa. Betapa aku malu...
Pelukan Ibu yang
istimewa mengandung obat bagi segala kesusahanku. Kini aku hanya bisa menyesal
dan mengutuki diri. Aku menangis di saat Mas Bram pulang dengan wajah masamnya.
Aku tak peduli dia marah. Aku tak peduli dia mengumpat, atau memukuliku atau
bahkan menyuruhku mengguyur badanku sendiri sampai kisut dan menggigil. Yang
aku pedulikan hanya sikapku pada Ibu, yang sudah kudurhakai.
Akhirnya kedua mertuaku
tahu. Mereka kira soal kemandulan, tapi Mas Bram dan aku merahasiakan masalah
kami. Mas Bram berlaku baik di depan mereka, memelukku, menciumku—yang tidak
seharum dulu, terutama di saat-saat seperti ini; orang mengira kami jatuh dan bukan
tidak mungkin keluarga terhormat ini jadi bahan gunjingan. Mas Bram tidak ingin
itu terjadi.
Aku merasa hidupku tanpa
arah. Ini tentang Mas Bram dan Ibu. Dua hal yang harus kupilih satu, tanpa bisa
kupeluk keduanya. Aku merasa dua kubu menarikku dari dua sisi. Dan ketika
keputusan kuambil, pengkhianatanlah yang akhirnya kudapat. Mas Bram ketahuan
selingkuh oleh mertuaku. Permasalahan mulai jelas. Meski begitu, tetap aku yang
salah, karena sejarah palsu masa kecil diriku yang terdampar di panti asuhan membuat
mereka mengira aku tak lebih dari penipu.
"Jangan harap kamu
bisa mengeruk harta anakku!" serang ibu mertuaku ketika itu. Dia tak tahu.
Pilihanku bukan semata soal harta, tapi juga perasaan. Bahkan, demi cinta buta
ini aku rela melepas cangkang ibuku.
Aku tak yakin bisa
pulang dalam keadaan sama: diterima dan menjadi bagian dari keluarga besarku,
apalagi mendapat pelukan Ibu. Tapi kupaksa kakiku melangkah dan melangkah.
Pulang ke asal, ke cangkang yang lama kukhianati.
Beban bertahun-tahun itu
sirna ketika udara kampung halaman kembali kuhirup. Aku percaya Tuhan menjaga
segalanya dengan baik. Kabar perceraian itu telah sampai di sini. Aku berani
menebak, karena ia ternyata menungguku di sana, dengan cinta dan senyum yang
sama sekali tak berubah. [ ]
Gempol, 2015 - 2016