(Dimuat di detik.com pada 26 Januari 2020)
Pengarang frustrasi, sebut saja Jon (bukan nama yang sebenarnya), berbaring malas di kamar kost. Perutnya kembung karena memakan habis enam buah buku tua karangan penulis kenamaan yang tidak bisa disebutkan di sini.
"Buku siapa yang kau lahap?" tanya temannya, yang bukan pegiat literasi, sebab di lingkungan tersebut hanya Jon yang mendeklarasikan diri sebagai pengarang. Pengarang gagal atau pengarang tidak gagal, masih buram. Tidak penting dibahas apakah ia gagal atau tidak.
Apa pun itu, Jon yang mengaku pengarang merasa lebih baik ketimbang siapa pun di sini.
Dengan enteng ia menjawab, "Rahasia! Kalau kusebut dan ada orang yang dengar, lalu dikabarkan ke semua orang, bisa celaka aku."
"Oh?"
"Kau terima junjunganmu kutelan?!"
Jon tidak ingin diganggu, jadi ia usir temannya, setelah mengucap seribu kata maaf. Bukan seribu. Anda percaya seseorang mengucap seribu kata maaf di satu waktu tanpa membuat bibir jontor? Hanya karena ia pengarang, kita sebut seribu bukanlah sebuah persoalan besar, sekalipun itu cuma diucap sebanyak dua kali.
"Maaf, ya. Saya harus tidur. Sekali lagi, maaf."
Teman Jon pergi dan melupakan soal sang pengarang yang memakan habis enam buah buku tua karya entah siapa.
Sebenarnya bukan enam buku yang Jon telan sejauh ini, tetapi lebih dari itu, kalau ia mau jujur. Sepuluh hari berturut-turut, setelah menulis cerita luar biasa (cerita yang menurutnya bisa membuat namanya naik daun), tapi gagal, Jon pikir ia kurang nutrisi. Jadi, sejak itulah ia mulai menelan buku-buku tua.
Sebagai pekerja serabutan (ini profesi aslinya), Jon butuh tenaga dan waktu banyak untuk menyambung hidup. Waktu menulis berkurang banyak. Kuliah putus, tidak punya ijazah, memaksanya kerja apa saja, yang berat-berat. Asal bisa makan.
Meraih cita-cita sebagai pengarang memang tidak segampang yang Jon perkirakan di awal. Waktu kecil, ia membaca buku karangan Hans Christian Andersen dan berpikir, "Suatu hari nanti akan ada Hans Jon Andersen."
Iseng ia mengatakan itu kepada setiap orang di rumah, di gang-gang, di sekolah, di tepi jalan raya, bahkan di masjid sewaktu ia mengaji; semua orang harus tahu betapa ia ingin jadi pengarang.
"Jadi pengacara atau dokter saja enak. Duitnya banyak," kata sang bapak.
Jon menggeleng tegas. Tidak! Dokter atau pengacara tidak terlalu keren dibanding pengarang. Ia punya pendapat kenapa pengarang buku bisa disebut lebih keren dari dokter atau pengacara, adalah karena pengarang bisa berkeliling dunia melalui tulisan. Itu sungguh pendapat agung dari tempurung kepala botak seorang bocah delapan tahun. Namun, si bapak tidak suka Jon mengganti nama. Nama bagus, yang dulu susah dicari, kok seenaknya diganti dengan nama seperti nama orang bule?!
Jon tidak peduli.
Itu rintangan pertama.
Rintangan kedua: di sekolah dicap tukang tipu. Waktu disuruh membuat karangan bebas oleh guru Bahasa Indonesia, Jon menulis cerita yang persis sama dengan dongeng terkenal raja tak berbaju karangan penulis luar negeri terkenal. Teman-teman tak banyak tahu, tetapi ada satu, namanya Lili, anak pemilik rumah makan mie ayam di pasar, yang sudah baca buku-buku dongeng dari seluruh penjuru dunia, mengetahui itu. Ia lapor ke Bu Guru dan Jon batal dapat nilai seratus.
Sejak itu, Jon pikir menjadi pengarang sangat sulit, kecuali di dunia ini tidak ada orang menyebalkan macam Lili. Ia tadinya jatuh cinta pada Lili, tapi jadi benci setengah mati. Foto gadis itu ditempel di lemari di kamar tanpa ada yang tahu, lalu setiap pagi Jon menangkap kadal untuk disodorkan ke bibir Lili dalam foto.
Jon begitu jengkel pada Lili. Sampai kelak duduk di bangku SMA, Lili tidak henti mengamati tingkah laku Jon, juga segala apa yang dikarangnya dan dipajang di mading sekolah. Semua tulisan Jon tidak ada yang istimewa, begitu kata Lili, juga kata seorang guru bahasa yang karyanya sering muncul di koran.
"Jon tidak berbakat," kata guru itu dengan prihatin, “tapi semangatnya boleh ditiru oleh yang lain.”
Mengenang itu, hari ini, Jon merasa dadanya ditusuk seribu jarum. Memang seperti itu. Seribu jarum menusuk dari dalam dan mungkin suatu hari nanti jikalau jantungnya tidak kuat, bisa menerobos keluar seluruh jarum itu. Tentu saja ia tidak mati dan masih bernapas dan merasakan lapar dan kadang-kadang kentut.
Di hari-hari menjelang usia tiga puluhan, Jon merasa kegagalan memeluknya erat dan menyetubuhinya tiap menjelang subuh. Saat itu, kepalanya pusing bagai digodam berkali-kali oleh iblis dari neraka.
"He, Jon! Kapan bangun? He, pengarang kacangan!"
Dasar laknat. Ia seakan melihat iblis itu memanggul palu besar dan menghantam kepalanya berulang kali, yang anehnya tidak pecah. Kepala itu terus membengkak dan membengkak sehingga ketika Jon berdiri, ia memandang dunia dengan kepala orang lain. Seakan-akan iblis itu ahli anestesi.
Di hari entah yang ke berapa ribu, Jon putus asa, padahal di lingkungan sini tidak ada satu pun pengarang seperti Lili. Ya, gadis busuk itu sudah jadi penulis besar hari ini. Semua bukunya best seller dan laku keras bagai kacang goreng. Jon cemburu berat.
"Kalau bukan karena Lili, hidupku sudah makmur." Ia terus berpikir begitu dan tak henti percaya pikiran itu. Kalau bukan karena diprotes Lili semasa SD dulu, ia pasti di puncaknya pada hari ini, jadi penulis kenamaan setara Hans Christian Andersen.
"Mari kita sambut, penulis zaman baru yang luar biasa, Hans Jon Andersen!"
Dia bayangkan orang-orang di tepi panggung kadang tak memanggilnya Hans Jon Andersen, melainkan Haji Jon Andersen; mungkin karena terlalu goblok atau kurangnya pengetahuan soal sastra modern. Apa pun itu, tidak salah juga panggilan tersebut. Jon yang sukses dari segi materi sudah pergi melihat Ka'bah berkali-kali.
Jon di realita memang sering melihat Ka'bah via kalender. Amat banyak kalender bergambar Ka'bah. Bahkan, jam dinding dan poster banyak yang bergambar Ka'bah. Hatinya sakit. Setiap jam, jumlah jarum di tubuhnya seakan bertambah sepuluh biji.
Bertambah sakit kalau ingat bapaknya di kampung yang mengutuk habis-habisan sebab Jon gagal melanjutkan kuliah. Dasar anak tak berguna. Kalimat Bapak terngiang, sehingga terkadang, di suatu subuh, ia tahu bapaknyalah yang memegang godam, bukan iblis.
Di kamar kost ini, selepas bekerja sepanjang hari, Jon sering menjajal menulis satu atau lebih cerita pendek yang diharapkannya hebat. Tapi, tidak satu pun berhasil sejak sepuluh hari terakhir. Sebelum itu hampir selalu berhasil, hanya saja tak pernah dapat kabar, kecuali penolakan.
Suatu malam ia putus asa, tepatnya sepuluh hari yang lalu. Jon mulai menyobek satu per satu lembar buku entah karya siapa, yang sangat tua dan lapuk dan sebagiannya digerogoti rayap. Buku tersebut sampulnya ternoda tahi cicak. Jon membeli dari toko buku bekas di kota, dan mengira ia butuh nutrisi. Sobekan itu ia kunyah perlahan dan perlahan.
"Dengan menelan karya-karya besar ini, aku juga bisa sebesar mereka."
Mula-mula Jon mual, karena kertas yang sudah tua dan lama dipendam di rak yang juga usang, baunya memuakkan. Dengan seteguk air, satu kunyahan masuk juga.
Demikian seterusnya.
Jon menghabiskan buku pertama semalam. Besoknya, ia sebetulnya masih kenyang, jadi melahap setengah buku cukup. Lalu besoknya lagi Jon tidak perlu hitungan; intinya, ia harus tetap melahap habis semua buku, entah karangan siapa, ia tidak peduli. Dalam sepuluh hari, enam buku tebal tandas. Jon kekenyangan, tetapi perutnya kembung dan ia lemas. Temannya tahu Jon tidak nongol dan tidak kerja seperti biasa, jadi ia datang menjenguk. Ketika menemui Jon berbaring lemas, sang teman merasa, "Orang ini sudah waktunya."
Jon belum mau mati.
"Aku percaya kebenaran berpihak padaku setelah lebih banyak buku kutelan!"
Karena tak punya tenaga lagi, ia titip kepada sang teman ini untuk membelikannya buku-buku lain sebagai bekal menulis. Jon yakin, setelah krisis ini, ia pasti bisa menulis dengan lancar.
Setiap malam temannya kembali membawa setumpuk buku. Jon masih melahapnya dengan tenang, dan tanpa punya kesadaran betapa tubuhnya mulai lemah dari waktu ke waktu. Suatu malam, ia tidak kuat menggerakkan tangan untuk merobek halaman buku "Senja dan Cinta yang Berdarah" karangan Seno Gumira Ajidarma. Ia minta temannya menaruh buku tersebut di kepalanya sebagai bantal.
"Biarkan aku tidur dengan caraku," katanya. "Siapa tahu, waktu tidur begini, nanti ada malaikat lewat dan menjatuhkan serbuk ajaibnya padaku, dan berkata, 'Wahai, Jon, jadilah pengarang besar seperti orang yang bukunya kamu jadikan bantal!' Dan, wush... saya pun jadi pengarang besar!"
Tidak ada yang tahu kapan dan bagaimana Jon mati. Yang pasti, pengarang gagal ini di akhir hidupnya sempat meminta dikuburkan jauh dari kampung halamannya. Jika saja tidak merepotkan, ia meminta seseorang membuatkan obituari dan mengurus proses pemakaman ala pahlawan seperti yang sering ia lihat di film-film.
Tentu tidak ada perlakuan begitu, karena Jon bukan pengarang sejati dan ia tidak bisa menulis cerita dengan jujur, kecuali meniru cerita orang, atau lebih tepat: menjiplak karya orang. Ia tidak bisa menerbitkan cerita jiplakan, sekalipun pintar mengubah nama tokoh, sebagaimana kelakuannya semasa kecil saat mengubah nama sendiri.
Demikianlah, Jon, pengarang yang tak tercatat dalam sejarah, mengakhiri hidupnya dengan menelan empat puluh lima buku karangan penulis-penulis dunia. Cerita ini tidak dimuat di media massa, karena—sekali lagi—ia bukan pengarang sejati. Ia terkisahkan hanya karena sayalah yang melihatnya menelan buku-buku itu dengan mata kepala saya, dan sayalah yang menaruh buku tebal tersebut di bawah kepalanya yang seperti telur bebek. [ ]
Gempol, 2016-2020
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017), Negeri yang Dilanda Huru-Hara (Basabasi, 2018), dan Dosa di Hutan Terlarang (Basabasi, 2018).
Comments
Post a Comment