(Dimuat di ideide.id, 5 Januari 2021)
Ingin kuakhiri semuanya hari ini. Kota sudah terlalu busuk. Udara tak lagi nyaman kuhirup. Anjing-anjing yang menemaniku sudah kulepas ke tangan para pencinta satwa. Rumahku sudah dimiliki sejumlah gelandangan terbusuk di Kalodora. Tak ada keluarga, tak ada teman atau sahabat. Bahkan beberapa wanita yang sempat menemaniku selama belasan tahun terakhir kini entah di mana. Aku tak yakin mereka masih mengingat sosok lelaki kaya raya kesepian yang memutuskan tak pernah memiliki anak sampai mati ini. Itulah yang membuat mereka kabur satu per satu; mereka berharap menimang anak dari percintaan atau pernikahan kami, sedang aku menolak kehidupan seperti itu.
Hari ini, yang tersisa dariku selain baju yang kukenakan, adalah nyawa. Mungkin satu-satunya yang kupegang, yang bukan milikku, adalah nyawa. Aku yakin Tuhan di atas sana menunggu mengambil apa yang bukan jadi milikku.
Melihat situasi taman pusat Kota Kalodora yang nyaris tak pernah ramai ini, tiba- tiba membuatku ingin menangis. Bukan demi penyesalan, tapi demi keinginan yang tak pernah orang-orang pahami.
Maka, aku menangis. Di sebuah kursi besi panjang, aku menangis selama kira-kira sepuluh menit. Tak seorang pun tahu. Mungkin hanya malaikat dan setan sajalah yang tahu bagaimana aku menangis sebelum mengakhiri semua ini. Mungkin juga tidak ada yang tahu sampai beberapa hari kemudian bahwa aku berada di sini, memutuskan untuk selesai dari hidup ini di sini, hingga jasadku membusuk dan orang-orang baru akan menyadari itu jikapun ada yang melintas di bagian tenggara taman yang paling sering dijauhi karena terlalu senyap. Mungkin butuh waktu sebulan untuk menemukan jasadku, tapi apa pun itu aku tak peduli.
Namun, aku tak cukup yakin sudah berhasil ‘menghilangkan’ diri sejak tadi malam, meski kubuang identitas dan jejak yang membuat seisi kota, bahkan kaum gelandangan yang sehari-hari tak ada kesempatan menonton TV atau membaca berita tentang diriku di koran lokal, tak akan menemukanku.
Aku tak yakin tak ada seorang pun yang bertanya-tanya kenapa seorang lelaki tenar macam diriku berkeliaran di taman kota, di bagian yang paling senyap, seorang diri pula? Apa yang membuat lelaki itu berpakaian apa adanya, malah cenderung mendekati gaya gelandangan? Apa juga yang membuatnya menyerahkan rumah terbaiknya ke sejumlah gelandangan?
Para gelandangan itu mungkin sempat bertanya-tanya siapa aku, tapi aku tak ingin menjawab, dan pada akhirnya mereka bakal tahu juga setelah membongkar setiap sudut dari rumahku, lantas menemukan foto-foto, piagam dan piala, potongan berita tentang kisah suksesku, berbagai skandal, dan lain-lain.
Jejak-jejakku masih tertinggal di rumah, dan karena itu, menunda kematian kurasa akan jauh lebih baik ketimbang orang kota menemukan jasadku dan headline hari yang sial itu berbunyi: Ali Mudakir, pengusaha tersukses di Kalodora, ditemukan mati bunuh diri di bagian tersenyap dari taman kota setelah dengan sengaja meninggalkan seluruh hartanya untuk para gelandangan.
Itu bukan sesuatu yang kudamba. Orang-orang yang dulu pernah menjadi keluarga dan temanku pasti akan sangat terganggu.
Aku berharap sebuah kedamaian untuk akhir yang buruk ini. Aku mau tak seorang pun menyadari diriku saat sudah menjadi jasad nanti. Aku harap sebagian besar tubuhku bisa berguna untuk beberapa mahasiswa di sebuah fakultas kedokteran, di dalam ruang praktik di mana jasad-jasad tanpa identitas diotopsi demi ilmu pengetahuan, sekalipun mungkin sebagian diriku akan membusuk.
Maka, sisa hari itu kuhabiskan dengan berjalan lebih jauh, menuju pinggiran Kota Kalodora, menelusuri bagian-bagian sunyi dan kemungkinan jarang dilalui orang paling tidak hingga beberapa hari ke depan. Waktu itu hari sudah cukup gelap dan aku berjalan tak terlalu jauh dari jalan utama, tapi wajahku tetap terlindungi oleh kegelapan sebab di kawasan tersebut, lampu-lampu jalan banyak yang tidak berfungsi.
Pernah dulu terjadi perampokan di area sini. Seorang pegawai salah satu bioskop terbaik di Kalodora ditemukan berbaring melingkar bagai udang di kotak sampah dan mungkin saja saat ini lokasi tersebut tak terlalu jauh dariku. Aku pasti tak salah tebak. Kawasan ini memang sepi. Rumah-rumah kosong dibiarkan telantar, dan hanya dihuni beberapa orang gila dan orang liar yang tak tepat disebut gelandangan, melainkan lebih cocok menyandang gelar para pengganggu keamanan. Konon mereka datang dari kota sebelah yang sebagian besar hancur total karena kerusuhan beberapa tahun lalu, dan kini kehidupan di kota tersebut jauh lebih buruk ketimbang kesialan yang sehari-hari ditelan oleh orang-orang termiskin di Kalodora. Bisa dibayangkan seliar apa orang-orang itu jika turun, beraksi merampok, atau memalak orang-orang di jalanan. Bisa dibayangkan nyawa para mangsa tak bakal ada artinya demi kebahagiaan memiliki uang dan hidup bersenang-senang seminggu ke depan untuk mereka.
Tiba-tiba aku memikirkan gagasan itu; mati sebagai korban perampokan dari kaum liar ini, lalu jasadku dibuang, hingga ‘hilang’ dari dunia paling tidak sampai tiga atau empat minggu ke depan. Apa mungkin?
Namun, para pembegal pastilah memilih siapa yang layak menjadi korban, dan aku jelas bukan korban yang menggiurkan, sebab yang kubawa hanyalah pakaian lusuh yang tadi pagi masih dikenakan salah satu gelandangan yang kini kubiarkan menguasai tiap sudut rumahku.
Aku harus melakukan sesuatu untuk memancing orang-orang liar itu ke luar sarang. Mungkin kini mereka mengintai dari balik lorong-lorong gelap di antara rumah-rumah yang lama tidak disambangi pemiliknya sebab sebagian besar dari mereka mati dalam kecelakaan di pabrik bir. Para buruh di pabrik itu tewas dalam kebakaran yang dahsyat beberapa tahun lalu dan kini rumah mereka tak ada yang memiliki, kecuali orang-orang gila dan para begal itu.
Mereka mungkin hanya melihatku sebagai orang gila, atau gelandangan biasa yang tersesat, dan tidak cukup menarik untuk digasak. Demi tewas dengan cara seburuk itu, demi mati sebagai mayat tanpa identitas, aku pancing mereka. Dengan keras kukatakan, “Kalian mau uang dan emas? Ayo, keluar dan bunuh saya!”
Tak seorang pun merespons. Tetap sepi dan hanya terdengar bisik-bisik gerutuan di di beberapa rumah: orang-orang gila yang terganggu tidurnya. Kembali kuucap tawaran, tapi tak seorang pun muncul.
Mereka baru tergoda setelah kutampakkan wajahku ke bawah sinar lampu jalanan. Mereka tentu tak sepenuhnya tahu siapa aku, tapi wajahku bukan ciri orang-orang yang lama hidup di jalanan. Mereka dengan sabar mendengarkan sejumlah arahan dariku jika nanti sudah menghabisiku dan menyembunyikan mayatku. Kusampaikan mereka bakal menjemput kekayaan di rumah di alamat yang kutulis untuk mereka. Tentu alamat itu bukan alamat rumahku. Itu tak lebih alamat palsu sebab jika kutunjukkan rumahku, mati yang kualami bukan lagi mati yang rahasia. Bukankah aku mengharapkan berakhir dan tak seorang pun menyadarinya?
“Bagaimana kami yakin kau tidak bohong?” tanya seseorang dari balik kegelapan.
“Apa gunanya saya berbohong, sedang saya benar-benar bosan hidup?”
“Apa buktinya kau memiliki uang dan emas?”
Tanpa berkata-kata, kulempar sesuatu yang lupa kulepaskan sejak pergi dari rumah mewahku: sebuah arloji emas.
Demikianlah, mereka menghabisiku malam itu. Mayatku dibuang ke suatu selokan di pinggir kota, ditemukan dua hari kemudian oleh sopir taksi yang sedang kencing. Tak ada yang perlu dicemaskan tentang alamat palsu itu. Alamat itu tidak lebih dari sebuah tanah kosong di bagian utara kota, tempat dulu, dua puluh tahun lalu, aku bercinta untuk kali pertama dengan kekasihku yang tidak sudi melanjutkan hubungan kami sebab aku tak pernah berharap memiliki anak.
Aku ingat apa yang kekasih itu katakan usai kami bersetubuh malam itu, “Kamu pasti bisa menjadi ayah yang baik. Tak perlu takut memiliki anak.”
Aku hanya menjawab, “Oh, mustahil. Aku tak akan bisa menjadi ayah yang baik.” [ ]
Gempol, 14 April-15 Desember 2020
Comments
Post a Comment