Skip to main content

[Cerpen]: "Jamur Ajaib Titipan Tuhan" karya Ken Hanggara



(Dimuat di Radar Bromo edisi 20 November 2016)

Di bawah meja makan kami, jamur-jamur tumbuh dan bicara. Jamur-jamur langka dan belum pernah ada; bayangkan betapa banyak omong mereka semua. Jamur-jamur itu cerewet seperti kumpulan bocah di taman bermain. Mula-mula, kami tak tahu suara yang setiap malam mendadak muncul itu dari mana. Di bawah meja makan tempat penuh debu dan tahi cicak, tempat yang jarang kami pijak, suara-suara itu lahir.
Istriku mengira tetangga baru kami, yang tinggal di rumah sebelah, suatu rumah di seberang tembok persis di sisi meja makan, adalah tipe manusia malam: melakukan hal aneh sampai subuh.
"Kerjaannya apa sih? Kita jadi gak bisa tidur!" keluhnya.
Itu mula-mula. Aku curiga—mengingat tetangga baru kami itu segar bugar di pagi hari, bahkan berangkat ngantor persis jam enam (biar tidak ketinggalan bus, katanya) —jangan-jangan suara di malam hari bukan dari tetangga itu?

Kejengkelan istriku tidak bisa dibendung. Setiap makan ia selalu mengoceh soal masakan yang tidak bisa gonta-ganti seperti dulu. Bangun kesiangan, bikin kehabisan bahan di tukang sayur. Berkali-kali ia meminta maaf. Sebagai istri, ia merasa gagal dan berniat menegur tetangga kami.
Demi menghiburnya, kukatakan bahwa mungkin suara aneh beberapa malam ini bukan dari tetangga itu. Mungkin, suara itu datang dari orang yang kebetulan lewat di gang samping, karena mereka bicara soal mainan dan dongeng. Tetangga kami tidak mungkin bicara soal itu. Mereka sepasang suami istri tua yang tidak pernah punya anak. Tiga puluh tahun menikah, belum satu pun anak lahir. Kami sendiri menikah baru empat bulan.
Yang kemudian terjadi, istriku semakin tidak bisa tidur; bukan karena jengkel pada tetangga baru, melainkan berpikir yang bukan-bukan, dari soal dukun jahat yang entah suruhan siapa—yang ingin mencelakaiku, hingga kemungkinan aku memelihara tuyul.
"Ampun, Dik! Kamu kok mikir begitu? Aku mana percaya!" kataku.
Demikianlah, suara-suara dari bawah meja makan pun kami sadari asal muasalnya setelah aku jengkel dan keluar kamar di malam keempat. Saat itu, terang dan jelas, suara itu datang dari bawah meja makan yang penuh debu dan tahi cicak, yang jarang kami pijak.
Pelan-pelan aku mengendap, mengintip bawah. Kardus-kardus wadah televisi layar 14 inch, magic jar, panci anti-gores, sepatu, mie instan, sabun, dan entah apa bertumpuk berjejalan (istriku suka menyimpan kardus bekas, katanya itu berguna suatu hari nanti). Suara-suara itu menjelas seiring dekatnya kupingku dengan kolong meja makan. Seperti sekumpulan manusia kerdil tengah berbisik.
Tanpa membuang waktu, kubangungkan istriku dan tak lama kemudian kami telah sama-sama mendengar kepastian suara-suara aneh beberapa malam terakhir datang dari kolong meja makan.
Istriku tanpa kompromi menyuruhku menyingkirkan tumpukan kardus tak berguna. Apa kamu bilang, kataku. Kardus tak berguna! Istri melotot dan mengoceh soal hari- hari tidak normal yang kami jalani gara-gara kesulitan tidur. Dengan tahu sumber suara itu, kami bisa memastikan besok malam tidak ada lagi kata 'begadang'.
Begitulah, bagaimana kami tahu di bawah meja makan tumbuh banyak jamur. Aku bukan ahli jamur, apalagi istriku; ia sarjana hukum yang buta soal jamur. Istriku kira jamur itu tumbuh karena kardus-kardus yang disimpan selama empat bulan.
Tapi, alangkah tidak masuk akal. Dulu, sebelum nikah dan tinggal dengan orangtua, kusimpan barang-barang di kolong tempat tidurku selama setahun lebih, dan tidak ada satu pun jamur. Lagi pula, lantai meja makan tidak lembap. Atas dasar ini, istriku yakin seseorang memasukkan setan jahat ke rumah kami. Semacam ilmu hitam guna menjegal karierku di kantor yang cemerlang.
"Jangan mikir yang bukan-bukan!"
"Apa lagi kalau bukan setan?! Pernah tahu ada jamur bisa ngomong?!"
Istriku tidak berkata lagi kecuali menghitung jamur-jamur di bawah meja. Dan aku cuma bisa bengong. Memangnya ada jamur bisa ngomong?
Lima belas menit menghitung, istriku menemukan seratus jamur yang warna dan bentuknya aneh: serupa payung membentang, motif polkadot ungu dan merah, dengan background kuning pisang. Kita tebas saja, katanya, lalu ia ke dapur mengambil gunting. Jamur-jamur itu setinggi sepuluh senti per batang. Dengan gunting, kami lebih mudah membasmi.
Sayangnya, sesaat sebelum kutebas jamur di barisan paling depan, seperti mimpi buruk atau lelucon dari Tuhan yang tak perlu, jamur-jamur membuka mata dan mulut. Dua indera itu tahu-tahu muncul dari rekahan di tudung jamur sehingga kami terjajar mundur.
Dari tempat kami jongkok, jamur-jamur tampak lucu. Persis kumpulan bocah di suatu taman, di mana kelak anak kami bergabung ke sana, di mana kelak anak kami selucu itu. Jamur-jamur tak henti bicara soal mainan dan dongeng. Jika tadi mereka berbisik, sekarang mereka nyaris berteriak dan berebut perhatian seolah kami orangtua mereka.
Kami tidak mendengar apa yang mereka bicarakan secara pasti, karena terpesona oleh bentuk dan keanehan jamur-jamur ini. Istriku secara ganjil mengambil gunting dari tanganku dan bilang, "Kita pelihara mereka, Mas. Gimana?"
Aku tak menjawab, selain 'iya'. Di mataku, jamur-jamur itu tampak cantik dan lucu. Dan, tentu, tak seorang pun tahu sesungguhnya kami jauh-jauh hari merindukan anak. Jauh sebelum empat bulan silam—atau tepatnya: empat tahun silam. Pada hari itu, kami menikah. Empat bulan hanyalah cara agar istriku tetap bahagia dan melupakan alangkah lama kami menunggu.
Jamur-jamur itu mungkin kiriman Tuhan. Bukankah Pak Ustadz juga bilang, kalau Tuhan mahabaik? Bahkan meski kalian mandul sekalipun! [ ]
Gempol, 21 Juni - 8 November 2016
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karyanya terbit di media lokal dan nasional.

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri