Skip to main content

[Cerpen]: "Membunuh Masa Depan" karya Ken Hanggara



(Dimuat di Padang Ekspres edisi Minggu, 4 Desember 2016)

Seorang wanita dari masa lalu mengetuk pintu rumah saya malam-malam. Ia ingin tahu di mana ia bisa mendapatkan pistol. Untuk apa, kata saya. Ia bilang, ia harus bunuh kekasihnya, yang mencampakkannya, juga yang membuatnya malu karena hamil di luar nikah.
Apa ini nyata?
Belakangan saya lebih banyak begadang ketimbang tidur. Akibatnya sering melihat hal-hal aneh, padahal tidak ada yang aneh di sekitar saya. Istri saya menyarankan saya tinggalkan kebiasaan itu, karena setiap hari saya berbisnis, walaupun di rumah juga tempat bisnis saya. Dalam sehari, saya tidur dua jam dan itu kurang. Sepertinya kamu berhalusinasi, kata istri saya.

Tapi, perut wanita asing ini tidak besar seperti ibu hamil. Saya tidak bilang apa-apa, namun wanita itu tahu saya berpikir apa. Ia menatap sebal dan mengibaskan rambutnya yang basah. Di luar hujan dan saya tahu ia kedinginan. Saya pikir, wanita ini sedang mabuk.
"Masuk dulu," tawar saya.
"Saya mau pistol. Saya harus bunuh kekasih saya!"
Saya pandangi sekali lagi wanita ini. Kok bisa orang tidak mabuk mengaku hamil di luar nikah, padahal jelas-jelas perutnya tidak besar. Lagi pula, apa dia bilang? Datang dari masa lalu? Saya kira, dia cuma gila.
"Saya tahu Bapak sulit percaya. Tetapi saya tidak bohong dan jangan berpikir saya ini gila!" Wanita itu berkacak pinggang dan menatap saya tajam. Karena hari sudah larut dan suara wanita ini amat kencang—saya takut suaranya membangunkan para tetangga sehingga mereka nantinya berpikir yang tidak-tidak. Belum istri saya yang lagi tidur di kamar; bisa saja ia berpikir wanita ini selingkuhan saya yang meminta tanggung jawab saya.
Dengan sedikit memohon, saya ajak wanita itu masuk.
Wanita itu mau, dan saya tanamkan dalam kepala saya, bahwa dia mungkin gila, tapi tidak berbahaya. Tubuhnya kurus dan dia tidak sekuat yang bisa dibayangkan dari seorang psikopat pembunuh; saya bisa melawan seandainya dia nekat melukai. Meski demikian, saya tetap harus waspada.
"Kamu dari masa depan?"
"Sekali lagi saya mohon dengan sangat, bagaimana saya bisa mendapat pistol? Saya ingin membunuh satu orang, kekasih saya itu. Saya tidak melukai siapa-siapa." Wanita ini bicara dengan cepat. Ia raih tangan saya dan sepertinya tidak lama lagi mulai menangis.
"Tunggu dulu. Saya tidak bisa sembarangan menjual pistol pada orang. Saya belum tahu kamu tahu tempat ini dari mana. Lalu, saya juga belum tahu pasti kamu datang dari tahun berapa—kalau memang kamu dari masa depan."
Wanita itu berdiri dan memandang sekitarnya dengan mata melotot yang sepertinya bisa loncat dari lubang tengkorak. Ini tanda-tanda seseorang yang sinting dan siap menyerang. Selangkah, dua langkah lagi, pertarungan terjadi di sini, dengan atau tanpa senjata, dengan atau tanpa ada yang terluka.
Saya sudah siap menyahut tongkat bisbol dari rak yang ada di dekat punggung saya, tapi wanita itu tidak bergerak, juga tidak menyerang masuk ke ruang tengah rumah saya. Itu bisa terjadi, karena buktinya dia tahu harus bertanya ke mana soal pistol. Artinya, dia tahu saya pedagang senjata. Dengan kata lain: dia tahu di rumah ini ada berbagai jenis senjata, yang salah satunya adalah pistol.
"Tolong, jangan buat ini sulit," katanya.
Wanita itu tidak maju dan matanya tidak lagi melotot. Mungkin dia tahu saya yang berkuasa di sini dan dia tidak hafal denah rumah ini, sehingga apa pun itu, sayalah yang akan menguasainya kalau kami terpaksa harus duel. Saya berprinsip tidak akan menjual senjata pada orang sembarangan.
"Saya paham kondisimu," kata saya—yang pura-pura tahu perasaannya, padahal itu taktik agar dia tidak bertindak di luar kendali. "Saya juga minta kamu bekerja sama memberi informasi. Saya harus tahu calon pembeli. Saya tidak sembarangan jual-jual senjata ke orang yang tidak waras."
Wanita itu diam. Ia duduk dan kepalanya merunduk. Saya bilang, saya tidak ingin menuduh dia gila atau cari sensasi atau mencari kambing hitam atas hamilnya—yang mungkin saja baru terjadi kurang dari sebulan (saya baru sadar itu).
Tetapi ia seperti tak mendengar saya. Ia terus merunduk dan gerakan itu tidak henti sehingga detik demi detik ia mendekati lantai. Sampai tubuhnya benar-benar bungkuk, tamu tak diundang ini menangis.
"Saya hamil. Dan saya bukan istri siapa-siapa! Itu sudah terjadi lama dan janin itu mungkin sudah jadi santapan anjing."
"Apa maksudmu?!"
"Saya gugurkan janin di perut ini. Kekasih saya yang brengsek hilang. Dia yang enak dan saya yang sial!"
"Saya kira kamu baru saja hamil."
Si wanita mendongak. Sepasang mata merah menghujam persis ke bola mata saya, sehingga saya tahu kata-kata itu benar dan bukan bohong. Saya punya pengalaman mengatasi orang-orang yang memaksa membeli senjata untuk hal-hal tidak bertanggung jawab. Dan saya tahu mana orang jujur atau mana penipu. Saya kira, wanita ini bukan penipu, meski saya masih ragu akan kewarasannya.
Dengan sisi kemanusiaan yang kemudian terbit entah bagaimana, saya dekati tamu saya, lalu saya tenangkan dia. Saya bilang, saya mau membantu, tapi dia harus tenang dulu. Jangan gegabah juga.
"Bagaimanapun bejatnya kekasihmu, dia manusia, yang jika kamu bunuh sudah pasti membuatmu mendekam di penjara."
"Saya tak peduli! Saya lebih baik dipenjara agar tidak ketemu dia!"
"Kalau dipenjara karena membunuhnya, tentu kamu tidak akan ketemu dia, kecuali di akhirat. Itu pun bila Tuhan mengizinkan," kata saya.
"Siapa bilang? Bapak tidak dengar? 'Kan sudah saya bilang tadi, kalau saya datang dari masa depan!" Wanita itu menggebrak meja. Dia bangkit dan jalan ke ruang tengah.
Ini dia, ini saatnya pertarungan harus terjadi. Saya tarik bahunya. Ia berbalik badan, namun cepat kembali ke posisi awal dan terus berjalan ke ruang tengah. Kalau tidak dicegah, dia akan sampai ke dapur dan gudang belakang tempat saya menyimpan semua senjata. Saya harus hentikan tamu gila ini.
"Kamu tidak bisa sembarangan masuk, Nona!" Saya tarik lengannya kasar dan dia terhuyung, berputar-putar seperti gasing persis di depan kamar saya.
Istri saya bisa saja terbangun sewaktu-waktu. Saya tidak peduli. Wanita ini bukan selingkuhan yang kehadirannya di rumah ini perlu saya takutkan. Dia hanya orang gila yang meminta senjata untuk menghabisi seseorang dengan dalih datang dari masa depan, dihamili tanpa pertanggungjawaban, dan entah apa lagi setelah saya mencegahnya nanti. Lagi pula, kalau istri saya peka, harusnya sejak dulu dia tahu permainan antara saya dan pembantu kami yang lagi hamil dan berusaha saya gugurkan kandungannya.
Belum sampai istri saya bangun, setelah saya cengkram lengan wanita ini, ia cakar wajah saya. Ia meronta ketika tubuh kurusnya saya piting dan seret ke ruang tamu untuk kemudian mengusirnya. Ia mengumpat, "Anjing kurap! Kutu kupret! Setan alas!" Terus menerus, keras-keras, sampai istri saya benar-benar bangun.
Melihat kami, istri saya marah. Saya bilang, ada orang gila. Saya mau mengusirnya. Tamu tak diundang menyahut, Saya tidak gila. Saya cuma mau senjata, Bu!
Ya, sudah, Papi kasih senjata, kata istri saya.
Dia tidak tahu situasi dan tidak sadar wanita yang bertamu malam-malam kali ini gila; kami biasa menerima tamu di atas jam sepuluh hingga dua belas malam. Tidak ada waktu menjelaskan. Saya harus usir wanita sinting ini dulu. Saya seret dia sedemikian rupa seperti menyeret seekor binatang berpenyakit. Saya tahu ini tidak manusiawi, tapi apalah daya. Saya tidak mau senjata-senjata saya diambil orang gila, kemudian dipakai membunuh orang yang belum tentu bersalah.
Di pintu depan, ia meratap agar saya jangan mengusirnya dan agar saya percaya.
"Maaf. Kamu bisa pergi. Saya tidak jual apa pun!"
"Saya tahu penjelasan saya tidak masuk akal. Saya datang dari masa depan, itulah kenyataannya. Dan saya ingin membunuh kekasih saya hari ini agar nanti dia tidak bisa menghamili saya!"
"Saya tidak tahu maksudmu."
Wanita itu terus menangis dan menangis. Sepertinya dia tidak akan pergi dari teras saya sampai berhasil mendapatkan sepucuk pistol. Bahkan walaupun hujan di luar sudah reda esok hari, ia tidak akan pergi sebelum mendapat yang ia inginkan untuk rencana pembunuhannya.
Saya tidak tega membiarkannya kedinginan, tapi juga tidak sudi mengabulkan apa yang ia inginkan, meski dibayar sepuluh kali lipat. Saya minta izin pada istri agar saya boleh duduk di teras menemani wanita gila ini sampai pagi—buat jaga-jaga agar dia tidak bikin ulah, misalnya bunuh diri. Dalam kondisi begini, bukan tidak mungkin itu terjadi. Besok subuh baru saya telepon polisi untuk menjemput dan membawa si wanita gila jauh-jauh dari sini.
Begitulah, persis tengah malam, sementara hujan masih deras, saya duduk di teras menemani si wanita yang tak henti menangis. Si sinting yang ingin sekali membunuh kekasihnya.
"Memang sulit dipercaya," katanya lemah. "Saya hamil berapa tahun lalu dan janin itu tentu saja sudah habis entah dimakan apa. Sekarang anak itu sudah di surga dan saya dipenjara bertahun-tahun. Bapak tidak tahu itu. Bapak tidak merasakan!"
"Diam. Kamu gila!"
"Kalau saja saya tidak menerima cintanya di masa lalu, hidup saya tidak serusak ini. Itulah kenapa saya ke masa lalu demi membunuh seseorang. Bapak paham?"
Saya pandangi matanya, dan saya yakin otak wanita ini pasti korslet.
Barangkali saya tetap berpikir begitu kalau tidak ada kalimat lanjutan, "Seseorang itu, lelaki yang belum pernah saya kenal. Tentu saya tahu istri Bapak meninggal sebulan lagi dan Bapak akan menikahi pembantu Bapak yang lagi hamil itu. Nama Bapak cukup terkenal, tetapi itu bukan urusan saya. Misi saya satu: membunuh lelaki yang di masa depan menjadi kekasih saya. Dan itu sulit tercapai karena Bapak tidak mau percaya." [ ]
Gempol, 21 November 2016

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karyanya tersebar di media lokal dan nasional.

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri