Skip to main content

[Cerpen]: "Bahkan, Namrud Saja Mati!" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Mojokerto edisi Minggu, 18 Desember 2016)
    Pada suatu hari, sekelompok nyamuk memutuskan menyerbu dua manusia dewasa yang sedang duduk menunggu kereta. Hari sudah malam dan tentu saja sebagian besar orang sudah tidur. Tetapi, nyamuk-nyamuk di kawasan stasiun tidak perlu pilih mangsa; mereka bisa menyasar siapa saja, asal berdaging dan berdarah, dan asal dapat membikin perut kenyang.
    Baiklah, sampai di sini, kita sudah tahu rencana para nyamuk yang tinggal di suatu stasiun malam itu. Tetapi, di kepala dua manusia dewasa ini tergambar rancangan lain, yang jauh lebih bernilai dan penting ketimbang sekadar mengisap darah makhluk hidup lain.
    Manusia dewasa pertama, yang mengenakan jaket dan agak cabul, berpikir di suatu tempat terdapat seorang gadis yang mau memberinya kehangatan. Gadis itu bisa berciri- ciri apa pun, misal anggaplah berambut panjang dan berbibir merah tipis.
    "Gadis berbibir merah tipis, dan kulit seputih gading," pikir si lelaki berjaket yang akan jadi korban serbuan para nyamuk. Lalu ia bayangkan rambut panjang sang gadis tergerai dan berbau harum dan membuat darahnya serasa mendidih.
    Sementara itu, di kepala manusia dewasa satunya, yang sekadar berkemeja lengan pendek dan berkacamata, muncul angka-angka. Matematika musuh hampir setiap siswa di kelas, tetapi itu pada zaman dahulu kala.
    "Hari begini," pikir si lelaki berkemeja lengan pendek, "matematika adalah sahabat di hari tuamu!"
    Dan memang benar; matematika sudah jadi sahabat lamanya. Ia belum benar-benar pensiun, tetapi angka-angka sudah bersarang di kepalanya sejak dua atau tiga tahun ini, dan ia sadar, tidak lama setelah masa pensiunnya dimulai, ia bisa bahagia di rumah, dan mengerjakan hobi apa pun sampai mati.
    Sekelompok nyamuk yang berangkat cari makan malam itu sudah sampai di sekitar tubuh dua manusia dewasa tersebut. Serangan pertama tentu saja mengenai pemuja uang pensiun. Ia menepuk lengan kiri dengan lengan kanannya, dan kemudian menepuk pipi kiri dengan tangan kirinya. Nyamuk-nyamuk biadab, pikirnya, dan segera saja jumlah tepukan ditambah jumlah percik darah mengambil alih hitungan rupiah di kepala.
    Di kepala manusia yang lain, serangan para nyamuk bukannya mengusir bayangan gadis berambut panjang, berbibir merah tipis, dan berkulit seputih gading. Ketahuilah, kadang-kadang kecabulan bisa lebih menggila jika pelakunya sedang kesakitan. Gigitan pertama nyamuk membuat lelaki berjaket berpikir tentang gadis yang berteriak manja.
    "Si manja," pikirnya santai, lalu tersenyum girang, sementara gigitan kedua, ketiga, dan keempat terus bersambung.
    Nyamuk-nyamuk dengan begitu ganas menyerang leher dan punggung tangan lelaki berjaket, yang sama sekali tak terlindung, tetapi toh tak ada usaha membalas para nyamuk. Lelaki berjaket malah membayangkan gadis yang di kepalanya tadi berteriak manja dan memohon padanya untuk mencari tempat lain guna berpelukan.
    "Baiklah, baiklah," sambungnya, dan ia membayangkan papan nama sebuah motel.
    Di kepala para nyamuk terbesit keinginan, atau barangkali lebih tepatnya doa. Ada lelaki berjaket di stasiun yang kami tinggali ini, demikianlah bunyi pembuka doa para nyamuk, yang seharusnya jadi pelopor, pembaharu sebuah gerakan persahabatan antar dua makhluk ciptaan Tuhan. Nyamuk dan manusia memang sudah semestinya berteman sejak dulu. Semoga, semoga langit dan bumi merestui!
    Tanpa para nyamuk duga, lelaki dewasa berkemeja lengan pendek, yang lumayan cerdas dan berkacamata, dan tentu saja perhitungan serta pelit, memupuk rasa kesalnya. Ia membayangkan, seandainya di stasiun ini tidak ada seekor nyamuk pun. Orang akan bisa dengan tenang menunggu kereta malam yang baru satu jam lagi datang, dan tidak akan ada yang terganggu ketika sedang asyik menghitung angka-angka masa depan.
    "Menghitung angka-angka butuh konsentrasi dan fokus. Menghitung angka-angka itu tidak bisa sambil menahan serangan para nyamuk biadab. Karena nyamuk-nyamuk ini, saya tidak tahu beberapa poin yang seharusnya sudah saya pertimbangkan sejak tadi; apakah baik jika diputuskan begini, atau sebaiknya diputuskan dengan cara lain! Kenapa nyamuk diciptakan? Sejak zaman dahulu kala, nyamuk dan manusia sudah bermusuhan! Bahkan Namrud saja mati gara-gara nyamuk!" gerutu lelaki berkemeja lengan pendek, tentu dalam hati.
    Sayangnya, lelaki berjaket yang duduk di sampingnya, yang sedari tadi menikmati saja serbuan para nyamuk akibat lamunan cabulnya, malah terkekeh menyadari bahwa di sampingnya sedang duduk lelaki berkacamata dengan tampang sebal akibat serangan nyamuk.
    Lelaki berkemeja lengan pendek pastinya tidak tahu isi kepala lelaki berjaket yang kini terkekeh di sampingnya. Ia tidak mungkin tahu bahwa di balik rambut gondrong itu, ada sosok gadis berambut panjang, berbibir merah tipis, dan berkulit putih gading, pergi ke kamar motel gara-gara serbuan nyamuk. Ia juga tidak mengerti bahwa gadis itu rela melakukan apa pun karena lelaki berjaket sudah membayarinya uang sewa kamar motel, agar tidak ada nyamuk malam ini. Agar tidak ada nyamuk di hidupnya. Tentu saja, dua manusia dewasa bukan Tuhan. Dan tidak ada manusia yang membaca isi kepala sesama.
    Heran dengan ketenangan lelaki berjaket, sementara jumlah nyamuk seakan-akan bisa menutup seluruh permukaan tubuh mereka berdua, lelaki berkemeja lengan pendek pun terpaksa berkata, "Bung tidak terganggu?"
    Lelaki berjaket kini sampai pada tahap puncak, yakni ketika sepasang manusia ada di suatu kamar, dan siap berbuat dosa terindah, sudah pasti tidak mendengar ucapan itu. Sebenarnya dia memang tidak dengar apa-apa, dan tidak mau dengar apa-apa, kecuali bunyi lantang tanda kereta datang. Dan itu masih lama.
    Tetapi, lelaki berkemeja lengan pendek, yang terganggu aktivitas otaknya dengan angka-angka oleh para nyamuk, bicara sekali lagi. Kali ini lebih dekat ke kuping lelaki berjaket, "Bung terganggu, tidak?!"
    Lelaki berjaket melompat dari kursinya karena kaget, dan para nyamuk yang tadi sudah amat yakin manusia yang satu itu bisa diajak berteman, beterbangan ke berbagai arah, kemudian tidak lagi yakin bahwa manusia mungkin bisa menjadi teman selamanya sampai kiamat nanti. Bayangkan, jika memang itu terjadi. Syukurlah, pikiran nyamuk- nyamuk tidak sampai menjadi kenyataan.
    Lelaki berjaket segera kehilangan gadis cantik di kepalanya, yang nyaris membuka baju untuknya seorang, di sebuah motel khayalan dalam kepala cabulnya. Dengan kesal dia memarahi lelaki berkemeja lengan pendek, karena sudah mengganggu ketentangan dan privasinya.
    "Saya tidak tahu yang Bung maksud sebagai privasi itu yang bagaimana. Dari tadi nyamuk-nyamuk menyerbu kita berdua, tetapi Bung malah tersenyum girang dan seakan tak ada kenikmatan lain selain membiarkan kulit Bung habis ditusuki nyamuk!" balas lelaki berkemeja lengan pendek.
    Karena tidak mungkin menjelaskan bahwa di kepalanya tadi ada seorang gadis ayu dengan rambut panjang, bibir merah tipis, dan kulit seputih gading, yang mengajaknya ke suatu motel, maka lelaki berjaket pun cuma mengumpat dan pergi begitu saja untuk mencari bangku lain.
    Lelaki berkemeja lengan pendek agak menyesal, karena tujuan dia bertanya kepada lelaki di sampingnya tadi adalah: barangkali lelaki berjaket tadi bersedia meminjamkan jaket untuknya, sebab bukankah nyamuk-nyamuk tidak mengganggu ketenangannya? Dan bukankah jaket itu akan sedikit membantu mengurangi penderitaan orang yang lagi asyik bergelut dengan angka-angka di kepala?
    Di satu sisi, selagi dua manusia dewasa tadi menjauh, para nyamuk memutuskan tetap mencari mangsa berupa darah manusia, dan tidak usah pilih-pilih. Tentu ada lebih banyak manusia di sudut-sudut lain stasiun. Jika saja kebetulan mereka menemui sosok yang lebih cerewet ketimbang lelaki berkemeja lengan pendek tadi, toh mereka dapat pergi dan mencari mangsa lain.
    "Asal bikin perut kenyang," pikir para nyamuk, "dan tidak harus berteman dengan manusia." []

    Gempol, 15 Desember 2016

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya terbit di berbagai media lokal dan nasional.

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri