Skip to main content

[Cerpen]: "Maria Takut Dimangsa Anjing" karya Ken Hanggara



(Dimuat di Minggu Pagi edisi Jumat, 9 Desember 2016)

Maria bukan tidak suka ke sekolah. Ia sangat suka matematika dan rapornya tidak pernah dapat merah. Ia anak yang pintar dan punya dua puluh sembilan piala sejak tiga tahun duduk di bangku sekolah dasar. Piala itu didapat dari bermacam-macam prestasi dan lomba. Jadi, bagaimana mungkin Maria benci sekolah?
Masalah dimulai saat Mama pindah rumah tiga hari yang lalu. Tentu saja, sebagai anak, Maria juga ikut pindah. Pindah rumah sama dengan pindah sekolah. Dan inilah yang membuat anak manis ini malas ke sekolah.
"Ada apa sih?" tanya Mama. "Apa ada yang nakal mengganggumu? Atau, gurumu ada yang galak? Cerita sama Mama, Nak."

Maria tidak bercerita, melainkan menggeleng saja. Mama tidak tahu harus bersikap apa, kecuali membujuk anak itu dengan berbagai kalimat yang beliau sendiri sebenarnya tidak terlalu yakin, tentang teman-teman nakal yang kelak akan berubah malaikat, kalau kita berbaik-baik pada mereka, juga guru yang perlahan menjadi penyabar jika saja ia mematuhi seluruh nasihat sang guru.
Mama tidak tahu betapa bukan itu masalah Maria. Tidak sesederhana itu malah.
Maria diam dan membuat Mama marah. Beliau mengancam menahan uang jajan Maria seminggu kalau tidak mau berangkat sekolah lagi pagi ini. Kemarin, ia tidak masuk. Berhubung anak itu memang sakit, Mama tidak curiga. Sekarang, usai demam kemarin reda, Maria tidak punya alasan. Mama mengira anaknya hanya malas saja.
Bagaimanapun, Maria berangkat pagi itu, dan Mama belum tahu kenapa anak itu seperti enggan pergi ke sekolah.
Maria berpikir, jalan di dekat kuburan seharusnya lebih baik ketimbang jalan dekat kompleks perumahan tentara. Tak peduli segala cerita tentang jalan tersebut, yang jelas Maria lebih suka jalan itu. Jalan dekat kuburan itu, kata teman yang baru dia kenal dua hari lalu di sekolah, disebut 'Jalan Terlarang'. Sebenarnya orang bebas saja melewatinya, tetapi barangsiapa terlalu sering melewati jalanan itu—apalagi ditambah menghindari secara terang-terangan jalan dekat kompleks perumahan tentara—jangan harap punya teman.
"Memangnya kenapa?" tanya Maria penasaran.
"Pokoknya jalan dekat kuburan itu penuh orang jahat pada zaman dahulu kala, dan orangtua zaman dulu sudah mengutuk jalanan tersebut," kata sang teman.
Lalu temannya bercerita tentang sejarah kampungnya yang begitu aneh di telinga Maria. Sejarah itu sungguh mendirikan bulu kuduk, sehingga seakan kau sedang berdiri di depan pintu kulkas yang sedang terbuka.
Tetapi, Maria tidak peduli dan tetap menyukai jalan tersebut, walau jaraknya tentu lebih jauh. Harus memutar kalau melewati jalan tersebut dari rumah menuju ke sekolah. Ia memang belum melewati jalan tersebut dan Maria baru sekali pergi-pulang sekolah. Ia baru melewati jalanan yang aman menurut kebanyakan orang desa sini, yakni jalan yang di dekat kompleks perumahan tentara.
Sayangnya, jalan tersebut tidak seaman yang dikabarkan.
Maria tidak suka anjing. Di satu sisi jalan yang konon 'aman' itu, ada seekor anjing hitam yang tidak dirantai dan dibiarkan berkeliaran di bawah pohon ketapang. Maria tidak tahu kenapa orang membiarkan seekor anjing galak keluyuran di jalanan begitu. Bagaimana kalau ada anak sekolah lewat? Bagaimana kalau anjing itu menggigit dan mencabik-cabik siapa pun yang melintas, sekalipun itu bukan anak kecil? Seseorang harus bertanggung jawab akan hal itu.
Maria tahu arti tanggung jawab, karena Mama mendidiknya dengan benar. Anak itu disiapkan jadi generasi penerus yang cerdas sekaligus bermoral. Barangsiapa yang salah, ia harus dihukum. Demikian juga—menurut Maria—siapa pun pemilik anjing itu, bila terjadi kecelakaan mengerikan, tentunya juga harus bertanggung jawab. Kecelakaan apa lagi yang bisa disebabkan seekor anjing selain menggigit orang? Tapi, Maria tidak tahu siapa pemilik anjing tersebut.
Maria memang tidak yakin apakah anjing itu tega menggigit orang. Tapi ia tahu, bisa saja hal mengerikan itu terjadi. Ia amat takut dan semalaman tidak tidur gara-gara ingat kejadian pagi hari waktu pertama pergi ke sekolah. Ia dicegat anjing hitam besar tersebut, yang tiada henti menjulur-julurkan lidah.
Maria tidak pergi ke sekolah diantar. Ia biasa ke sekolah sendiri, sehingga anak itu diam saja di tempat di pagi pertama. Ia hanya belasan meter dari si anjing, sampai ada pengendara motor memberinya tumpangan. Maria lega ketika pulangnya seorang guru juga memberinya tumpangan, karena beliau kebetulan ada keperluan di rumah seorang tentara. Tetapi malam itu Maria tidak bisa tidur dan bermimpi dimangsa seekor anjing siluman.
Esoknya Maria tidak tahu harus melewati jalan mana: jalan dekat kuburan itu atau jalan dekat kompleks perumahan tentara? Ia tidak yakin, mengingat satu-satunya teman yang memberi tahu dua jalan utama di desa itu adalah teman baik dan teman pertama yang ia kenal di sekolah. Mereka juga duduk sebangku. Bagaimana kalau cukup sekali Maria lewat Jalan Terlarang, ia selamanya dibenci dan tidak punya teman? Maka dari itu, hari kedua Maria demam dan tidak masuk sekolah.
Hari ini, pagi ketiga, Mama mengancam akan menahan uang jajannya seminggu. Maria yang suka jajan kembang gula dan beli mainan bongkar pasang, tidak ingin itu terjadi. Hidup tanpa uang jajan adalah hidup yang sangat menderita. Hidup tanpa uang jajan adalah hidupnya orang dewasa. Dan Maria tahu, ia masih anak-anak.
Memikirkan anjing besar itu, yang menjelma anjing siluman biadab dalam mimpi buruknya, membuat Maria berpikir ulang: daripada celaka digigit anjing, lebih baik aku dibenci saja.
Sayangnya, Maria menggigil ketakutan membayangkan semua teman di kelas, teman-teman baru yang harusnya jadi teman yang bisa diajak main apa saja, serempak membencinya. Mereka semua asli anak kampung ini, dan tentu saja soal Jalan Terlarang, mereka tahu. Maria tidak tahu berapa kalikah batas seseorang dibolehkan melalui jalan dekat kuburan tersebut untuk bisa disebut 'layak dibenci'? Membayangkan itu, membuat Maria gelisah.
Mama tidak tahu soal ini. Saat mendaftarkan Maria ke sekolah, Mama membawa mobil. Jadi, anjing itu tidak ada di kepala Mama, atau malah tidak Mama ingat, karena barangsiapa naik mobil akan selalu aman dan tidak berpikir risiko diserang sesuatu di luar sana.
Mama sendiri tidak melarang keinginan Maria untuk belajar mandiri, seperti pergi sekolah sendiri. Dan itu terjadi sejak anaknya kelas satu SD, tepatnya dua tahun silam. Maka, Mama tidak tahu masalah besar yang kini menimpa anaknya.
Maria pun berangkat setelah memutuskan: "Mungkin satu atau dua kali lewat Jalan Terlarang tidak masalah."
Ia tidak sampai berpikir betapa menjadi anak sekolahan tidak cuma dihitung satu atau dua hari saja, melainkan ratusan, bahkan ribuan hari. Ia tidak bisa berpikir jernih; di kepalanya cuma ada seekor anjing biadab yang siap menerkam dan mulai memangsa sedikit demi sedikit dagingnya seperti dalam mimpi buruk. Sungguh mengerikan.
Maria berpikir, jalan di dekat kuburan seharusnya lebih baik ketimbang jalan dekat kompleks perumahan tentara yang ada anjing galaknya, dan dibiarkan bebas keluyuran di sekitar pohon ketapang. Tidak peduli segala cerita tentang Jalan Terlarang, yang jelas Maria lebih suka tidak diintai anjing mana pun.
Demikianlah bagaimana akhirnya Maria lewat jalan yang memutar jauh itu dengan langkah kaki yang mula-mula penuh semangat, namun lama-lama lemas, karena tadi ia sarapan cuma sedikit. Sesampai di dekat pekuburan, Maria berhenti dan duduk di bawah sebatang pohon mangga yang rindang. Ia meminum bekal air putihnya, mengumpulkan napas beberapa menit, lalu melanjutkan perjalanan.
Butuh kurang lebih dua jam bagi Maria melewati Jalan Terlarang, sehingga ia jelas terlambat. Bu Guru melotot dan bertanya, "Kamu terlambat?"
Tidak ada nada ramah di ucapan itu. Teman-teman memandang Maria penuh kesan benci. Ia tidak tahu, sama sekali tidak tahu, kenapa semua orang menatapnya dengan cara macam itu? Seakan-akan ia telah melakukan kejahatan tak termaafkan saja.
"Saya lewat jalan memutar, Bu," jawabnya. "Karena jalan yang di dekat kompleks perumahan tentara itu dikuasai anjing hitam."
Bu Guru tidak menyahut, tetapi diam dan menyuruh Maria duduk. Sesudahnya, ia tidak dihukum dan Maria heran. Seharusnya, barangsiapa telat, disuruh berdiri di bawah tiang bendera sampai jam pelajaran pertama selesai. Anehnya, ia dibiarkan saja duduk. Teman-teman di kelas berubah tenang, meski tidak ada satu pun yang mengajak Maria bicara atau bermain sepanjang waktu istirahat.
Setiba di rumah, Maria bercerita pada Mama kenapa ia sampai pulang terlalu sore. Ia lewat jalan memutar yang tidak ada anjingnya. Mama tidak tahu maksud anak ini apa. Setelah Maria menjelaskan semuanya, Mama paham.
Dulu, jauh sebelum anak ini lahir, Mama mendengar kisah lama yang mengerikan. Terjadi pembantaian di sebuah desa, yang semua korbannya orang PKI. Begitulah yang kisah itu sebutkan. Orang-orang itu dikubur di dekat Jalan Terlarang. Sampai hari ini, barangsiapa suka lewat jalan dekat kuburan itu, di desa yang tak disebut namanya ini, tidak bakal punya teman. Akan ada saja masalah yang menimpa orang tersebut, karena warga kampung menganggapnya bagian dari kejahatan yang pernah terjadi di sebuah negeri.
Di suatu malam yang kelam, setelah Mama menidurkan anaknya, Maria bermimpi seisi desa dipenuhi orang buta. [ ]
Gempol, 21 Maret 2016
 
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya terbit di berbagai media lokal dan nasional.

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri