Skip to main content

[Cerpen]: "Jangan Bawa Taksi di Malam Hari" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Koran Merapi Pembaruan edisi Jumat, 30 Desember 2016)

    Taksi berputar-putar di kawasan yang belum pernah kulewati. Sudah satu jam lebih, tapi si penumpang terus saja memberi instruksi yang lama-lama membuat perutku terasa mual. Sesekali ia minta lurus. Ketika di pertigaan, taksi berhenti, karena penumpang itu meminta demikian. Ia bilang untuk mengundi dulu arah yang sekiranya aman: kanan atau kiri?
    Aku tidak tahu siapa penumpang wanita berwajah bulat tetapi kurus ini. Aku tidak tahu ke mana tujuannya atau dari siapa ia lari, tetapi karena taksi ini aku yang bawa, otomatis aku harus sedikit ikut campur.
    Kutanyakan sebenarnya ia berhenti di mana? Barangkali bisa to the point, langsung sebut alamat, dan aku bisa mengantar tanpa membuang waktu. Tentu mesin argo terus berputar, tapi aku tak memikirkan itu. Yang kuupayakan dalam profesiku: penumpang sampai tujuan dengan selamat, dan kami sama-sama tidak dirugikan.
    Penumpang ini merugikanku sebagai sopir. Merugikan dari segi batin; ia membuat stress dari menit ke menit, dengan sikap khas orang gila tersesat tidak tahu arah. Aku bahkan curiga ia tidak membawa uang sama sekali.
    "Sebenarnya saya tahu tujuan saya," kata penumpangku.
    "Lalu? Kenapa berputar-putar?"
    Aku tahu nada suaraku agak jengkel, tetapi sepertinya perempuan ini tidak akan mengadukanku ke nomor kritik dan saran yang tertera di dashboard. Ia pendiam dan tak punya gairah. Barangkali hendak bunuh diri. Atau barangkali ia ke dokter tua tukang aborsi kemarin lusa. Atau malah kabur dari paman yang melecehkannya.
    "Tetapi saya tak mau ke sana dulu malam ini. Setidaknya sampai subuh."
    "Kenapa?"
    Perempuan itu tidak nyaman mendengar sahutan spontanku. Aku minta maaf dan ia segera mendesah; tanda itu bukan masalah. Ia tidak mau menjelaskan apa-apa kenapa ia menunda ke tempat tujuan itu sampai subuh, karena ia diam dan mulai memandang ke luar jendela.
    Aku sadar aku tak berhak menginterogasi penumpang. Itu membuat tidak nyaman, tidak peduli aku sendiri stress. Demi kebaikan kami, kukatakan agar sebaiknya taksi mengarah ke tempat yang agak jelas, sekalipun tidak langsung ke alamat tujuan. Tidak berputar di lokasi yang kelihatannya dalam radius kecil, tetapi asing bagiku. Penumpang itu mengangguk. Ia berjanji tak mengundi lagi ke arah mana taksi harus berbelok jika menemui pertigaan atau perempatan.
    Kuamati sebuah tikungan di depan dan pada saat itu kusadari jalan ini benar-benar belum pernah kulewati. Perempuan itu bercerita, dulu saat ia masih SD, pulang-pergi ke sekolah selalu lewat jalan ini. Ia bilang, ia bersepeda bersama sepupu yang tidak suka anjing.
    "Saya heran kenapa sepupu saya tidak suka anjing, padahal anjing kalau dirawat dengan baik, bisa jadi teman yang menyenangkan. Anda setuju?"
    "Ya, saya kira itu bisa saja terjadi, tetapi saya sendiri belum pernah memelihara."
    Perempuan itu kembali diam. Jika ia bilang dulu sewaktu SD pulang pergi sekolah lewat jalanan ini, berarti kemungkinan tujuannya tidak jauh dari sini? Aku menahan diri untuk bertanya lebih lanjut tentang hal itu dan membelokkan taksi memasuki tikungan tadi, karena jika taksi kuarahkan lurus, sepertinya tidak akan bisa. Di jalanan depan, jika tak berbelok ke tikungan asing itu, kulihat sebilah palang kayu menghalangi jalan.
    "Ada demo," kata perempuan itu pendek.
    "Oh, ya?"
    "Ya, para pendemo yang pasang. Dua hari lalu, kalau saya tidak salah ingat. Besok pagi bersambung."
    Aku mengangguk.
    Sekarang taksiku memasuki kawasan gelap dengan kondisi jalan yang membuatmu seperti menumpang kapal penjelajah Columbus. Tidak ada lampu di kiri-kanan jalan dan aku tidak tahu bagaimana membawa taksiku menuju jalan raya. Jelas sekali lokasi ini jauh dari jalan raya yang kukenal, sekalipun sebelum memasuki jalan bergeronjal, taksi lebih dulu melewati jalan yang terbuat dari aspal.
    Untuk beberapa menit perempuan itu diam dan aku konsentrasi menyetir taksi ini agar tidak terperosok lubang di tengah jalan; siapa tahu ada lubang begitu, yang tak kutahu karena aku tak pernah lewat?
    Ketika mobil melewati jembatan, jalanan mulai normal. Jarak tiga puluh meter ke depan, ada tiang lampu dengan nyala redup bagai malaikat menunggu bus jemputan tujuan akhirat.
    "Nah, dulu di situ saya petak umpet!" pekik perempuan itu tiba-tiba. Ia girang. Aku bisa melihat ekspresi itu dari spion. Ia menatapku balik dari kaca yang sama dan berkata betapa ia merindukan masa itu. Masa di saat tak ada Ayah yang menetapkan dosa-dosa bagi anaknya sendiri. Sebuah dosa yang tidak si perempuan pahami, karena dulu ia terlalu kecil.
    Aku diam mendengar perubahan suaranya yang dari riang menuju redup. Ia bilang, dulu ayahnya baik, tetapi mendadak suatu hari berubah seperti serigala jahat setelah Ibu mati.
    "Ibu mati ditembak rampok. Saya masih kelas delapan. Ayah saya seketika berhenti dari kerjanya dan setiap hari memarahi kami di rumah. Meski begitu, Ayah tetap punya uang, karena sesekali pergi ke kota untuk menjual tanah dan harta warisan lainnya yang diberikan Opa kepadanya. Ketika harta kami habis, Papa menjual apa pun yang bisa ia jual. Termasuk..."
    Perempuan itu berhenti mendadak. Ia seperti tersedak, tetapi aku tidak meliriknya. Aku tahu arah kisahnya dan tak berani menebak sesuatu yang sejelas rembulan di suatu malam yang cerah. Maka, taksi terus kukendali dengan kecepatan sedang, karena jalan yang kami hadapi semakin lama kurasakan semakin menyempit saja.
    "Sebaiknya belok kiri, Pak," kata perempuan itu dengan suara yang mendadak saja normal. Ia berhenti menangis dan mengusap wajahnya dengan tisu. Taksi yang tadinya hendak menuju jalan yang sempit terapit pepohonan dan ilalang, berbelok ke arah yang seharusnya. Tikungannya cukup tajam, sehingga dari arah kami datang tadi tak kusadari di sini ada jalan lain yang lebih lebar.
    Aku bernapas lega.
    Tak lama setelah tikungan tajam tadi, taksi melewati depan rumah tua, dengan kondisi terbengkalai. Rumah yang harusnya mewah ini, kata penumpangku, dulu punya saudara Oma, yang datang langsung dari Belanda. Jadi, ia menambahkan, sebenarnya si Opa kandung adalah orang pribumi yang beruntung. Tidak dipandang sepele dan justru disekolahkan bersama anak-anak Belanda dan bangsawan pribumi, padahal tidak lahir dari rahim priyayi.
    "Berarti, Mbak masih ada keturunan Belanda?"
    "Ya, ada. Tetapi wajah saya Indonesia banget. Malahan ada yang bilang saya mirip artis Thailand."
    Kulirik sepintas rumah yang luasnya setara istana itu; halaman depan tidak serupa halaman istana, melainkan kastil hantu. Bangunan rumah itu bahkan kuyakin bisa roboh sewaktu-waktu jika ada badai di kawasan ini. Temboknya seperti siap menjatuhkan diri. Daun jendela dan pintu yang hilang seakan digelantungi hantu-hantu mengerikan, yang untungnya tidak menampakkan diri kepadaku.
    Perempuan itu kembali diam, kali ini ia menggumamkan sebuah nyanyian bernada agak riang. Kulirik jam analogku, sudah pukul 02.00, dan aku sudah sangat mengantuk. Kukatakan pada penumpangku bahwa mungkin kami tidak bakalan sanggup sampai subuh. Aku harus pulang dan berbahaya membawa kendaraan di saat mata sudah terasa berat.
    Perempuan itu bilang tidak usah khawatir, lalu mengambil sesuatu dari dalam tas; sebungkus kopi bubuk. Dari koper kecil yang tergeletak di sampingnya, ia mengambil termos. Aku tidak tahu bagaimana penumpangku ini amat telaten saat mengaduk kopi di dalam taksi, seakan-akan sudah biasa. Ia memintaku berhenti dan meminum kopi hasil racikannya. Aku turuti sarannya. Aku tenggak kopi dalam cangkir kecil itu, dan seketika mataku tidak mengantuk.
    "Ini kopi lain dari yang lain! Mbak tadi bilang meracik sendiri?"
    "Orang tak akan percaya."
    "Saya percaya."
    "Sekalipun kerja di kota, saya paham tata cara meracik kopi tradisional. Ini resep kopi rahasia keluarga kami. Anda sudah rasakan manfaatnya? Anda sudah bisa menyetir sampai subuh?"
    "Tentu!"
    Taksi pun memasuki kawasan perumahan ala pedesaan yang begitu aneh di mataku. Di kawasan penjelajahanku, belum pernah aku menjemput atau mengantar orang ke sini, tetapi kukira tempat ini terasa begitu jauh dari apa pun. Kabut putih menyelimuti udara dan hawa di sini terasa dingin. Aku menarik napas dengan membuka mulut lebar, tetapi seketika rongga mulutku kering. Aku tahu ini bukan dari AC, karena AC-ku tidak terlalu berfungsi dengan baik. Jendela taksi pun kadang-kadang sedikit kubuka.
    Perempuan itu masih menggumamkan nyanyian yang sama, yang entah berjudul apa tadi, dan berkata ia pernah dibawa ke rumah sepupunya di dekat sini oleh ayahnya. Waktu itu ia menangis dan menjerit minta tolong, tapi tak ada yang mau menolong. Aku tanyakan, apa yang ada pada saudaranya sehingga ia ketakutan?
    "Dia psikopat, tapi punya banyak uang. Satu lemari di kamarnya penuh uang kertas, yang sebagian ludes digerogoti tikus. Sebagian tandas direbut keluarga kami. Ada yang bilang itu dari pesugihan. Rumahnya itu, yang cat hijau." Ia menjeda dan menunjuk sebuah rumah di tenggara, dan menyambung, "Di teras itu saya ditarik Ayah masuk, lalu sepupu saya yang sinting menari di ruang tamu. Begitu saya berada di pelukannya, Ayah menerima uang dan pergi. Anda tahu maksudnya?"
    Perempuan itu tak menunggu jawabanku. Ia menggumam. Jantungku berdegupan tak keruan secara aneh dan kupandangi mata orang bersejarah aneh di bangku belakang taksiku ini.
    Ketika azan subuh terdengar, kami berhenti di depan rumah besar. Si perempuan turun dan membayar, tapi aku tidak pulang. Aku putuskan tidur hingga matahari terbit. Aku bisa bertanya pada siapa pun untuk arah menuju jalan raya. Sayang sekali, sampai matahari berada di puncaknya hari itu, taksiku belum juga bisa keluar dari tempat ini. Tentu saja, aku tahu tempat itu sebuah kuburan. Tapi aku tidak ingat bagaimana aku bisa sampai ke tempat ini semalam. [ ]
   
    Gempol, 3 Desember 2016

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya terbit di berbagai media lokal dan nasional.

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri