Skip to main content

[Cerpen]: "Kopi Darat" karya Ken Hanggara



(Dimuat di Radar Bromo edisi Minggu, 4 Desember 2016)

Jun ke luar kota minggu depan. Ada janji temu dengan Maria, gadis cantik yang dia kenal di Facebook. Maria memang cantik. Jun memamerkan foto gadis itu padaku dan bersumpah bahwa kelak suatu hari, akan lahir bocah-bocah unggulan generasi penerus bangsa dari pernikahan mereka.
Sebegitu yakinnya Jun akan menikahi Maria, yang bahkan belum pernah dia temui. Aku toh diam saja dan tidak mengatakan apa-apa pada sobatku ini, tentang betapa orang di zaman sekarang sangatlah sulit dipercaya. Barangkali karena dia sahabatku, dan baru kali ini kutahu Jun menyukai perempuan yang katanya juga menyukainya, maka aku tak tega menyampaikan kemungkinan bahwa Maria bisa saja penipu.
"Sebagai sahabat, saya rasa kamu berhak bicara begitu. Ini juga demi kebaikan Jun, dan bukan berarti kamu membuatnya putus asa," kata Lik Karman, pamanku, yang juga tahu betapa malangnya kisah asmara Jun.

Baiklah, memang awal mula kesungkananku mengungkap soal rasa curiga pada si Maria adalah dari sini; Jun tidak pernah memenangkan hati gadis mana pun, sementara di sekitarnya, hampir seluruh lelaki yang sejak kecil berteman dengannya, sudah punya anak.
Aku sudah punya anak empat, dan bahkan ada teman kami yang sudah kawin-cerai sebanyak tiga kali karena merasa tidak cocok dengan pasangannya. Tentu kami yang seangkatan ini sudah tidak lagi muda, dan Jun yang setua itu baru kali ini tahu sensasi mencintai dan dicintai.
Aku tidak tega, tetapi Lik Karman memintaku tega. "Lebih baik Jun sadar sekarang, dari ucapanmu yang mungkin kelewatan, ketimbang melihatnya pulang jadi gila dan tak ada bedanya dengan Satuman," tambah pamanku.
Satuman adalah satu-satunya lelaki sinting di desa kami, yang menjadi begitu oleh cinta. Alangkah banyak manusia waras menjadi tidak waras gara-gara asmara, dan satu contoh yang patut diangkat Lik Karman cukuplah Satuman. Tidak ada kesedihan akibat gagal cinta yang mengalahi kesedihan kisah Satuman. Dia legenda kegagalan yang bagi Lik Karman seharusnya bisa membuat kami belajar.
Aku tidak mau Jun berubah gila dan berkeliling desa dengan hanya berbalut sarung bolong sepanjang hari seperti Satuman, atau sesekali telanjang dan menyebut-nyebut nama Maria seperti radio rusak. Jadi, malam sebelum besok paginya Jun berangkat, aku mampir ke rumahnya dengan alasan sekadar ngobrol. Tanpa kuminta, Jun mengatakan betapa beberapa orang meragukan kesuksesan asmara yang dia dambakan.
"Aku tahu Maria mencintaiku, dan orang-orang itu iri. Mereka menikah lebih dulu beberapa tahun dariku, tapi coba lihat. Tidak benar-benar ada istri secantik Maria di sini. Ingat, Bung, Maria bukan perempuan nakal. Dia kerjanya kantoran, dan belum pernah pacaran. Bayangkan ada gadis seperti itu, kenal di Facebook dan memanggilmu 'Yang'! Belum ada gadis memanggilku 'Yang', dan dia betul-betul memanggilku dengan cara itu. Bisa kaubayangkan, he? 'Yang' itu 'sayang'. Kamu tidak boleh cemburu. Maria ini cantik, dan banyak yang cemburu. Aku yakin kamu tidak cemburu. Kamu sudah beranak empat, Bung! Nanti giliranku dan Maria beranak banyak!" kata Jun panjang lebar.
Aku cuma duduk saja dan pada akhirnya saran Lik Karman, yang akan kuupayakan dengan kalimat-kalimat tenang, buyar seketika. Aku tidak jadi bicara soal betapa Maria bisa jadi hanyalah penipu. Tidak masuk akal ucapanku jika Jun sekadar pengangguran, tetapi temanku ini tidak ragu memasang foto-foto berbagai usaha yang terbilang sukses. Ada mobil dan rumah baru juga. Urusan asmara boleh kalah, tapi soal bisnis, Jun nomor satu.
Inilah yang kutakutkan; bahwa Maria sebenarnya tidak pernah ada. Jika ia memang tak ada, bukan berarti ia hantu. Ia bisa jadi bajingan dengan kepandaian bersandiwara lewat tulisan. Tujuannya tentu menipu lelaki macam Jun, yang baru bisa bermedia sosial, yang baru tahu bahwa internet mungkin dapat memberimu jodoh bagai mimpi di siang bolong, agar terpesona oleh foto palsu, sebelum dijerat dan korban terpaksa membayar dengan jumlah tertentu demi bisa pulang dengan selamat. Ia juga bisa seorang wanita, dengan tampang buruk rupa, yang memang serius mencari jodoh namun tidak terlalu percaya pada wajah sendiri. Kemungkinan kedua ini bukan tidak mungkin terjadi. Ada banyak kejadian seandainya Jun mau lebih teliti.
Tetapi, selama memikirkan semua ini, aku tetap tidak mampu bicara juga, dan Jun tidak juga berhenti bicara tentang kemungkinan-kemungkinan indah yang bisa dia jalin berdua dengan Maria. "Berdua saja, Bung. Bayangkan. Berdua!" kata sobatku itu penuh semangat.
Barangkali karena aku lebih banyak diam, padahal tadi kukatakan tujuanku ke sini adalah untuk bicara soal sesuatu, Jun berhenti bicara bersamaan dengan selesainya tugas mengemasi baju-baju ganti. Ia bertanya obrolan apa yang kiranya membuatku mampir malam-malam.
"Memangnya jadi tiga hari, Jun?" kataku tanpa berpikir lagi.
"Oh, ya. Tiga hari dua malam. Dan kurasa itu memang cukup. Mau ngobrol apa sih?"
"Enggak. Soal Maria ini," sahutku. Kemudian kusampaikan juga apa yang memang seharusnya kusampaikan dari tadi. Bahwa aku tidak cemburu karena istriku tak secantik Maria yang di Facebook. Dan bahwa aku cemas Jun pulang sebagai Satuman generasi kedua.
Jun mulanya tertawa, karena Satuman sang legenda itu memang dari dulu terkenal gila karena kegagalan asmaranya. Waktu itu tentu Jun belum jadi bujangan tua seperti hari ini. Kami sering menjadikan Satuman bahan candaan, tidak peduli ada atau tidak ada si gila itu di sekitar kami. Melihatku tidak ikut tertawa, Jun tampak tersinggung dan tidak mengambil waktu untuk memintaku pulang.
"Sebaiknya berpikir yang baik-baik saja. Ini kopi darat pertama, dan akan ada kopi darat kedua, ketiga, dan seterusnya, Bung!" kata Jun. "Nggak mungkin juga aku nikahi anak orang begitu pertama kali ketemu!"
"Ya, aku tahu memang seperti itu biasanya. Orang ketemu satu-dua kali tidak bakal langsung nikah."
"Memangnya binatang! Ini pasti kerjaan Lik Karman? Atau siapa? Bung, aku tidak mungkin gila kalau seandainya Maria tidak mencintaiku, atau malah tidak pernah ada di dunia nyata. Tapi, setidaknya biarlah ada harapan itu. Istri cantik dan anak yang banyak; kamu tidak pengen lihat diriku senang? Kalau memang nanti gagal, ya berarti akan ada lebih banyak kopi darat."
Jun mengantarku sampai teras, dan sebelum aku pamit, ia bersumpah tidak menjadi Satuman, sekalipun itu mungkin saja terjadi. Namun dia tahu segala yang kulakukan ini adalah karena kami bersahabat, bukan karena aku iri oleh foto cantik Maria. []
Gempol, 8-11-2016

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri