Skip to main content

[Cerpen]: "Burung Beterbangan di Tempurung Kepalaku" karya Ken Hanggara



(Dimuat di Banten News edisi Jumat, 9 Desember 2016)

Pagi itu seekor burung beterbangan di tempurung kepalaku. Aku tidak tahu ide ini bermula dari mana, tetapi aku rasa ia, burung itu, entah jenis apa, membuat kekacauan di kepalaku untuk suatu misi. Aku tidak tahu misi burung itu. Tetapi ia terus berkicau dan terbang ke sana kemari, seakan-akan kepalaku kubah raksasa. Mungkin burung itu seukuran jarum, sehingga ia dapat terbang sebebas yang ia mau di tempurung kepalaku. Mungkin lebih besar, tetapi yang jelas ia bukan burung sembarangan.
"Seekor burung biasa tidak mungkin masuk ke kepala lelaki biasa!"
Aku tidak merasakan sakit, tetapi telingaku terganggu suara si burung. Ia berkicau dengan cara tak terbayangkan. Jika burung biasa memiliki jeda saat berkicau, burung ini tidak membutuhkan jeda. Ia terus berkicau seperti musik yang diputar tanpa henti, dan dimainkan musisi gila yang gagal. Bisa dibayangkan bagaimana si musisi dan sebuah dendam bekerja kepada setiap alat musik yang ia pegang.

Aku bangkit dan tidak dapat mendengar apa pun dengan baik, selain kicauan tidak jelas si burung. Aku tidak dapat mengenal kicauannya, karena tidak begitu paham soal burung. Aku benci burung, karena bagiku binatang itu sangat berisik dan aku tidak suka kotoran burung yang menempel di baju.
Sebuah ironi. Aku benci burung, aku tidak pernah memelihara burung, tetapi secara tiba-tiba seekor burung aneh masuk ke kepalaku, entah dengan cara apa, dan membuat kekacauan. Aku tidak tahu cara mengatasi. Demi mendengar suara-suara di sekelilingku, aku harus benar-benar berkonsentrasi.
Sekarang aku berdiri tegak dan dapat merasakan burung itu hinggap di suatu sudut dalam kepalaku. Ia masih mengoceh, tetapi hinggap seakan menyadari gerakan tertentu yang kubuat. Mungkinkah ia membaca otakku? Aku yakin burung itu bertujuan jahat; mungkin ingin membuatku mati dengan cara paling konyol. Mungkin ia ingin aku mati telentang di kamarku dengan gendang telinga pecah dan lubang hidung yang tiada henti mengucurkan darah. Boleh jadi begitu.
Aku tidak suka dengan pemikiranku sendiri, tetapi tidak dapat mencari pikiran lain. Aku berjalan ke jendela dan melihat orang-orang pergi bekerja. Aku hitung bocah-bocah berseragam yang hendak ke sekolah dengan konsentrasi yang kupusatkan. Satu, dua, tiga... Tapi ocehan si burung merusak semuanya. Bocah-bocah begitu banyak dan angka hitunganku sampai ke nomor empat puluh sejauh yang kuingat, lalu aku merasa tidak yakin setiba di angka empat puluh delapan.
Aku biasa menghitung, dan meski bocah-bocah kecil tadi bercampur aduk dengan orang-orang dewasa yang pergi kerja, dan semua orang berjalan saling-silang di trotoar, aku tidak pernah tidak yakin dengan hitunganku, kecuali hari ini. Mungkin aku salah; itu jelas, karena si burung tidak henti berkicau dan kicauannya yang keras dan tanpa jeda kemungkinan merusak beberapa fungsi otakku.
Karena tidak ingin mati konyol di kamar busuk yang hampir menyerupai loteng di mana para tikus biasa membangun sarang, aku bergegas turun, tanpa terpikir untuk ke kamar mandi. Aku memutuskan ke rumah teman yang hobinya berkaitan dengan burung dan berharap ia punya solusi masalahku. Aku kenal teman itu enam tahun yang lalu di sebuah pameran lukisan dan ia mengamati begitu banyak lukisan burung-burung di sana. Aku benci burung, tapi teman itu mengasyikkan, jadi kuanggap saja semua lukisan soal burung adalah benda rombeng yang dapat begitu saja kita abaikan.
Aku tidak menyangka harus pergi ke rumah teman itu, setelah pengalaman terakhir yang tidak menyenangkan dengannya. Waktu itu kami keluar dari toko roti dan perutku masih kenyang. Aku menikmati rasa kenyangku sambil mengobrol soal televisi yang memiliki berbagai program pembodohan terselubung. Kukatakan teori konspirasi dan semacamnya dan kami tertawa, lalu pada saat yang sama sepercik tahi masuk mulutku. Aku mengumpati pemilik tahi itu, yang adalah seekor burung. Sejak itu temanku yang ini tidak ingin bertemu denganku.
"Aku harus benar-benar ketemu temanku," pikirku sambil menuruni anak tangga, "Burung ini bukan hanya berak, yang kemungkinan sudah ia lakukan di dalam kepalaku ini, tapi juga beterbangan dan berkicau tidak keruan seperti musisi yang balas dendam karena tidak pernah terkenal."
Di lantai bawah rumah bobrok ini, seorang penjaga menyapaku dan aku tidak tahu ia bicara apa, karena kicauan si burung. Untuk beberapa saat aku hanya berdiri tegak di depannya, sambil menatap gerakan bibir penjaga yang mulai kesal karena ia tahu aku tidak tuli. Ia mengeraskan suaranya dan dapat kutahu kalau kali ini si penjaga meyakini bahwa aku baru saja tuli, karena mungkin jatuh dari dipan dan semacamnya.
"Aku tidak jatuh dari dipan. Di kepalaku ada burung, dan dia terus ngoceh, dan aku tidak bisa mendengar suaramu yang serak," kataku.
Aku tidak tahu apa yang kemudian si penjaga tua itu katakan, karena aku segera membuka pintu depan dan meluncur keluar dengan sepatu yang kukenakan secara asal. Karena tali sepatu tidak terikat dengan benar, aku tersandung dan jatuh di halaman yang penuh sampah. Orang-orang jarang membuang sampah pada tempatnya, sedangkan si penjaga yang tua tidak mungkin memunguti satu per satu sampah berupa daun kering dan berbagai bungkus makanan. Dengan jengkel, aku berteriak dan membuat beberapa pengguna trotoar menoleh.
Waktu itu, seorang bocah kebetulan berdiri di depan gerbang. Ia menoleh sewaktu dengar ucapan kasarku yang membawa-bawa kata tidak sopan, sehingga ia mengatakan bahwa ibunya tidak membolehkan ia bicara sekasar itu, karena ia anak yang pintar. Dan karena aku secara terang-terangan mengatakan itu, ia beranggapan bahwa aku adalah si dewasa yang bodoh.
Suara anak itu begitu jernih dan keras, sehingga meski burung dalam tempurungku terus berkicau, aku dapat mendengar suaranya dan tahu apa yang ia katakan. Semua yang berada di dekat anak itu tertawa dan pergi satu per satu. Aku lalu berdiri tegap dan berkata kepada si bocah, "Hei, anak yang manis. Saya tidak bodoh, tetapi di kepala saya ada seekor burung setan yang membuat suara keras dan menjadikan otak tidak berfungsi dengan baik!"
Aku tidak tahu apa yang dipikirkan anak kecil itu, tapi ia hanya memutar bola mata ke atas dengan malas dan segera berlalu. Aku tidak peduli pikiran anak kecil seperti itu, yang memang tidak penting untuk kita pusingkan. Seorang anak kecil, dengan berbagai pikiran yang bebas, tidak harus dibuat masalah, tapi kata-katanya yang mengundang tawa beberapa orang yang tadi juga berhenti bersamanya, cukup menyengat. Bahwa ia mengira aku ini si dewasa bodoh, dan bahwa ia anggap aku membosankan (dari gerakan bola mata memutar malas tadi) membuatku sangat tidak nyaman.
Karena ini aku amat yakin burung di dalam kepalaku memang bertujuan tidak baik. Ada misi tertentu yang meliputi kedatangannya ke tempurung kepalaku dan berkicau tiada henti. Mungkin sebelum menghabisiku, ia membuatku malu dengan apa pun sebab yang dapat termungkinkan terjadi di sebuah kota yang penuh dengan banyak hal. Misalnya tali sepatu. Bahkan, karena tali sepatu, seorang anak kecil yang tidak tahu apa-apa dapat mempermalukanku seperti tadi; kalau tidak ada burung berkicau di dalam kepalaku, aku tidak akan buru-buru turun dan melintasi halaman hingga tersandung dan jatuh. Aku tidak tahu harus mengumpati siapa, tetapi burung itu layak mendapat balasan terburuk yang dapat kupikirkan.
Cepat-cepat kuikat tali sepatuku, sambil berpikir apa yang dapat kukerjakan kalau nanti burung setan ini dapat dikeluarkan. Ia boleh jadi kecil seukuran jarum jahit dan, dengan gerakan tidak berarti, dapat mati di tanganku. Tetapi bisa juga ia lebih besar dari dan gesit. Ia bisa lebih ganas dari burung pemangsa daging yang biasa ditayangkan di discovery channel. Bagaimana kalau ia memang ganas?
Aku membayangkan sebuah pistol. Aku dapat menembak burung itu sesaat setelah temanku yang penggemar burung mengeluarkannya dari kepalaku. Aku atur posisi yang pas agar tembakanku tepat dan tidak melukaiku atau temanku. Tapi, aku sudah menduga temanku membenciku selamanya seandainya itu kulakukan di depannya. Seekor burung kutembak di depan pencinta burung. Seekor burung berubah serpihan daging di depan orang yang memuja burung seakan kekasihnya sendiri!
Mungkin burung laknat itu kutembak setelah kubawa pergi dari rumah teman yang baik ini. Mungkin ia kuinjak begitu saja di jalanan, dengan sepatuku ini. Itu jelas lebih baik. Sepatu yang sama, yang membuatku malu, pada akhirnya membunuhnya dengan cepat. Tidak ada yang lebih manis dari pembalasan dendam semacam itu.
Sambil terus melangkah mengamati jalanan yang kian padat, dan tentu saja dengan susah payah kutahan-tahan rasa tidak nyaman akibat kicauan burung yang tiada henti di kepalaku, kuraba saku jaketku. Sebuah pistol masih berada di sana. Pistol yang semalam kupakai untuk menunaikan suatu tugas rahasia membunuh seorang pengusaha batu bara.
"Aku harus membunuhnya," kataku pada si burung, yang seakan-akan di saat yang tepat, mengetahui alasannya masuk tempurung kepalaku dan membuat masalah besar. "Memang harus, demi harga diri."
Kubayangkan seorang perempuan istri seseorang, melangkah masuk mobil seorang pria lain, lalu seseorang yang menjadi suaminya melihat kejadian itu dari jauh dan mulai tertekan karena baru saja dipecat oleh seorang pria lain itu. Kubayangkan dengan rapi agar si burung mengerti kenapa semua itu harus terjadi.
Suara kicau burung mendadak hilang. Hanya kepak sayapnya yang terbang kesana kemari masih kudengar.
Kuraba jaketku. Aku tidak tahu cara mengeluarkanmu, wahai burung, kataku sinis. Tetapi barangkali kau datang untuk sebuah peringatan.
Pagi itu juga kucari tempat sepi dan melupakan soal temanku si penggemar burung, sebelum ia, burung itu, berkicau lagi dan membuat masalah hingga polisi mendatangiku. Aku tak ingin polisi tahu dan sebaiknya kugunakan pistolku untuk dua nyawa sekaligus. [ ]
Gempol, 5 Desember 2016
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karyanya terbit di berbagai media cetak.

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri